Tradisi Orang Arab Nikahi Sepupu: Tak Haram, Lestarikan Kekayaan Keluarga

Selasa, 23 Agustus 2022 - 12:55 WIB
loading...
Tradisi Orang Arab Nikahi Sepupu: Tak Haram, Lestarikan Kekayaan Keluarga
Tradisi menikahi saudara sepupu masih dilestarikan di negara-negara Arab. Foto/REUTERS
A A A
DOHA - Orang-orang Arab di Timur Tengah memiliki tradisi menikah dengan saudara sepupu. Tradisi ini masih berlangsung karena diperbolehkan dalam agama dan demi melestarikan kekayaan keluarga.

Selain di seluruh Timur Tengah, tradisi ini juga berlaku di Afrika, dan sebagian Asia Selatan selama ribuan tahun. Selain untuk melestarikan kekayaan keluarga, tradisi ini awalnya juga untuk mengamankan hubungan antarsuku.

Namun dalam satu dekade terakhir, anak-anak muda Arab mulai mempertanyakan tradisi ini.

“Saya tidak akan mengatakan bahwa orang tua saya menekan saya, tetapi saya merasa masyarakat mengharapkannya,” kata Noor, wanita Qatar yang menikahi saudara sepupunya yang berusia 19 tahun. Noor menikah dengan sepupunya saat usianya 19 tahun.

Pasangan ini memiliki seorang putra, namun pernikahan mereka berakhir setelah 1,5 tahun.



“Kami putus karena dinamika keluarga, semua campur tangan. Bukan hanya pasangan yang terlibat, ini seluruh keluarga,” katanya, mengenakan abaya tradisional hitam yang menutupi kepala dan tubuh dan menolak menyebutkan nama keluarganya.

“Masyarakat ini memiliki kendala yang tidak terlihat. Itu tidak pernah disebutkan, tetapi Anda harus mengikutinya," ujar Noor, seperti dikutip Reuters.

Setidaknya setengah dari semua pernikahan Teluk Arab adalah antar-sepupu, dengan setidaknya 35 persen pernikahan di Qatar di dominasi antara saudara sepupu pertama--menurut penelitian Pusat Studi Genomik Arab yang berbasis di Dubai.

Di Arab Saudi, jumlah pernikahan semacam ini berkisar antara 25 hingga 42 persen, sedangkan di Uni Emirat Arab berkisar antara 21 hingga 28 persen.

Di Doha, pernah muncul debat publik tentang pernikahan campuran ketika anak-anak muda mulai mempertanyakan tradisi menikahi saudara sepupu.

Sebagian besar diskusi berfokus pada ketegangan antara praktik budaya dan sains yang memperingatkan dampak terhadap pernikahan kerabat--yang didefinisikan sebagai pernikahan antara sepupu kedua atau lebih dekat.

Diskusi kala itu bagian dari “Doha Debates”, serial yang disponsori oleh Qatar Foundation dan ditayangkan secara internasional yang menghadirkan empat pembicara yang mendukung dan menentang mosi kontroversial, dalam hal ini gagasan bahwa praktik perkawinan campuran harus dihentikan.

“Saya adalah bukti hidup bahwa pernikahan sepupu tidak berhasil,” kata Salma, seorang wanita Sudan yang tinggal di Qatar yang hadir di antara hadirin dan berbicara selama periode tanya jawab.

“Kedua orang tua saya adalah sepupu pertama. Bibi saya menikah dengan sepupu pertama dan memiliki dua anak, keduanya meninggal muda. Saya sekarang takut terkena diabetes, karena semua orang di keluarga saya menderita diabetes.”

Dalam beberapa tahun terakhir negara-negara Teluk telah mewajibkan tes pranikah untuk penyakit genetik termasuk anemia sel sabit, serta penyakit menular seperti hepatitis dan HIV.

Di Qatar, konseling diperlukan jika masalah genetik potensial terdeteksi, meskipun pasangan tersebut bebas untuk menikah jika mereka bersedia.

Kampanye kesadaran publik--terutama yang dimulai di Bahrain tiga dekade silam menargetkan mahasiswa di akhir remaja dan awal 20-an --telah berhasil mengurangi tingkat penyakit genetik seperti anemia sel sabit di negara itu. Demikian disampaikan Ghazi Tadmouri, asisten direktur Arab Centre for Genomic Studies, kepada Reuters.

Namun bahkan Tadmouri, seorang ahli genetika, mengakui bahwa keuntungan sosial dari menikahi anggota keluarga mungkin lebih besar daripada potensi kerugian genetik di beberapa masyarakat.

“Mahal untuk menikah di Teluk. Negosiasi keuangan pranikah jauh lebih mudah jika dilakukan di antara anggota keluarga,” kata Tadmouri.

“Dan itu memberikan rasa aman bagi wanita tersebut. Dia tidak memasuki dunia baru, dia memasuki keluarga yang sangat dia kenal.”

Yang lain telah menyatakan keprihatinan bahwa tes dapat menyebabkan stigmatisasi sosial.

“Masyarakat Teluk adalah masyarakat yang sangat rapuh. Tes ini mungkin menyarankan, 'Gadis ini punya masalah, jangan sentuh dia'," kata Omar, seorang warga Oman berusia 20-an tahun yang hadir di antara penonton.

Ketika ditanya dalam debat apakah mereka menikah atau akan mempertimbangkan untuk menikahi sepupu atau anggota keluarga lainnya, hanya dua dari lebih dari 300 warga Qatar, warga negara Teluk dan negara-negara Timur Tengah lainnya serta orang Barat dari berbagai usia di antara hadirin yang mengangkat tangan mereka.

Praktik menikahi saudara sepupu tidak dilarang oleh Islam, Kristen atau pun Yudaisme. Hadis Nabi Muhammad SAW yang dijadikan acuan umat Islam selama ini hanya melarang menikahi seseorang yang memiliki hubungan darah.

Islam juga melarang pernikahan antar-saudara sepersusuan.

Nabi Muhammad SAW sendiri menikahkan putrinya dengan sepupu pertamanya, Ali bin Abi Thalib. Ali adalah putra dari paman Nabi Muhammad, Abi Thalib.

“Ada kesalahpahaman bahwa orang tua sering memaksa anak perempuan mereka untuk menikah dalam keluarga. Gaya hidup kita yang terpisah seringkali tidak memungkinkan untuk mencampuradukkan jenis kelamin kecuali dalam lingkungan keluarga, seringkali satu-satunya kesempatan untuk jatuh cinta adalah dalam keluarga, karena Anda benar-benar tertutup dari orang lain,” kata penulis Arab Saudi, Samar Fatany, kepada Reuters.

Fatany mengatakan bahwa meskipun menikahi orang asing sering tidak disukai, pernikahan antara anggota keluarga meningkatkan keharmonisan dan stabilitas dalam keluarga, dan mendorong cara hidup yang berfokus pada keluarga.

“Kami sangat bangga dengan gaya hidup keluarga besar kami. Itu adalah sesuatu yang tidak ingin kami hilangkan.”

Dengan populasi Qatar yang kecil, pilihan pasangan potensial, bahkan mereka yang bukan kerabat, terbatas.

“Untuk warga negara Teluk Arab, jika Anda tidak menikahi sepupu pertama Anda, kemungkinan besar Anda masih akan menikah dengan klan atau suku Anda. Dan jika Anda menikah dalam klan atau suku Anda, hampir pasti Anda menikahi kerabat, yang juga membawa tingkat risiko tertentu,” kata Alan Bittles, ahli genetika di Center for Comparative Genomics di Universitas Murdoch Australia.

“Orang-orang bergantung pada keluarga, klan, untuk kesejahteraan mereka. (Masyarakat Teluk Arab) adalah masyarakat kesukuan, dan menjadi sangat politis. Terutama jika ada pemerintah pusat yang lemah, afiliasi klan dan suku menjadi jauh lebih penting,” kata Bittles.

“Anda harus mempertimbangkan keuntungan sosial dengan potensi kerugian genetik.”
(min)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1242 seconds (0.1#10.140)