Duterte Menang Pilpres, Filipina Jadi Putus Hubungan dengan AS?
A
A
A
MANILA - Rodrigo Duterte pernah sesumbar mengancam akan memutuskan hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat (AS) dan Australia jika dia terpilih sebagai Presiden Filipina. Kini, dia benar-benar memenangkan pemilihan presiden (Pilpres) Filipina, namun belum ada keputusan Duterte terkait ancaman pemutusan hubungan diplomatik itu.
Ancaman Duterte muncul setelahDuta BesarAS untuk Filipina, Philip Goldberg, mengkritik komentarnya tentang pemerkosaandan pembunuhan terhadapmisionariswanita Australia, Jacqueline Hamill,selama kerusuhandipenjaraDavao tahun 1989.Dubes Australia juga ikut mengecam komentar Duterte saat itu.
Duterte dalam kampanye Pilpres Filipina pernah membuat komentar lelucon, di mana korban perkosaan itu terlalu cantik dan dia sebagai walikota saat itu semestinya jadi orang pertama yang memperkosa. Komentar lelucon itu menuai kecaman luas, termasuk dari Kedubes AS dan Australia di Manila.
Tapi, Duterte tidak terima pihak asing ikut campur dalam proses Pemilu Filipina. ”Jika saya menjadi presiden,melangkahke depan dan memutuskan itu(hubungan diplomatik),”katanya saat berkampanye menjelang Pilpres. Australia dan AS sendiri merupakan dua sekutu dekat Filipina.
”Itu bukan lelucon ketika saya menyebut itu(pemerkosaantahun 1989). Mereka menganggapnya sebagai lelucon ketika sayaceritakan.Duta ini bodoh.Sayamarah ketika saya menyebut itu. Ketika sayaceritakanitu, saya tidak marah lagi,” lanjut Duterte kala itu.
”Ini akandilakukandengan baik dengan Duta Besar Amerika dan Duta Besar Australia untuk menutup mulut mereka.Andabukan wargaFilipina.Diam.Jangan mengganggu karena saatiniPemilu,” lanjut dia.Awal Benci AS
Kebencian Duterte pada AS sejatinya sudah muncul selama lebih dari satu dakade silam. Menurut laporan yang dikutip dari New York Times, Sabtu (14/5/2016), Duterte yang dijuluki “Donald Trump”-nya Filipina ini mulai benci AS ketika terjadi ledakan misterius di Hotel Evergreen di Davao, pada 16 Mei 2002. Ledakan itu diduga akibat bahan peledak yang dibawa warga AS bernama Michael Terrence Meiring, namun pria AS ini berhasil melarikan diri dari Filipina yang diduga berkat bantuan FBI.
Meiring menyebut dirinya seorang pemburu harta karun dan pernah bercanda tentang CIA, yang dia pelesetkan sebagai “Christ in Action." Sebelum ledakan terjadi, pria AS ini mengatakan kepada staf hotel untuk tidak menyentuh kotak logam di kamarnya. Tak lama kemudian, kotak itu meledak dan merusak bangunan hotel.
Tapi tiga hari kemudian, meskipun cedera parah dan menjadi tertuduh dalam kasus itu, Meiring hilang dari kamar rumah sakit. Para pejabat Filipina kemudian mengatakan bahwa dia dibawa FBI pada malam hari tanpa izin otoritas Filipina.
Tindakan FBI inilah yang mulai memicu kebencian Duterte pada AS. Menurutnya, AS membantu seorang tersangka kriminal meninggalkan Filipina dengan mengabaikan hukum Filipina. Dia juga “mengipasi” spekulasi bahwa Meiring terlibat dalam operasi rahasia yang dilakukan oleh AS di Filipina.
Tolak Drone AS
Empat belas tahun berlalu Duterte yang pada 30 Juni 2016 mendatang akan dilantik sebagai Presiden Filipina masih marah dan benci pada AS. Juru bicara Duterte, Peter Lavina, menjelaskan bahwa kemarahan Duterte pada AS memang dipicu oleh kasus Meiring.
”Duterte memiliki pengalaman pribadinya di Davao,” kata Peter Lavina, dalam sebuah wawancara televisi. "Kami mampu menangkap seorang pengebom, tersangka dalam pengeboman di Davao. Dia adalah seorang pria Amerika. Dia diam-diam dibawa pergi oleh Kedutaan AS. Saya pikir itulah ketika hubungan buruk dimulai.”
Kebencian Duterte pada AS bisa jadi dilemma bagi Filipina. Sebab, kedua negara memiliki pakta pertahanan bersama, dan Filipina baru-baru ini setuju untuk mengizinkan Pentagon menempatkan pasukan dan senjata di pangkalan militer di Filipina. Selama lebih dari satu dekade, pasukan Amerika juga telah melatih dan menasehati tentara Filipina dalam memburu Abu Sayyaf, sebuah geng penculik di Filipina selatan yang telah bersumpah setia kepada ISIS.
Kendati demikian, Kota Davao memang identik dengan sosok Duterte. Dia yang jadi walikota Davao dalam 20 tahun terakhir telah lama menyatakan keraguan tentang kehadiran militer Amerika. Pada tahun 2013, ia mengataku menolak proposal Amerika untuk menempatkan drone di bandara Davao, karena masih marah dengan kasus Meiring.
"Saya tidak ingin itu,” katanya mengacu pada proposal AS. ”Saya tidak ingin ada masalah dan pembunuhan. Mereka hanya akan menambah masalah,” kesal Duterte.
Kini pilihan benar-benar di tangan Duterte untuk membuktikan ancamannya yang akan memutuskan hubungan diplomatik dengan AS sesuai apa yang dia sampaikan saat kampanye beberapa waktu lalu.
Ancaman Duterte muncul setelahDuta BesarAS untuk Filipina, Philip Goldberg, mengkritik komentarnya tentang pemerkosaandan pembunuhan terhadapmisionariswanita Australia, Jacqueline Hamill,selama kerusuhandipenjaraDavao tahun 1989.Dubes Australia juga ikut mengecam komentar Duterte saat itu.
Duterte dalam kampanye Pilpres Filipina pernah membuat komentar lelucon, di mana korban perkosaan itu terlalu cantik dan dia sebagai walikota saat itu semestinya jadi orang pertama yang memperkosa. Komentar lelucon itu menuai kecaman luas, termasuk dari Kedubes AS dan Australia di Manila.
Tapi, Duterte tidak terima pihak asing ikut campur dalam proses Pemilu Filipina. ”Jika saya menjadi presiden,melangkahke depan dan memutuskan itu(hubungan diplomatik),”katanya saat berkampanye menjelang Pilpres. Australia dan AS sendiri merupakan dua sekutu dekat Filipina.
”Itu bukan lelucon ketika saya menyebut itu(pemerkosaantahun 1989). Mereka menganggapnya sebagai lelucon ketika sayaceritakan.Duta ini bodoh.Sayamarah ketika saya menyebut itu. Ketika sayaceritakanitu, saya tidak marah lagi,” lanjut Duterte kala itu.
”Ini akandilakukandengan baik dengan Duta Besar Amerika dan Duta Besar Australia untuk menutup mulut mereka.Andabukan wargaFilipina.Diam.Jangan mengganggu karena saatiniPemilu,” lanjut dia.Awal Benci AS
Kebencian Duterte pada AS sejatinya sudah muncul selama lebih dari satu dakade silam. Menurut laporan yang dikutip dari New York Times, Sabtu (14/5/2016), Duterte yang dijuluki “Donald Trump”-nya Filipina ini mulai benci AS ketika terjadi ledakan misterius di Hotel Evergreen di Davao, pada 16 Mei 2002. Ledakan itu diduga akibat bahan peledak yang dibawa warga AS bernama Michael Terrence Meiring, namun pria AS ini berhasil melarikan diri dari Filipina yang diduga berkat bantuan FBI.
Meiring menyebut dirinya seorang pemburu harta karun dan pernah bercanda tentang CIA, yang dia pelesetkan sebagai “Christ in Action." Sebelum ledakan terjadi, pria AS ini mengatakan kepada staf hotel untuk tidak menyentuh kotak logam di kamarnya. Tak lama kemudian, kotak itu meledak dan merusak bangunan hotel.
Tapi tiga hari kemudian, meskipun cedera parah dan menjadi tertuduh dalam kasus itu, Meiring hilang dari kamar rumah sakit. Para pejabat Filipina kemudian mengatakan bahwa dia dibawa FBI pada malam hari tanpa izin otoritas Filipina.
Tindakan FBI inilah yang mulai memicu kebencian Duterte pada AS. Menurutnya, AS membantu seorang tersangka kriminal meninggalkan Filipina dengan mengabaikan hukum Filipina. Dia juga “mengipasi” spekulasi bahwa Meiring terlibat dalam operasi rahasia yang dilakukan oleh AS di Filipina.
Tolak Drone AS
Empat belas tahun berlalu Duterte yang pada 30 Juni 2016 mendatang akan dilantik sebagai Presiden Filipina masih marah dan benci pada AS. Juru bicara Duterte, Peter Lavina, menjelaskan bahwa kemarahan Duterte pada AS memang dipicu oleh kasus Meiring.
”Duterte memiliki pengalaman pribadinya di Davao,” kata Peter Lavina, dalam sebuah wawancara televisi. "Kami mampu menangkap seorang pengebom, tersangka dalam pengeboman di Davao. Dia adalah seorang pria Amerika. Dia diam-diam dibawa pergi oleh Kedutaan AS. Saya pikir itulah ketika hubungan buruk dimulai.”
Kebencian Duterte pada AS bisa jadi dilemma bagi Filipina. Sebab, kedua negara memiliki pakta pertahanan bersama, dan Filipina baru-baru ini setuju untuk mengizinkan Pentagon menempatkan pasukan dan senjata di pangkalan militer di Filipina. Selama lebih dari satu dekade, pasukan Amerika juga telah melatih dan menasehati tentara Filipina dalam memburu Abu Sayyaf, sebuah geng penculik di Filipina selatan yang telah bersumpah setia kepada ISIS.
Kendati demikian, Kota Davao memang identik dengan sosok Duterte. Dia yang jadi walikota Davao dalam 20 tahun terakhir telah lama menyatakan keraguan tentang kehadiran militer Amerika. Pada tahun 2013, ia mengataku menolak proposal Amerika untuk menempatkan drone di bandara Davao, karena masih marah dengan kasus Meiring.
"Saya tidak ingin itu,” katanya mengacu pada proposal AS. ”Saya tidak ingin ada masalah dan pembunuhan. Mereka hanya akan menambah masalah,” kesal Duterte.
Kini pilihan benar-benar di tangan Duterte untuk membuktikan ancamannya yang akan memutuskan hubungan diplomatik dengan AS sesuai apa yang dia sampaikan saat kampanye beberapa waktu lalu.
(mas)