Polemik Aplikasi Pelacak Pasien Covid-19, Hak Kebebasan Sipil Jadi Sorotan
loading...
A
A
A
LOS ANGELES - Jepang, Amerika Serikat (AS), dan Singapura baru-baru ini mengeluarkan kebijakan penggunaan gawai pelacak dengan aplikasi khusus yang digunakan untuk mendeteksi para pasien corona (Covid-19). Namun, kebijakan tersebut memicu kekhawatiran mengenai privasi warga.
Bagi pemerintah, gawai tersebut tentunya menjadi alat yang vital untuk memerangi penyebaran virus corona. Di AS, beberapa negara bagian telah menerapkan pemanfaatan aplikasi khusus yang disebut dengan “I Checked In”. Aplikasi tersebut bisa memudahkan bagi pengusaha dan pelanggan untuk melacak pasien Covid-19 dalam transaksi dan bisnis.
Pencipta “I Checked In”, Avi Lugassy,mengungkapkan aplikasi itu sangat membantu bisnis yang diterpa pandemi. “Aplikasi itu menjadi cara terbaik untuk melacak orang yang pernah kontak dengan pasien korona,” katanya dilansir Fox News. (Baca: Covid-19 Belum reda, Muncul Wabah Bubonic di China)
Selain itu, North Dakota juga menjadi negara bagian di AS yang menerapkan aplikasi pelacak kontak bernama “Care-19” yang diterapkan April lalu. Para penggunanya mengatakan data lokasi bisa disembunyikan. Namun, pelayanan privasi pelanggan Jumbo menyatakan aplikasi itu bisa mendeteksi lokasi pengguna. “Berbagai lokasi pengguna sangat berbahaya karena berisiko terhadap gangguan privasi,” demikian analisis Jumbo.
The American Civil Liberties Union (ACLU) memperingatkan pada April lalu bahwa alat pelacak memang bisa mengganggu privasi. “Dalam beberapa pekan terakhir, kita mengetahui banyak proposal dari perusahaan teknologi mengenai aplikasi pelacak kontak,” demikian keterangan ACLU. Mereka menyatakan aplikasi itu juga berisiko melanggar hak kebebasan sipil dan hak-hak sipil warga AS.
Di Jepang, Kementerian Kesehatan telah menetapkan penggunaan pelayanan aplikasi pelacak kontak bagi pasien virus corona dan warga biasa. Aplikasi berbasis ponsel pintar itu diluncurkan pada 19 Juni lalu. Aplikasi tersebut telah diunduh hingga lima juta kali. Aplikasi itu menggunakan teknologi Bluetooth dan teknologi enkripsi. Ketika orang berinteraksi dengan individu yang menderita corona, aplikasi itu akan memberikan notifikasi.
Kemudian, Palang Merah Austria meluncurkan aplikasi ponsel pintar yang disebut dengan Stopp Corona. Itu untuk menjadikan penggunanya untuk menulis diari digital tentang orang yang pernah ditemuinya. Menurut Direktur Palang Merah Austria Gerry Foitik, tujuan utama aplikasi itu untuk mengurangi tantangan pelayanan medis. Dia mengungkapkan, aplikasi tersebut juga bisa digunakan untuk melakukan jabat tangan digital.
Aktivis perlindungan data Austria, Max Schrems, mengungkapkan bahwa aplikasi tersebut tidak bersifat rahasia karena setiap orang memiliki nomor identitas. Namun, dia mengungkapkan hal itu tidak menjadi permasalahan ketika bersentuhan dengan undang-undang privasi Uni Eropa (UE). “Itu bersifat opsional. Itu sukarela. Orang bisa bertanya apa maksudnya,” ujarnya. (Baca juga: Ahli Epidimiologi, Haruskah Covid-19 Menang?)
Terbaru adalah pemberlakuan Trace Together yang digunakan Singapura menghentikan penyebaran Covid-19. Peranti yang bisa dikalungkan di leher dan dibawa ke mana-mana ini merupakan tambahan dari aplikasi pelacakan kontak dalam menemukan orang yang mungkin tertular oleh pengidap virus corona.
Semua penggunanya harus membawa gawai tersebut tanpa harus mengecas, karena daya tahan baterai di dalamnya bisa mencapai sembilan bulan. Lembaga pemerintah yang membuat Trace Together mengakui gawai itu dan teknologinya secara umum bukanlah perangkat yang efektif 100%. Namun, gawai tersebut setidaknya dapat memperkuat upaya pelacakan kontak manusia.
Golongan masyarakat yang pertama menerima alat itu adalah ribuan lansia yang tidak punya ponsel pintar. Sebelum memakainya, mereka harus memberikan salinan kartu identitas dan nomor telepon. Baru-baru ini pengguna aplikasi Trace Together pun harus melakukan hal serupa. Apabila penggunanya teruji positif mengidap Covid-19, mereka harus menyerahkan gawai itu kepada Kementerian Kesehatan, karena tidak seperti aplikasi pada ponsel pintar, perangkat tersebut tidak bisa mengirimkan data melalui internet. Petugas pelacakan kontak akan menggunakan riwayat elektronik pada alat tersebut secara manual untuk menemukan orang lain yang mungkin tertular. (Baca juga: Bayi Binturong Ini Diberi Nama Covid dan Corona)
"Fungsinya amat membosankan, yang justru menurut saya adalah desain bagus," kata pakar teknologi, Sean Cross, dilansir BBC. "Alat ini bisa mengorelasikan dengan siapa orang berhubungan, kepada siapa Anda menularkan; dan yang terpenting, siapa yang mungkin menularkan ke Anda," imbuhnya.
Singapura adalah negara pertama yang menggunakan aplikasi pelacakan virus corona secara nasional. Pemerintah Singapura mengatakan 2,1 juta orang telah mengunduh perangkat lunak pelacakan kontak tersebut, atau setara dengan 35% populasi. Pengunduhan itu bersifat sukarela, kecuali para pekerja migran yang tinggal di asrama. Mereka adalah mayoritas dari 44.000 kasus positif Covid-19 di Singapura.
Ketika alat tersebut pertama kali diperkenalkan ke publik awal Juni, sebagian masyarakat menentang pemerintah—sesuatu yang jarang terjadi di Singapura. Seorang warga bernama Wilson Low memulai petisi yang menuntut agar penggunaan alat dibatalkan. Hampir 54.000 orang menandatangani petisi tersebut. "Yang membuat pemerintah Singapura bisa menjadi negara pengawas adalah diwajibkannya penggunaan perangkat semacam itu," demikian bunyi petisi. (Andika H Mustaqim)
Bagi pemerintah, gawai tersebut tentunya menjadi alat yang vital untuk memerangi penyebaran virus corona. Di AS, beberapa negara bagian telah menerapkan pemanfaatan aplikasi khusus yang disebut dengan “I Checked In”. Aplikasi tersebut bisa memudahkan bagi pengusaha dan pelanggan untuk melacak pasien Covid-19 dalam transaksi dan bisnis.
Pencipta “I Checked In”, Avi Lugassy,mengungkapkan aplikasi itu sangat membantu bisnis yang diterpa pandemi. “Aplikasi itu menjadi cara terbaik untuk melacak orang yang pernah kontak dengan pasien korona,” katanya dilansir Fox News. (Baca: Covid-19 Belum reda, Muncul Wabah Bubonic di China)
Selain itu, North Dakota juga menjadi negara bagian di AS yang menerapkan aplikasi pelacak kontak bernama “Care-19” yang diterapkan April lalu. Para penggunanya mengatakan data lokasi bisa disembunyikan. Namun, pelayanan privasi pelanggan Jumbo menyatakan aplikasi itu bisa mendeteksi lokasi pengguna. “Berbagai lokasi pengguna sangat berbahaya karena berisiko terhadap gangguan privasi,” demikian analisis Jumbo.
The American Civil Liberties Union (ACLU) memperingatkan pada April lalu bahwa alat pelacak memang bisa mengganggu privasi. “Dalam beberapa pekan terakhir, kita mengetahui banyak proposal dari perusahaan teknologi mengenai aplikasi pelacak kontak,” demikian keterangan ACLU. Mereka menyatakan aplikasi itu juga berisiko melanggar hak kebebasan sipil dan hak-hak sipil warga AS.
Di Jepang, Kementerian Kesehatan telah menetapkan penggunaan pelayanan aplikasi pelacak kontak bagi pasien virus corona dan warga biasa. Aplikasi berbasis ponsel pintar itu diluncurkan pada 19 Juni lalu. Aplikasi tersebut telah diunduh hingga lima juta kali. Aplikasi itu menggunakan teknologi Bluetooth dan teknologi enkripsi. Ketika orang berinteraksi dengan individu yang menderita corona, aplikasi itu akan memberikan notifikasi.
Kemudian, Palang Merah Austria meluncurkan aplikasi ponsel pintar yang disebut dengan Stopp Corona. Itu untuk menjadikan penggunanya untuk menulis diari digital tentang orang yang pernah ditemuinya. Menurut Direktur Palang Merah Austria Gerry Foitik, tujuan utama aplikasi itu untuk mengurangi tantangan pelayanan medis. Dia mengungkapkan, aplikasi tersebut juga bisa digunakan untuk melakukan jabat tangan digital.
Aktivis perlindungan data Austria, Max Schrems, mengungkapkan bahwa aplikasi tersebut tidak bersifat rahasia karena setiap orang memiliki nomor identitas. Namun, dia mengungkapkan hal itu tidak menjadi permasalahan ketika bersentuhan dengan undang-undang privasi Uni Eropa (UE). “Itu bersifat opsional. Itu sukarela. Orang bisa bertanya apa maksudnya,” ujarnya. (Baca juga: Ahli Epidimiologi, Haruskah Covid-19 Menang?)
Terbaru adalah pemberlakuan Trace Together yang digunakan Singapura menghentikan penyebaran Covid-19. Peranti yang bisa dikalungkan di leher dan dibawa ke mana-mana ini merupakan tambahan dari aplikasi pelacakan kontak dalam menemukan orang yang mungkin tertular oleh pengidap virus corona.
Semua penggunanya harus membawa gawai tersebut tanpa harus mengecas, karena daya tahan baterai di dalamnya bisa mencapai sembilan bulan. Lembaga pemerintah yang membuat Trace Together mengakui gawai itu dan teknologinya secara umum bukanlah perangkat yang efektif 100%. Namun, gawai tersebut setidaknya dapat memperkuat upaya pelacakan kontak manusia.
Golongan masyarakat yang pertama menerima alat itu adalah ribuan lansia yang tidak punya ponsel pintar. Sebelum memakainya, mereka harus memberikan salinan kartu identitas dan nomor telepon. Baru-baru ini pengguna aplikasi Trace Together pun harus melakukan hal serupa. Apabila penggunanya teruji positif mengidap Covid-19, mereka harus menyerahkan gawai itu kepada Kementerian Kesehatan, karena tidak seperti aplikasi pada ponsel pintar, perangkat tersebut tidak bisa mengirimkan data melalui internet. Petugas pelacakan kontak akan menggunakan riwayat elektronik pada alat tersebut secara manual untuk menemukan orang lain yang mungkin tertular. (Baca juga: Bayi Binturong Ini Diberi Nama Covid dan Corona)
"Fungsinya amat membosankan, yang justru menurut saya adalah desain bagus," kata pakar teknologi, Sean Cross, dilansir BBC. "Alat ini bisa mengorelasikan dengan siapa orang berhubungan, kepada siapa Anda menularkan; dan yang terpenting, siapa yang mungkin menularkan ke Anda," imbuhnya.
Singapura adalah negara pertama yang menggunakan aplikasi pelacakan virus corona secara nasional. Pemerintah Singapura mengatakan 2,1 juta orang telah mengunduh perangkat lunak pelacakan kontak tersebut, atau setara dengan 35% populasi. Pengunduhan itu bersifat sukarela, kecuali para pekerja migran yang tinggal di asrama. Mereka adalah mayoritas dari 44.000 kasus positif Covid-19 di Singapura.
Ketika alat tersebut pertama kali diperkenalkan ke publik awal Juni, sebagian masyarakat menentang pemerintah—sesuatu yang jarang terjadi di Singapura. Seorang warga bernama Wilson Low memulai petisi yang menuntut agar penggunaan alat dibatalkan. Hampir 54.000 orang menandatangani petisi tersebut. "Yang membuat pemerintah Singapura bisa menjadi negara pengawas adalah diwajibkannya penggunaan perangkat semacam itu," demikian bunyi petisi. (Andika H Mustaqim)
(ysw)