Eks Menlu Rusia: Putin Tes Taktik Pemerasan Nuklir dalam Perang Ukraina
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Mantan Menteri Luar Negeri (Menlu) Rusia Andrei V. Kozyrev menuduh Presiden Vladimir Putin sedang menguji taktik "pemerasan nuklir" dalam perang Ukraina .
Dalam serangkaian tweet hari Senin, bekas diplomat top Rusia yang kini tinggal di Amerika Serikat (AS) itu juga memperingatkan risiko Perang Dunia III akan meningkat jika kekuatan lawan "berkedip" pada ancaman Putin.
Kozyrev menjabat sebagai Menlu Rusia di era Presiden Boris Yeltsin, dan sejak itu dia menjadi kritikus terkemuka Putin.
Dalam wawancara 4 Maret dengan CNN, dia sangat blakblakan menentang perang di Ukraina, yang dia sebut sebagai tindakan barbar dari pihak Putin.
Pada 27 Februari, Putin memerintahkan militer Rusia untuk menempatkan pasukan nuklir mereka ke dalam layanan tempur khusus, sebuah peringatan yang ditingkatkan yang merupakan tingkat kedua dari empat level dan belum digunakan selama hampir 40 tahun.
Di Twitter, Kozyrev menjelaskan mengapa dia merasa Putin akan mengisyaratkan ancaman penggunaan senjata nuklir.
"Untuk Putin dan tim mantan perwira KGB-nya, Perang Dingin tidak pernah berakhir," tulis Kozyrev.
"Runtuhnya Uni Soviet hanyalah satu pertempuran yang hilang dalam kontes yang sedang berlangsung."
"Minggu lalu, saya membaca kritik terhadap posisi saya tentang rasionalitas Putin dan kemungkinan perang nuklir. Banyak yang tidak cukup realistis tentang ancaman nuklir atau tanggapan yang tepat," papar Kozrev.
“Pencegahan nuklir didasarkan pada keyakinan bahwa setiap serangan dengan senjata nuklir akan segera memicu respons serupa. Selama lebih dari 70 tahun, keyakinan ini—keseimbangan ketakutan—dibagikan oleh kekuatan nuklir dan menjauhkan Perang Dunia III,” lanjut dia.
Kozyrev kemudian merujuk Putin yang memerintahkan pasukan nuklir disiagakan tinggi, menyebut langkah itu tindakan bunuh diri mengingat kebijakan penghancuran yang dijamin bersama.
Mantan diplomat itu menyatakan dia tidak percaya Putin benar-benar ingin menggunakan senjata nuklir."Tetapi dia cukup pintar untuk mengancam melakukannya," kata Kozyrev, menyamakan ini dengan ketika pemimpin Soviet Nikita Khrushchev melakukan hal yang sama selama Krisis Rudal Kuba pada tahun 1962.
"Namun, sikap Presiden AS John F. Kennedy saat itu yang mencegah potensi Perang Dunia III," tulis Kozyrev. Kennedy adalah presiden ke-35 Amerika.
Kozyrev mencatat bahwa presiden ke-40 AS, Ronald Reagan, menanggapi hal yang sama selama masa kepresidenannya pada 1980-an ketika Uni Soviet mengerahkan rudal nuklir di Jerman Barat.
"Sekarang, Putin menggunakan strategi yang sama," kata Kozyrev. "Putin tidak suka berada di belakang, jadi sekarang mereka sedang memeriksa apakah ancaman perang nuklir efektif."
"Barat dengan sukarela memberikan bukti keefektifannya. Permainan memalukan di sekitar MiG Polandia dimulai setelah ancaman nuklir Putin," sambung dia. "Sekarang Kremlin ingin melihat apa lagi yang bisa mereka hentikan dengan pemerasan nuklir: mereka menyebut konvoi senjata Barat sebagai 'target yang sah'."
"Putin menyatakan bahwa sanksi ekonomi adalah 'tindakan perang'. Bisakah dia memaksa Barat untuk mengurangi sanksi dengan momok perang nuklir? Saya tidak mengerti mengapa dia tidak mencoba," imbuh dia, seperti dikutip dari Newsweek, Selasa (15/3/2022).
Dalam serangkaian tweet hari Senin, bekas diplomat top Rusia yang kini tinggal di Amerika Serikat (AS) itu juga memperingatkan risiko Perang Dunia III akan meningkat jika kekuatan lawan "berkedip" pada ancaman Putin.
Kozyrev menjabat sebagai Menlu Rusia di era Presiden Boris Yeltsin, dan sejak itu dia menjadi kritikus terkemuka Putin.
Dalam wawancara 4 Maret dengan CNN, dia sangat blakblakan menentang perang di Ukraina, yang dia sebut sebagai tindakan barbar dari pihak Putin.
Pada 27 Februari, Putin memerintahkan militer Rusia untuk menempatkan pasukan nuklir mereka ke dalam layanan tempur khusus, sebuah peringatan yang ditingkatkan yang merupakan tingkat kedua dari empat level dan belum digunakan selama hampir 40 tahun.
Di Twitter, Kozyrev menjelaskan mengapa dia merasa Putin akan mengisyaratkan ancaman penggunaan senjata nuklir.
"Untuk Putin dan tim mantan perwira KGB-nya, Perang Dingin tidak pernah berakhir," tulis Kozyrev.
"Runtuhnya Uni Soviet hanyalah satu pertempuran yang hilang dalam kontes yang sedang berlangsung."
"Minggu lalu, saya membaca kritik terhadap posisi saya tentang rasionalitas Putin dan kemungkinan perang nuklir. Banyak yang tidak cukup realistis tentang ancaman nuklir atau tanggapan yang tepat," papar Kozrev.
“Pencegahan nuklir didasarkan pada keyakinan bahwa setiap serangan dengan senjata nuklir akan segera memicu respons serupa. Selama lebih dari 70 tahun, keyakinan ini—keseimbangan ketakutan—dibagikan oleh kekuatan nuklir dan menjauhkan Perang Dunia III,” lanjut dia.
Kozyrev kemudian merujuk Putin yang memerintahkan pasukan nuklir disiagakan tinggi, menyebut langkah itu tindakan bunuh diri mengingat kebijakan penghancuran yang dijamin bersama.
Mantan diplomat itu menyatakan dia tidak percaya Putin benar-benar ingin menggunakan senjata nuklir."Tetapi dia cukup pintar untuk mengancam melakukannya," kata Kozyrev, menyamakan ini dengan ketika pemimpin Soviet Nikita Khrushchev melakukan hal yang sama selama Krisis Rudal Kuba pada tahun 1962.
"Namun, sikap Presiden AS John F. Kennedy saat itu yang mencegah potensi Perang Dunia III," tulis Kozyrev. Kennedy adalah presiden ke-35 Amerika.
Kozyrev mencatat bahwa presiden ke-40 AS, Ronald Reagan, menanggapi hal yang sama selama masa kepresidenannya pada 1980-an ketika Uni Soviet mengerahkan rudal nuklir di Jerman Barat.
"Sekarang, Putin menggunakan strategi yang sama," kata Kozyrev. "Putin tidak suka berada di belakang, jadi sekarang mereka sedang memeriksa apakah ancaman perang nuklir efektif."
"Barat dengan sukarela memberikan bukti keefektifannya. Permainan memalukan di sekitar MiG Polandia dimulai setelah ancaman nuklir Putin," sambung dia. "Sekarang Kremlin ingin melihat apa lagi yang bisa mereka hentikan dengan pemerasan nuklir: mereka menyebut konvoi senjata Barat sebagai 'target yang sah'."
"Putin menyatakan bahwa sanksi ekonomi adalah 'tindakan perang'. Bisakah dia memaksa Barat untuk mengurangi sanksi dengan momok perang nuklir? Saya tidak mengerti mengapa dia tidak mencoba," imbuh dia, seperti dikutip dari Newsweek, Selasa (15/3/2022).
(min)