Pelajar Hong Kong Dilarang Terlibat Aktivitas Politik
loading...
A
A
A
"China pernah memberikan janji akan menjunjung tinggi keinginan dan kewenangan rakyat Tibet di bawah kesepakatan 17 poin yang ditandatangani tujuh dekade lalu," kata Sangay, dikutip CNN. "Kenyataannya sebaliknya, China justru menerapkan aturan yang mengekang kebebasan rakyat mantan kerajaan Himalaya itu," tambahnya.
Sangay menambahkan, pendudukan China di wilayah Tibet ditaklukkan secara tersistem. Hal ini mirip dengan kondisi sekarang di Hong Kong. Meski UU keamanan terbaru diperuntukkan bagi kriminal, sebagian besar isi UU itu ialah tentang pemberantasan separatisme.
"Jika Anda membaca sejarah, program satu negara dua sistem juga pernah dijanjikan kepada rakyat Tibet. Namun, pasca-perjanjian, setiap isi dari 17 poin telah dilanggar," kata Sangay. "Seperti itu pula dengan Hong Kong saat ini. Semua aturan dasar dan perjanjian telah dilanggar," tambahnya.
Sangay yang juga merupakan lulusan Harvard University dan kini mengasingkan diri ke India menilai UU keamanan terbaru juga akan membatasi kebebasan berekspresi. Setiap karya seni yang dianggap mengandung perlawanan terhadap sistem negara, kemungkinan akan diberedel.
Tokoh besar Dalai Lama juga kabur setelah kerusuhan anti-kekuasaan China bergejolak pada 1959. Menurut Sangay, rakyat Hong Kong memiliki hak dasar kemanusiaan dan demokrasi. Sayangnya, UU keamanan terbaru sudah diimplementasikan. (Baca juga: Merpati Sulit Kembali Terbang, Pegawai Disebut Hanya Tersisa 10 Orang)
Sangay bersama para pengikutnya melarikan diri menuju Himalaya kawasan India. Sebagai bentuk pencarian dukungan India dan perlawanan terhadap China, para pemberontak Tibet meminta India untuk tidak mempercayai klaim China di Himalaya.
Pasukan penjaga perbatasan China dan India telah terlibat bentrok di Ladakh, bulan lalu. Sebanyak 20 tentara India dilaporkan tewas dalam baku hantam tersebut. Pemerintah India juga menyatakan, tentara China merusak infrastruktur dan tenda tentara India.
China dan India telah menghadapi sengketa wilayah di Himalaya. Konflik tersebut sudah terjadi sejak lebih dari enam dekade lalu. Kedua pihak pernah terlibat berbagai bentrokan, termasuk kerusuhan antarpenjaga perbatasan sejak 1962. (Lihat videonya: Maria Lumowa Berhasil Diekstradisi ke Indonesia, Simak Kronologis Lengkapnya)
"Tak ada pihak yang ingin terlibat dalam perang. Kami juga tidak ingin berperang. Kami justru menginginkan perdamaian di kawasan," kata Sangay. "Namun, China ingin menjadi negara nomor satu di Asia dan dunia. Mereka tidak mungkin mengalah atau mundur karena tak ingin kehilangan kehormatan."
Sangay juga menuduh aplikasi sosial buatan China sarat dengan penyadapan intelijen. Dia menilai keputusan India untuk memblokade 57 aplikasi buatan China sangat tepat. Sebab, aplikasi tersebut dapat mengancam keamanan negara. (Muh Shamil)
Sangay menambahkan, pendudukan China di wilayah Tibet ditaklukkan secara tersistem. Hal ini mirip dengan kondisi sekarang di Hong Kong. Meski UU keamanan terbaru diperuntukkan bagi kriminal, sebagian besar isi UU itu ialah tentang pemberantasan separatisme.
"Jika Anda membaca sejarah, program satu negara dua sistem juga pernah dijanjikan kepada rakyat Tibet. Namun, pasca-perjanjian, setiap isi dari 17 poin telah dilanggar," kata Sangay. "Seperti itu pula dengan Hong Kong saat ini. Semua aturan dasar dan perjanjian telah dilanggar," tambahnya.
Sangay yang juga merupakan lulusan Harvard University dan kini mengasingkan diri ke India menilai UU keamanan terbaru juga akan membatasi kebebasan berekspresi. Setiap karya seni yang dianggap mengandung perlawanan terhadap sistem negara, kemungkinan akan diberedel.
Tokoh besar Dalai Lama juga kabur setelah kerusuhan anti-kekuasaan China bergejolak pada 1959. Menurut Sangay, rakyat Hong Kong memiliki hak dasar kemanusiaan dan demokrasi. Sayangnya, UU keamanan terbaru sudah diimplementasikan. (Baca juga: Merpati Sulit Kembali Terbang, Pegawai Disebut Hanya Tersisa 10 Orang)
Sangay bersama para pengikutnya melarikan diri menuju Himalaya kawasan India. Sebagai bentuk pencarian dukungan India dan perlawanan terhadap China, para pemberontak Tibet meminta India untuk tidak mempercayai klaim China di Himalaya.
Pasukan penjaga perbatasan China dan India telah terlibat bentrok di Ladakh, bulan lalu. Sebanyak 20 tentara India dilaporkan tewas dalam baku hantam tersebut. Pemerintah India juga menyatakan, tentara China merusak infrastruktur dan tenda tentara India.
China dan India telah menghadapi sengketa wilayah di Himalaya. Konflik tersebut sudah terjadi sejak lebih dari enam dekade lalu. Kedua pihak pernah terlibat berbagai bentrokan, termasuk kerusuhan antarpenjaga perbatasan sejak 1962. (Lihat videonya: Maria Lumowa Berhasil Diekstradisi ke Indonesia, Simak Kronologis Lengkapnya)
"Tak ada pihak yang ingin terlibat dalam perang. Kami juga tidak ingin berperang. Kami justru menginginkan perdamaian di kawasan," kata Sangay. "Namun, China ingin menjadi negara nomor satu di Asia dan dunia. Mereka tidak mungkin mengalah atau mundur karena tak ingin kehilangan kehormatan."
Sangay juga menuduh aplikasi sosial buatan China sarat dengan penyadapan intelijen. Dia menilai keputusan India untuk memblokade 57 aplikasi buatan China sangat tepat. Sebab, aplikasi tersebut dapat mengancam keamanan negara. (Muh Shamil)