Majelis Parlemen NATO Desak Anggota Tetapkan Rusia Rezim Teroris

Selasa, 22 November 2022 - 13:03 WIB
loading...
Majelis Parlemen NATO...
Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg berbicara selama Sesi Tahunan ke-68 Majelis Parlemen NATO di Madrid, Spanyol, 21 November 2022. Foto/REUTERS/Juan Medina
A A A
BRUSSELS - Majelis Parlemen NATO mengadopsi resolusi simbolis yang meminta negara-negara anggota melabeli Rusia sebagai negara "teroris".

Resolusi itu mengklaim Moskow merupakan "ancaman langsung" terhadap "keamanan Eropa-Atlantik".

Tak hanya itu, resolusi itu menuntut lebih banyak dukungan militer ke Kiev dan diakhirinya pembatasan pada "penyebaran pasukan NATO ke depan."

Deklarasi yang tidak mengikat itu disahkan Majelis Parlemen NATO pada Senin (21/11/2022), dengan badan tersebut memperingatkan, “Kawasan Euro-Atlantik tidak lagi damai dan lingkungan keamanan global telah memburuk dengan cepat di tengah berlanjutnya pertempuran di Eropa Timur.”



Resolusi berlanjut mencela operasi militer Rusia "dalam istilah terkuat." Resolusi tersebut membuat serangkaian permintaan kepada anggota NATO.

Anggota NATO diminta “menyatakan dengan jelas bahwa negara Rusia di bawah rezim saat ini adalah negara teroris.”

Para anggota NATO diseru “meningkatkan dukungan militer, intelijen, keuangan, pelatihan dan kemanusiaan ke Ukraina,” termasuk dengan "mempercepat" pengiriman senjata.



“Blok NATO harus mempertahankan dukungan ini selama Ukraina menang," ungkap resolusi itu.

Resolusi juga meminta agar setiap pembatasan yang ada pada "pengerahan maju" pasukan Barat di sepanjang perbatasan Rusia dinyatakan "batal dan tidak berlaku."

Washington sendiri telah mengesahkan hampir USD20 miliar dalam bentuk “bantuan mematikan” ke Kiev sejak Presiden Joe Biden menjabat pada tahun 2021, dengan sebagian besar disetujui setelah operasi militer Rusia dimulai pada bulan Februari.

Sekutu NATO telah mengakui kekhawatiran bahwa senjata yang membanjiri medan perang Ukraina yang kacau belum terlacak dengan baik.

Resolusi baru NATO menekankan perlunya memastikan “kemampuan untuk melacak senjata yang dikirim.”

Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky berpidato pada pertemuan tersebut dalam pesan video sebelum resolusi terbaru disahkan, memuji aliansi tersebut atas bantuan militernya dan untuk membantu negaranya untuk “membela (dirinya sendiri) dalam perang ini.”

Resolusi Majelis Parlemen tidak dapat harus dilaksanakan di antara anggota NATO dan dimaksudkan hanya untuk memberi nasihat kepada aliansi tentang masalah-masalah mendesak.

Badan tersebut telah mengambil sikap yang semakin keras terhadap Moskow dalam beberapa bulan terakhir.

Presiden Majelis Parlemen NATO yang baru terpilih, Senator Prancis Joelle Garriaud-Maylam, bersikeras pada Senin bahwa para pemimpin Rusia “harus diadili sebagai teroris di pengadilan internasional.”

Selain menyatakan Moskow sebagai negara "teroris" dan tindakan simbolis lainnya, Majelis Parlemen mengatakan negara-negara NATO harus bekerja menciptakan "pengadilan internasional" untuk mengadili para pejabat Rusia atas dugaan kejahatan perang dan memaksa "pemulihan penuh atas kerugian atau cedera" terkait konflik.

Sementara resolusi Senin sebagian besar terfokus pada Rusia dan konflik di Ukraina, butuh lebih dari satu jalan memutar untuk memilih Beijing.

Resolusi juga mendesak aliansi mengembangkan "tanggapan sekutu bersama terhadap peningkatan ketegasan China."

Dokumen tersebut menyerukan "dialog yang konstruktif", namun juga mengecam dugaan "tantangan sistemik terhadap keamanan Euro-Atlantik" oleh Beijing dan "upaya menumbangkan tatanan internasional berbasis aturan."

Deklarasi NATO datang setelah resolusi serupa diadopsi Majelis Parlemen Dewan Eropa (PACE) bulan lalu.

Rusia meninggalkan lembaga Eropa itu pada Maret, menyebutnya sebagai “platform yang nyaman untuk informasi dan kampanye politik NATO.”

Sementara Kiev telah berulang kali mendesak kolektif Barat untuk menyatakan Rusia sebagai "negara sponsor teror," hanya segelintir negara termasuk Estonia, Latvia, Lituania, dan Republik Ceko yang mengindahkan seruan tersebut, dan tindakan mereka terbatas pada isyarat simbolis.

Mereka yang memiliki kekuatan untuk memberlakukan sanksi antiteror terhadap negara lain, yaitu Amerika Serikat (AS), sejauh ini menolak mengambil langkah tersebut.

(sya)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1482 seconds (0.1#10.140)