Polemik Aplikasi Pelacak Pasien Covid-19, Hak Kebebasan Sipil Jadi Sorotan
loading...
A
A
A
Golongan masyarakat yang pertama menerima alat itu adalah ribuan lansia yang tidak punya ponsel pintar. Sebelum memakainya, mereka harus memberikan salinan kartu identitas dan nomor telepon. Baru-baru ini pengguna aplikasi Trace Together pun harus melakukan hal serupa. Apabila penggunanya teruji positif mengidap Covid-19, mereka harus menyerahkan gawai itu kepada Kementerian Kesehatan, karena tidak seperti aplikasi pada ponsel pintar, perangkat tersebut tidak bisa mengirimkan data melalui internet. Petugas pelacakan kontak akan menggunakan riwayat elektronik pada alat tersebut secara manual untuk menemukan orang lain yang mungkin tertular. (Baca juga: Bayi Binturong Ini Diberi Nama Covid dan Corona)
"Fungsinya amat membosankan, yang justru menurut saya adalah desain bagus," kata pakar teknologi, Sean Cross, dilansir BBC. "Alat ini bisa mengorelasikan dengan siapa orang berhubungan, kepada siapa Anda menularkan; dan yang terpenting, siapa yang mungkin menularkan ke Anda," imbuhnya.
Singapura adalah negara pertama yang menggunakan aplikasi pelacakan virus corona secara nasional. Pemerintah Singapura mengatakan 2,1 juta orang telah mengunduh perangkat lunak pelacakan kontak tersebut, atau setara dengan 35% populasi. Pengunduhan itu bersifat sukarela, kecuali para pekerja migran yang tinggal di asrama. Mereka adalah mayoritas dari 44.000 kasus positif Covid-19 di Singapura.
Ketika alat tersebut pertama kali diperkenalkan ke publik awal Juni, sebagian masyarakat menentang pemerintah—sesuatu yang jarang terjadi di Singapura. Seorang warga bernama Wilson Low memulai petisi yang menuntut agar penggunaan alat dibatalkan. Hampir 54.000 orang menandatangani petisi tersebut. "Yang membuat pemerintah Singapura bisa menjadi negara pengawas adalah diwajibkannya penggunaan perangkat semacam itu," demikian bunyi petisi. (Andika H Mustaqim)
"Fungsinya amat membosankan, yang justru menurut saya adalah desain bagus," kata pakar teknologi, Sean Cross, dilansir BBC. "Alat ini bisa mengorelasikan dengan siapa orang berhubungan, kepada siapa Anda menularkan; dan yang terpenting, siapa yang mungkin menularkan ke Anda," imbuhnya.
Singapura adalah negara pertama yang menggunakan aplikasi pelacakan virus corona secara nasional. Pemerintah Singapura mengatakan 2,1 juta orang telah mengunduh perangkat lunak pelacakan kontak tersebut, atau setara dengan 35% populasi. Pengunduhan itu bersifat sukarela, kecuali para pekerja migran yang tinggal di asrama. Mereka adalah mayoritas dari 44.000 kasus positif Covid-19 di Singapura.
Ketika alat tersebut pertama kali diperkenalkan ke publik awal Juni, sebagian masyarakat menentang pemerintah—sesuatu yang jarang terjadi di Singapura. Seorang warga bernama Wilson Low memulai petisi yang menuntut agar penggunaan alat dibatalkan. Hampir 54.000 orang menandatangani petisi tersebut. "Yang membuat pemerintah Singapura bisa menjadi negara pengawas adalah diwajibkannya penggunaan perangkat semacam itu," demikian bunyi petisi. (Andika H Mustaqim)
(ysw)