Sekjen PBB Menuju Moskow, Bahas Krisis Ukraina dengan Putin
loading...
A
A
A
NEW YORK - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB) Antonio Guterres akan melakukan perjalanan ke Moskow untuk membahas krisis Ukraina dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov.
Menurut pernyataan singkat juru bicara Sekjen PBB, ini pertemuan tatap muka pertama antara Putin dan Guterres sejak serangan Rusia ke Ukraina pada akhir Februari.
Pertemuan akan berlangsung pada Selasa, 26 April. Pada hari yang sama, Guterres juga akan mengadakan "rapat kerja dan makan siang" dengan Lavrov.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengkonfirmasi pertemuan yang dijelaskan akan berlangsung tetapi belum memberikan rincian agenda.
Namun, rencana Guterres diungkapkan pada Rabu oleh juru bicaranya Stephane Dujarric. Dujarric mengumumkan, pada hari sebelumnya, Sekretaris Jenderal PBB telah mengirim surat kepada Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky meminta pertemuan di Moskow dan Kiev.
"Sekretaris Jenderal mengatakan, pada saat bahaya dan konsekuensi besar ini, dia ingin membahas langkah-langkah mendesak untuk mewujudkan perdamaian di Ukraina dan masa depan multilateralisme berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan hukum internasional," papar pernyataan Dujarric.
Pertemuan Guterres dengan Zelensky belum dikonfirmasi, menurut Dujarric.
Kunjungan Sekretaris Jenderal ke Moskow terjadi ketika negosiasi antara Moskow dan Kiev tampaknya terhenti, dengan pihak-pihak yang terus-menerus menuduh satu sama lain menghambat evakuasi warga sipil, melakukan kejahatan perang, melanggar hukum internasional, dan menyebarkan disinformasi.
Rusia menyerang tetangganya menyusul kegagalan Ukraina menerapkan ketentuan perjanjian Minsk, yang ditandatangani pada 2014, dan pengakuan akhirnya Moskow atas republik Donbass, Donetsk dan Lugansk.
Protokol Minsk yang ditengahi Jerman dan Prancis dirancang untuk memberikan status khusus kepada daerah-daerah yang memisahkan diri di dalam negara Ukraina.
Kremlin sejak itu menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer NATO yang dipimpin AS.
Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan membantah klaim pihaknya berencana merebut kembali kedua republik dengan paksa.
Negara-negara Barat telah mengutuk serangan Rusia dan memberlakukan sanksi keras terhadap Moskow.
Rusia menganggap sanksi Barat itu melanggar hukum dan tidak dapat dibenarkan dan menanggapinya dengan sanksi balasannya sendiri.
Menurut pernyataan singkat juru bicara Sekjen PBB, ini pertemuan tatap muka pertama antara Putin dan Guterres sejak serangan Rusia ke Ukraina pada akhir Februari.
Pertemuan akan berlangsung pada Selasa, 26 April. Pada hari yang sama, Guterres juga akan mengadakan "rapat kerja dan makan siang" dengan Lavrov.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengkonfirmasi pertemuan yang dijelaskan akan berlangsung tetapi belum memberikan rincian agenda.
Namun, rencana Guterres diungkapkan pada Rabu oleh juru bicaranya Stephane Dujarric. Dujarric mengumumkan, pada hari sebelumnya, Sekretaris Jenderal PBB telah mengirim surat kepada Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky meminta pertemuan di Moskow dan Kiev.
"Sekretaris Jenderal mengatakan, pada saat bahaya dan konsekuensi besar ini, dia ingin membahas langkah-langkah mendesak untuk mewujudkan perdamaian di Ukraina dan masa depan multilateralisme berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan hukum internasional," papar pernyataan Dujarric.
Pertemuan Guterres dengan Zelensky belum dikonfirmasi, menurut Dujarric.
Kunjungan Sekretaris Jenderal ke Moskow terjadi ketika negosiasi antara Moskow dan Kiev tampaknya terhenti, dengan pihak-pihak yang terus-menerus menuduh satu sama lain menghambat evakuasi warga sipil, melakukan kejahatan perang, melanggar hukum internasional, dan menyebarkan disinformasi.
Rusia menyerang tetangganya menyusul kegagalan Ukraina menerapkan ketentuan perjanjian Minsk, yang ditandatangani pada 2014, dan pengakuan akhirnya Moskow atas republik Donbass, Donetsk dan Lugansk.
Protokol Minsk yang ditengahi Jerman dan Prancis dirancang untuk memberikan status khusus kepada daerah-daerah yang memisahkan diri di dalam negara Ukraina.
Kremlin sejak itu menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer NATO yang dipimpin AS.
Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan membantah klaim pihaknya berencana merebut kembali kedua republik dengan paksa.
Negara-negara Barat telah mengutuk serangan Rusia dan memberlakukan sanksi keras terhadap Moskow.
Rusia menganggap sanksi Barat itu melanggar hukum dan tidak dapat dibenarkan dan menanggapinya dengan sanksi balasannya sendiri.
(sya)