AS Dorong Embargo Senjata Iran, Rusia: Kebijakan Mencekik Maksimum
loading...
A
A
A
NEW YORK - Rusia angkat bicara terkait desakan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Mike Pompeo, agar Dewan Keamanan PBB memperpanjang embargo senjata terhadap Iran yang akan berakhir pada Oktober mendatang. Moskow mengecam Washington dengan mengatakan kebijakan AS itu seperti "meletakkan lutut" di leher Teheran.
AS telah mengedarkan rancangan resolusi kepada dewan beranggotakan 15 negara itu yang akan memperpanjang tanpa batas embargo senjata terhadap Teheran. Namun China dan Rusia yang mempunyai hak veto telah mengisyaratkan sikap oposisi mereka terhadap langkah itu.
"Jangan hanya mengambilnya dari Amerika Serikat, dengarkan negara-negara di kawasan ini. Dari Israel ke Teluk, negara-negara di Timur Tengah - yang paling terpapar oleh predasi Iran - berbicara dengan satu suara: Perpanjang embargo senjata," kata Pompeo pada pertemuan virtual Dewan Keamanan.
Pemerintahan Presiden AS Donald Trump telah lama berpendapat bahwa embargo senjata terhadap Iran tidak boleh dicabut. Embargo senjata akan berakhir pada pertengahan Oktober di bawah kesepakatan nuklir Teheran 2015 dengan Inggris, Jerman, Prancis, China, Rusia dan pemerintah AS sebelum Trump, Barack Obama.
Sejak Trump menjabat pada tahun 2017, pemerintahannya telah menarik diri dari kesepakatan nuklir dan terus meningkatkan sanksi terhadap Iran dalam apa yang digambarkan Washington sebagai pendekatan tekanan maksimum.
Berbicara kepada Dewan Keamanan PBB, Duta Besar Rusia untuk Vassily Nebenzia menggambarkan kebijakan itu sebagai "kebijakan mencekik maksimum."
“Tugasnya adalah untuk mencapai perubahan rezim atau menciptakan situasi di mana Iran benar-benar tidak akan bisa bernafas. Ini seperti meletakkan lutut ke leher seseorang,” katanya seperti dikutip dari Reuters, Rabu (1/7/2020).
Pernyataan Nebenzia ini seolah referensi terselubung terkait kematian seorang pria berkulit hitam di Minneapolis setelah seorang polisi kulit putih berlutut di lehernya. Kematian George Floyd memicu protes di seluruh Amerika Serikat dan di seluruh dunia.
Dewan Keamanan mengadakan pertemuan pada hari Selasa untuk membahas laporan oleh Sekretaris Jenderal AS Antonio Guterres yang menetapkan bahwa rudal jelajah yang digunakan dalam beberapa serangan terhadap fasilitas minyak dan bandara internasional di Arab Saudi tahun lalu adalah "asal Iran." (Baca: AS Sita Persenjataan Asal Iran Terkait Serangan ke Saudi )
Duta Besar Arab Saudi untuk PBB Abdullah Al Mouallimi mengatakan Rusia dan China telah "bersimpati" terhadap situasi Riyadh, tetapi ketika sampai pada proposal untuk memperpanjang embargo senjata di Iran, mereka mungkin memiliki banyak nilai untuk diselesaikan dengan Amerika Serikat.
"Kami berusaha memisahkan kedua masalah dalam diskusi kami dengan mereka, yang terbuka, merupakan diskusi persahabatan, didasarkan pada hubungan baik yang kami nikmati dengan kedua negara," katanya dalam konferensi pers Selasa malam. (Baca: Saudi dan AS Dorong Perpanjangan Embargo Senjata PBB pada Iran )
Jika tidak berhasil memperpanjang embargo senjata, Washington telah mengancam untuk memicu semua sanksi PBB terhadap Iran di bawah kesepakatan nuklir meskipun telah keluar dari kesepakatan tersebut pada 2018 lalu. Para diplomat mengatakan Washington akan menghadapi pertarungan yang sulit. (Baca: AS Ancam Hidupkan Kembali Seluruh Sanksi PBB Terhadap Iran )
Iran telah melanggar bagian dari perjanjian nuklir sebagai tanggapan atas penarikan AS dan penerapan kembali sanksi Washington.
Kepala Urusan Politik dan Pembangunan Perdamaian PBB Rosemary DiCarlo mengatakan kesepakatan nuklir itu penting untuk keamanan regional dan internasional.
"Oleh karena itu sangat disesalkan bahwa masa depan perjanjian ini diragukan," imbuhnya.
Inggris, Prancis dan Jerman semuanya menyatakan keprihatinannya jika DK PBB mencabut embargo senjata terhadap Iran karena akan memiliki implikasi besar bagi keamanan dan stabilitas regional. Namun, mereka juga mengatakan bahwa mereka tidak akan mendukung upaya AS untuk secara sepihak memicu penerapan kembali semua sanksi terhadap Iran.
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif mengatakan: "Komunitas internasional pada umumnya - dan Dewan Keamanan PBB pada khususnya - menghadapi keputusan penting: Apakah kita tetap menghormati aturan hukum, atau apakah kita kembali ke hukum rimba dengan menyerah pada gertakan penjahat?”
AS telah mengedarkan rancangan resolusi kepada dewan beranggotakan 15 negara itu yang akan memperpanjang tanpa batas embargo senjata terhadap Teheran. Namun China dan Rusia yang mempunyai hak veto telah mengisyaratkan sikap oposisi mereka terhadap langkah itu.
"Jangan hanya mengambilnya dari Amerika Serikat, dengarkan negara-negara di kawasan ini. Dari Israel ke Teluk, negara-negara di Timur Tengah - yang paling terpapar oleh predasi Iran - berbicara dengan satu suara: Perpanjang embargo senjata," kata Pompeo pada pertemuan virtual Dewan Keamanan.
Pemerintahan Presiden AS Donald Trump telah lama berpendapat bahwa embargo senjata terhadap Iran tidak boleh dicabut. Embargo senjata akan berakhir pada pertengahan Oktober di bawah kesepakatan nuklir Teheran 2015 dengan Inggris, Jerman, Prancis, China, Rusia dan pemerintah AS sebelum Trump, Barack Obama.
Sejak Trump menjabat pada tahun 2017, pemerintahannya telah menarik diri dari kesepakatan nuklir dan terus meningkatkan sanksi terhadap Iran dalam apa yang digambarkan Washington sebagai pendekatan tekanan maksimum.
Berbicara kepada Dewan Keamanan PBB, Duta Besar Rusia untuk Vassily Nebenzia menggambarkan kebijakan itu sebagai "kebijakan mencekik maksimum."
“Tugasnya adalah untuk mencapai perubahan rezim atau menciptakan situasi di mana Iran benar-benar tidak akan bisa bernafas. Ini seperti meletakkan lutut ke leher seseorang,” katanya seperti dikutip dari Reuters, Rabu (1/7/2020).
Pernyataan Nebenzia ini seolah referensi terselubung terkait kematian seorang pria berkulit hitam di Minneapolis setelah seorang polisi kulit putih berlutut di lehernya. Kematian George Floyd memicu protes di seluruh Amerika Serikat dan di seluruh dunia.
Dewan Keamanan mengadakan pertemuan pada hari Selasa untuk membahas laporan oleh Sekretaris Jenderal AS Antonio Guterres yang menetapkan bahwa rudal jelajah yang digunakan dalam beberapa serangan terhadap fasilitas minyak dan bandara internasional di Arab Saudi tahun lalu adalah "asal Iran." (Baca: AS Sita Persenjataan Asal Iran Terkait Serangan ke Saudi )
Duta Besar Arab Saudi untuk PBB Abdullah Al Mouallimi mengatakan Rusia dan China telah "bersimpati" terhadap situasi Riyadh, tetapi ketika sampai pada proposal untuk memperpanjang embargo senjata di Iran, mereka mungkin memiliki banyak nilai untuk diselesaikan dengan Amerika Serikat.
"Kami berusaha memisahkan kedua masalah dalam diskusi kami dengan mereka, yang terbuka, merupakan diskusi persahabatan, didasarkan pada hubungan baik yang kami nikmati dengan kedua negara," katanya dalam konferensi pers Selasa malam. (Baca: Saudi dan AS Dorong Perpanjangan Embargo Senjata PBB pada Iran )
Jika tidak berhasil memperpanjang embargo senjata, Washington telah mengancam untuk memicu semua sanksi PBB terhadap Iran di bawah kesepakatan nuklir meskipun telah keluar dari kesepakatan tersebut pada 2018 lalu. Para diplomat mengatakan Washington akan menghadapi pertarungan yang sulit. (Baca: AS Ancam Hidupkan Kembali Seluruh Sanksi PBB Terhadap Iran )
Iran telah melanggar bagian dari perjanjian nuklir sebagai tanggapan atas penarikan AS dan penerapan kembali sanksi Washington.
Kepala Urusan Politik dan Pembangunan Perdamaian PBB Rosemary DiCarlo mengatakan kesepakatan nuklir itu penting untuk keamanan regional dan internasional.
"Oleh karena itu sangat disesalkan bahwa masa depan perjanjian ini diragukan," imbuhnya.
Inggris, Prancis dan Jerman semuanya menyatakan keprihatinannya jika DK PBB mencabut embargo senjata terhadap Iran karena akan memiliki implikasi besar bagi keamanan dan stabilitas regional. Namun, mereka juga mengatakan bahwa mereka tidak akan mendukung upaya AS untuk secara sepihak memicu penerapan kembali semua sanksi terhadap Iran.
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif mengatakan: "Komunitas internasional pada umumnya - dan Dewan Keamanan PBB pada khususnya - menghadapi keputusan penting: Apakah kita tetap menghormati aturan hukum, atau apakah kita kembali ke hukum rimba dengan menyerah pada gertakan penjahat?”
(ber)