Gara-gara Masker, Tiga Tewas saat Bentrok dengan Polisi Kenya
loading...
A
A
A
NAIROBI - Seorang saksi mata mengatakan tiga orang terbunuh di sebuah kota kecil di Lembah Rift Kenya selama konfrontasi antara polisi dan penduduk terkait pemakaian masker wajah untuk mencegah penyebaran virus corona.
Namun pihak kepolisian memberikan pernyataan yang berbeda terkait kematian dalam bentrokan tersebut.
Saksi bernama Kenneth Kaunda mengatakan aksi protes meletus di kota Lessos, Kenya, pada hari Kamis setelah warga berusaha mencegah petugas polisi menangkap pengendara ojek karena tidak mengenakan masker. Kenya telah mewajibkan penggunaan masker di muka umum dan menjatuhkan denda USD200 jika melanggar, jumlah yang lumayan bagi banyak orang.
Kaunda mengatakan, warga merasa lelah dengan polisi yang menangkap orang karena tidak memakai masker. Ia menegaskan bahwa seorang polisi yang telah menangkap pengemudi ojek menembaki kerumunan yang marah, membunuh tukang sepatu lokal.
"Dia menembak setidaknya lima kali ke kerumunan," kata Kaunda, seorang tukang batu, seperti dikutip dari VOA, Sabtu (27/6/2020).
Marah dengan kematian tukang sepatu, warga membakar rumah kepala polisi setempat dan menyerang kantor polisi dengan batu.
"Dalam kekacauan itu dua orang lainnya ditembak mati," kata Kaunda.
Tetapi pihak kepolisi mengatakan hal yang berbeda penyebab insiden itu.
Juru bicara kepolisian Kenya Charles Owino mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa pengendara sepeda motor lain berusaha mencegah rekan mereka ditangkap karena membawa dua penumpang. Pemerintah telah membatasi ojek untuk mengangkut satu penumpang guna mencegah penyebaran virus.
Owino menuduh para pengendara ojek mencoba "mengambil" senapan dari petugas yang menangkap, yang berujung pada insiden penembakan.
Inspektur Jenderal Polisi Hillary Mutyambai mengatakan kepada AP bahwa petugas polisi yang menembak tukang sepatu telah diskors dari pekerjaan dan ditangkap.
Kepolisian Kenya selama dua dekade telah menduduki peringkat institusi paling korup di negara itu. Lembaga itu juga yang paling mematikan di Kenya, menewaskan lebih banyak orang daripada yang dilakukan penjahat, menurut kelompok hak asasi manusia.
Aktivis hak asasi manusia selama berminggu-minggu telah memprotes dugaan pembunuhan oleh petugas kepolisian Kenya saat menegakkan pembatasan sosial terkait pencegahan virus Corona. Mereka juga menuduh petugas melakukan tindakan kekerasan untuk memeras.
Dalam tiga bulan terakhir 15 orang, termasuk seorang bocah lelaki berusia 13 tahun, telah dibunuh oleh polisi ketika menegakkan pembatasan baru, kata sebuah kelompok pengawas. Aktivis hak asasi manusia sekarang menempatkan angka 21.
Para aktivis mengatakan belum ada gelombang dukungan publik yang luas untuk perubahan di Kenya, salah satu negara dengan ekonomi terbesar di Afrika, bahkan ketika aksi protes telah meletus di banyak bagian dunia atas penyalahgunaan kewenangan oleh polisi.
Tetapi aktivis HAM Al-Amin Kimathi mengatakan bahwa meskipun kehilangan nyawa, hal iitu mendorong publik tidak lagi bersikap tenang.
"Sangat menggembirakan bahwa kali ini, setelah polisi membunuh orang pertama, orang-orang tidak duduk tetapi pergi untuk polisi sebagai aksi protes," ia mentweet.
"Perlu diperhatikan bahwa lain waktu tidak akan menjadi sikap pasrah yang biasa," tukasnya.
Namun pihak kepolisian memberikan pernyataan yang berbeda terkait kematian dalam bentrokan tersebut.
Saksi bernama Kenneth Kaunda mengatakan aksi protes meletus di kota Lessos, Kenya, pada hari Kamis setelah warga berusaha mencegah petugas polisi menangkap pengendara ojek karena tidak mengenakan masker. Kenya telah mewajibkan penggunaan masker di muka umum dan menjatuhkan denda USD200 jika melanggar, jumlah yang lumayan bagi banyak orang.
Kaunda mengatakan, warga merasa lelah dengan polisi yang menangkap orang karena tidak memakai masker. Ia menegaskan bahwa seorang polisi yang telah menangkap pengemudi ojek menembaki kerumunan yang marah, membunuh tukang sepatu lokal.
"Dia menembak setidaknya lima kali ke kerumunan," kata Kaunda, seorang tukang batu, seperti dikutip dari VOA, Sabtu (27/6/2020).
Marah dengan kematian tukang sepatu, warga membakar rumah kepala polisi setempat dan menyerang kantor polisi dengan batu.
"Dalam kekacauan itu dua orang lainnya ditembak mati," kata Kaunda.
Tetapi pihak kepolisi mengatakan hal yang berbeda penyebab insiden itu.
Juru bicara kepolisian Kenya Charles Owino mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa pengendara sepeda motor lain berusaha mencegah rekan mereka ditangkap karena membawa dua penumpang. Pemerintah telah membatasi ojek untuk mengangkut satu penumpang guna mencegah penyebaran virus.
Owino menuduh para pengendara ojek mencoba "mengambil" senapan dari petugas yang menangkap, yang berujung pada insiden penembakan.
Inspektur Jenderal Polisi Hillary Mutyambai mengatakan kepada AP bahwa petugas polisi yang menembak tukang sepatu telah diskors dari pekerjaan dan ditangkap.
Kepolisian Kenya selama dua dekade telah menduduki peringkat institusi paling korup di negara itu. Lembaga itu juga yang paling mematikan di Kenya, menewaskan lebih banyak orang daripada yang dilakukan penjahat, menurut kelompok hak asasi manusia.
Aktivis hak asasi manusia selama berminggu-minggu telah memprotes dugaan pembunuhan oleh petugas kepolisian Kenya saat menegakkan pembatasan sosial terkait pencegahan virus Corona. Mereka juga menuduh petugas melakukan tindakan kekerasan untuk memeras.
Dalam tiga bulan terakhir 15 orang, termasuk seorang bocah lelaki berusia 13 tahun, telah dibunuh oleh polisi ketika menegakkan pembatasan baru, kata sebuah kelompok pengawas. Aktivis hak asasi manusia sekarang menempatkan angka 21.
Para aktivis mengatakan belum ada gelombang dukungan publik yang luas untuk perubahan di Kenya, salah satu negara dengan ekonomi terbesar di Afrika, bahkan ketika aksi protes telah meletus di banyak bagian dunia atas penyalahgunaan kewenangan oleh polisi.
Tetapi aktivis HAM Al-Amin Kimathi mengatakan bahwa meskipun kehilangan nyawa, hal iitu mendorong publik tidak lagi bersikap tenang.
"Sangat menggembirakan bahwa kali ini, setelah polisi membunuh orang pertama, orang-orang tidak duduk tetapi pergi untuk polisi sebagai aksi protes," ia mentweet.
"Perlu diperhatikan bahwa lain waktu tidak akan menjadi sikap pasrah yang biasa," tukasnya.
(ber)