Mengapa Negara-Negara Arab Terpecah dalam Normalisasi Hubungan dengan Israel?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dalam riwayatnya, Israel pernah berseteru dengan negara-negara Arab . Terutama setelah mereka menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1948. Selain itu, mereka juga turut mengecam tindakan Israel terhadap Palestina.
Seiring perkembangannya, konflik antara negara-negara Arab dengan Israel mulai mereda. Bahkan, sebagian negara diketahui telah membuka kembali hubungan diplomatiknya dengan Israel.
Beberapa negara tersebut diantaranya adalah Uni Emirat Arab dan Bahrain. Dikutip dari Al Jazeera, pada tahun 2020 UEA dan Bahrain resmi menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Adapun mereka menandatangani kesepakatan yang ditengahi oleh Amerika Serikat.
Menyikapi hal ini, Palestina meradang dan menganggap mereka merusak upaya negaranya untuk berdaulat penuh. Sebelum Uni Emirat Arab dan Bahrain, Mesir dan Yordania lebih dulu melakukan perjanjian damai dengan Israel. Masing-masing pada tahun 1979 dan 1994.
Berbeda dengan Uni Emirat Arab dan Bahrain, Kuwait dan Aljazair menegaskan bahwa pihaknya tidak akan menormalkan hubungan dengan Israel sampai status negara Palestina berdaulat tercapai.
Lebih lanjut, Presiden Aljazair Abdelmadjid Tebboune menyebut negara tidak tertarik untuk bergabung dengan mereka yang memihak Israel.
"Masalah Palestina adalah suci bagi kami dan itu adalah ibu dari semua masalah dan tidak akan diselesaikan kecuali dengan mendirikan negara Palestina, dengan perbatasan 1967, dengan Yerusalem Suci sebagai ibu kotanya," kata Tebboune.
Keputusan negara-negara Arab yang terpecah belah ini tentu menimbulkan pertanyaan, apakah memang seluruh negara Arab ini memang tidak bisa bersatu atau ada penyebab lain yang mendasarinya.
Dikutip dari laman Aa, Akademisi Palestina Amjad Shihab menyebut bahwa normalisasi hubungan negara-negara Arab dengan Israel merupakan fakta yang membuka kedok bahwa mereka hanya berpura-pura membantu Palestina.
Dengan menjual nama Palestina, mereka hanya mementingkan status dan kebutuhan pribadinya saja. Lebih lanjut, dia juga mengatakan bahwa dunia Arab tengah mengalami keruntuhan besar setelah terjadinya normalisasi ini.
Dikutip dari laman TRT World, pakar hukum internasional Universitas Princeton, Richard Falk beranggapan bahwa kesepakatan UEA-Bahrain dengan Israel semakin menunjukan bahwa negara-negara Arab memang tidak bisa bersatu.
“Ini menegaskan penerimaan hubungan dengan Israel di pihak monarki atas dasar kepentingan pribadi mereka, termasuk akuisisi senjata dan dukungan diplomatik AS, sambil mengabaikan konsensus Arab sebelumnya tentang menahan normalisasi sampai Palestina memiliki negara mereka sendiri dan ibukotanya di Yerusalem,” kata Falk.
Beralih ke sudut pandang negara-negara Arab yang memulihkan hubungan dengan Israel, mereka beralasan bahwa langkah ini merupakan solusi terbaik untuk menyelesaikan konflik dengan Israel.
Sebelumnya, segala bentuk upaya perdamaian dan stabilitas di kawasan Arab belum berhasil. Belakangan, krisis tersebut menjadi ancaman tersendiri bagi negara-negara Arab dalam hubungannya dengan negara Barat. Pada akhirnya, mereka memilih untuk membuka kembali lembaran baru dengan Israel.
Seiring perkembangannya, konflik antara negara-negara Arab dengan Israel mulai mereda. Bahkan, sebagian negara diketahui telah membuka kembali hubungan diplomatiknya dengan Israel.
Beberapa negara tersebut diantaranya adalah Uni Emirat Arab dan Bahrain. Dikutip dari Al Jazeera, pada tahun 2020 UEA dan Bahrain resmi menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Adapun mereka menandatangani kesepakatan yang ditengahi oleh Amerika Serikat.
Menyikapi hal ini, Palestina meradang dan menganggap mereka merusak upaya negaranya untuk berdaulat penuh. Sebelum Uni Emirat Arab dan Bahrain, Mesir dan Yordania lebih dulu melakukan perjanjian damai dengan Israel. Masing-masing pada tahun 1979 dan 1994.
Berbeda dengan Uni Emirat Arab dan Bahrain, Kuwait dan Aljazair menegaskan bahwa pihaknya tidak akan menormalkan hubungan dengan Israel sampai status negara Palestina berdaulat tercapai.
Lebih lanjut, Presiden Aljazair Abdelmadjid Tebboune menyebut negara tidak tertarik untuk bergabung dengan mereka yang memihak Israel.
"Masalah Palestina adalah suci bagi kami dan itu adalah ibu dari semua masalah dan tidak akan diselesaikan kecuali dengan mendirikan negara Palestina, dengan perbatasan 1967, dengan Yerusalem Suci sebagai ibu kotanya," kata Tebboune.
Keputusan negara-negara Arab yang terpecah belah ini tentu menimbulkan pertanyaan, apakah memang seluruh negara Arab ini memang tidak bisa bersatu atau ada penyebab lain yang mendasarinya.
Dikutip dari laman Aa, Akademisi Palestina Amjad Shihab menyebut bahwa normalisasi hubungan negara-negara Arab dengan Israel merupakan fakta yang membuka kedok bahwa mereka hanya berpura-pura membantu Palestina.
Dengan menjual nama Palestina, mereka hanya mementingkan status dan kebutuhan pribadinya saja. Lebih lanjut, dia juga mengatakan bahwa dunia Arab tengah mengalami keruntuhan besar setelah terjadinya normalisasi ini.
Dikutip dari laman TRT World, pakar hukum internasional Universitas Princeton, Richard Falk beranggapan bahwa kesepakatan UEA-Bahrain dengan Israel semakin menunjukan bahwa negara-negara Arab memang tidak bisa bersatu.
“Ini menegaskan penerimaan hubungan dengan Israel di pihak monarki atas dasar kepentingan pribadi mereka, termasuk akuisisi senjata dan dukungan diplomatik AS, sambil mengabaikan konsensus Arab sebelumnya tentang menahan normalisasi sampai Palestina memiliki negara mereka sendiri dan ibukotanya di Yerusalem,” kata Falk.
Beralih ke sudut pandang negara-negara Arab yang memulihkan hubungan dengan Israel, mereka beralasan bahwa langkah ini merupakan solusi terbaik untuk menyelesaikan konflik dengan Israel.
Sebelumnya, segala bentuk upaya perdamaian dan stabilitas di kawasan Arab belum berhasil. Belakangan, krisis tersebut menjadi ancaman tersendiri bagi negara-negara Arab dalam hubungannya dengan negara Barat. Pada akhirnya, mereka memilih untuk membuka kembali lembaran baru dengan Israel.
(esn)