Putra Mahkota Arab Saudi dan UEA Kompak Tolak Telepon dari Biden, Apa Sebabnya?
loading...
A
A
A
RIYADH - Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) dan Uni Emirat Arab (UEA) Sheikh Mohammed bin Zayed al Nahyan menolak permintaan Amerika Serikat (AS) untuk berbicara dengan Presiden Joe Biden dalam beberapa pekan terakhir.
Kabar mengejutkan itu diungkapkan The Wall Street Journal (WSJ). MBS dan Sheikh Mohammed bin Zayed al Nahyan merupakan pemimpin efektif negaranya masing-masing.
Presiden AS Joe Biden mengumumkan pada 8 Maret 2022 bahwa Washington melarang semua impor produk energi Rusia untuk memberikan "pukulan kuat lainnya ke mesin perang Presiden Rusia Vladimir Putin".
Langkah itu dilakukan sebagai tanggapan atas operasi khusus Rusia yang sedang berlangsung untuk demiliterisasi dan de-Nazifikasi Ukraina di tengah harga energi yang sudah melonjak.
Washington telah bekerja keras menggalang lebih banyak dukungan internasional untuk kebijakan sanksi yang menargetkan Rusia serta berharap dapat menahan lonjakan harga minyak.
Namun, pejabat Saudi dan Emirat semakin vokal dalam kritik mereka terhadap kebijakan AS di Teluk. Para pejabat Timur Tengah dan pejabat AS dikutip oleh WSJ dalam laporan tersebut.
"Ada beberapa harapan dari panggilan telepon, tetapi itu tidak terjadi ... Itu adalah bagian dari menyalakan keran (minyak Saudi)," ungkap seorang pejabat AS, dilansir WSJ.
Menurut laporan itu, pejabat senior Dewan Keamanan Nasional AS dan Departemen Luar Negeri AS telah melakukan perjalanan ke Riyadh dan Abu Dhabi dalam beberapa pekan terakhir untuk mengajukan permintaan AS secara langsung.
Joe Biden tidak pernah berbicara dengan Putra Mahkota Saudi Mohammed Bin Salman dan lebih memilih melakukan panggilan resmi pertamanya kepada ayah MBS, Raja Salman, pada 9 Februari. Saat itu Biden dan Raja Salman menegaskan “kemitraan strategis dan ekonomi” negara mereka.
Adapun UEA, Kementerian Luar Negerinya dikutip mengatakan panggilan telepon antara POTUS (Biden) dan Sheikh Mohammed akan "dijadwal ulang".
Awal pekan ini, juru bicara Gedung Putih Jen Psaki mengatakan kepada wartawan bahwa tidak ada rencana Biden dan Putra Mahkota Mohammed untuk segera berbicara.
Psaki juga menyangkal ada rencana bagi Presiden AS untuk melakukan perjalanan ke Riyadh.
Berbagai langkah tersebut untuk mendapatkan dukungan dari Negara-Negara Teluk yang Kaya Minyak di tengah dinginnya hubungan AS dengan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab sejak Biden menjabat pada 2021.
Pada saat itu Biden telah memeriksa kembali hubungan AS dengan Saudi terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Selain itu, pemerintahan Biden menghambat penjualan senjata ke kedua negara. UEA dilaporkan frustrasi dengan lambatnya kesepakatan untuk mengakuisisi jet tempur F-35 buatan AS.
Washington juga menolak desakan Abu Dhabi memberlakukan kembali sebutan terorisme untuk kelompok Houthi Yaman setelah Houthi melancarkan serangan ke UEA.
Masalah kontroversial lainnya adalah upaya Biden menghidupkan kembali Kesepakatan Nuklir Iran (JCPOA), yang setelah pembicaraan melelahkan di Wina, Austria, tampaknya hampir berhasil.
Kesepakatan nuklir 2015, ditandatangani tujuh kekuatan, termasuk AS dan Rusia, yang menempatkan batasan ketat pada kualitas dan kuantitas uranium yang dapat disempurnakan Iran dengan imbalan penghapusan sanksi internasional terhadap ekonomi Iran.
Washington, di era Presiden Donald Trump, menarik diri pada 2018 dan menerapkan kembali sanksi terhadap Teheran, mengklaim, tanpa bukti, bahwa Iran diam-diam mengejar kemampuan bom nuklir.
Selain itu, tuntutan lain adalah kekebalan hukum bagi Putra Mahkota Muhammad bin Salman, yang dikaitkan intelijen AS dengan pembunuhan jurnalis Saudi Jamal Khashoggi di konsulat Istanbul Arab Saudi pada 2018.
Duta Besar UEA untuk AS Yousef Al Otaiba membenarkan hubungan yang tegang antara kedua negara.
“Hari ini, kita menjalani tes stres, tetapi saya yakin kita akan keluar dari sana dan mencapai tempat yang lebih baik,” ungkap Al Otaiba pada 3 Maret di acara pertahanan.
Perkembangan ini terjadi karena dua negara Teluk, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab dianggap sebagai pemasok global yang memiliki kapasitas memompa lebih banyak minyak untuk meredakan lonjakan harga minyak saat ini.
Harga minyak terus melonjak ke level tertinggi baru setelah Biden melarang impor minyak mentah dan gas Rusia ke AS pada Selasa.
Langkah itu diumumkan sebagai bagian dari sanksi besar-besaran terhadap negara itu atas operasi khusus Moskow untuk de-militerisasi dan de-Nazifikasi Ukraina.
Sebagai hasil dari pengumuman Biden tersebut, harga minyak mencapai USD130 per barel, level tertinggi dalam 14 tahun.
Harga gas di Amerika melonjak pada Selasa ke level tertinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya sebesar USD4,17 per galon, dengan para ahli memperingatkan perkembangan akan terus mendorong biaya energi naik.
Lebih jauh lagi, perebutan meningkatkan pasokan minyak bahkan telah mendorong Washington, untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, membuka kembali saluran diplomatik dengan salah satu sekutu terdekat Rusia di Amerika Latin, Venezuela.
Negara di pantai utara Amerika Selatan ini memiliki cadangan minyak terbukti terbesar di dunia dan pernah menjadi eksportir utama hingga produksinya turun dari sekitar 3 juta barel per hari menjadi kurang dari satu juta barel di tengah sanksi keras yang diberlakukan AS.
Hukuman dijatuhkan terhadap pemerintah Venezuela yang terpilih secara demokratis pada Januari 2019 setelah tokoh oposisi Venezuela Juan Guaido mengumumkan dirinya sebagai "presiden sementara" negara itu.
Guaido memimpin upaya kudeta yang gagal, dengan pemerintahan Donald Trump mengakui klaimnya pada Januari 2019.
Beberapa hari yang lalu, delegasi Amerika mengunjungi Caracas dalam upaya membahas "keamanan energi" dan memastikan produksi minyak tambahan untuk menopang ekonomi AS.
Sekarang, Venezuela telah membebaskan dari penjara setidaknya dua orang warga Amerika, Gustavo Cardenas, satu dari enam eksekutif Exxon yang ditahan di Venezuela atas tuduhan korupsi dan penggelapan sejak 2017, dan Jorge Alberto Fernandez, warga Kuba-Amerika yang ditahan atas tuduhan terorisme.
Langkah ini dilihat para analis sebagai isyarat niat baik yang nyata dan mungkin merupakan awal dari anggota OPEC yang meningkatkan produksi untuk meredakan lonjakan harga minyak dunia.
Sementara itu, Biden mengklaim keputusan melarang semua impor energi dari Rusia akan memberikan "pukulan kuat lainnya bagi mesin perang Putin".
Moskow meluncurkan operasi militer khusus yang bertujuan demiliterisasi dan de-Nazifikasi Ukraina pada 24 Februari, yang dilakukan dalam koordinasi dengan sekutu Donbass, Republik Rakyat Donetsk dan Lugansk (DPR, LPR).
Langkah itu dilakukan setelah dua kelompok yang secara resmi diakui kemerdekaannya oleh Moskow, meminta bantuan di tengah meningkatnya serangan oleh pasukan Kiev.
Hanya aset militer yang menjadi sasaran serangan Rusia, menurut pihak berwenang Rusia, dengan Kremlin menegaskan kembali mereka tidak berniat menduduki Ukraina.
Namun, AS dan sekutu NATO-nya telah meluncurkan sanksi besar-besaran yang menargetkan Rusia.
Lihat Juga: Prabowo Disambut Gegap Gempita di UEA: Meriam Dentum, Pasukan Berkuda dan Unta Menghiasi Jalan Menuju Istana
Kabar mengejutkan itu diungkapkan The Wall Street Journal (WSJ). MBS dan Sheikh Mohammed bin Zayed al Nahyan merupakan pemimpin efektif negaranya masing-masing.
Presiden AS Joe Biden mengumumkan pada 8 Maret 2022 bahwa Washington melarang semua impor produk energi Rusia untuk memberikan "pukulan kuat lainnya ke mesin perang Presiden Rusia Vladimir Putin".
Langkah itu dilakukan sebagai tanggapan atas operasi khusus Rusia yang sedang berlangsung untuk demiliterisasi dan de-Nazifikasi Ukraina di tengah harga energi yang sudah melonjak.
Washington telah bekerja keras menggalang lebih banyak dukungan internasional untuk kebijakan sanksi yang menargetkan Rusia serta berharap dapat menahan lonjakan harga minyak.
Namun, pejabat Saudi dan Emirat semakin vokal dalam kritik mereka terhadap kebijakan AS di Teluk. Para pejabat Timur Tengah dan pejabat AS dikutip oleh WSJ dalam laporan tersebut.
"Ada beberapa harapan dari panggilan telepon, tetapi itu tidak terjadi ... Itu adalah bagian dari menyalakan keran (minyak Saudi)," ungkap seorang pejabat AS, dilansir WSJ.
Menurut laporan itu, pejabat senior Dewan Keamanan Nasional AS dan Departemen Luar Negeri AS telah melakukan perjalanan ke Riyadh dan Abu Dhabi dalam beberapa pekan terakhir untuk mengajukan permintaan AS secara langsung.
Joe Biden tidak pernah berbicara dengan Putra Mahkota Saudi Mohammed Bin Salman dan lebih memilih melakukan panggilan resmi pertamanya kepada ayah MBS, Raja Salman, pada 9 Februari. Saat itu Biden dan Raja Salman menegaskan “kemitraan strategis dan ekonomi” negara mereka.
Adapun UEA, Kementerian Luar Negerinya dikutip mengatakan panggilan telepon antara POTUS (Biden) dan Sheikh Mohammed akan "dijadwal ulang".
Awal pekan ini, juru bicara Gedung Putih Jen Psaki mengatakan kepada wartawan bahwa tidak ada rencana Biden dan Putra Mahkota Mohammed untuk segera berbicara.
Psaki juga menyangkal ada rencana bagi Presiden AS untuk melakukan perjalanan ke Riyadh.
Berbagai langkah tersebut untuk mendapatkan dukungan dari Negara-Negara Teluk yang Kaya Minyak di tengah dinginnya hubungan AS dengan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab sejak Biden menjabat pada 2021.
Pada saat itu Biden telah memeriksa kembali hubungan AS dengan Saudi terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Selain itu, pemerintahan Biden menghambat penjualan senjata ke kedua negara. UEA dilaporkan frustrasi dengan lambatnya kesepakatan untuk mengakuisisi jet tempur F-35 buatan AS.
Washington juga menolak desakan Abu Dhabi memberlakukan kembali sebutan terorisme untuk kelompok Houthi Yaman setelah Houthi melancarkan serangan ke UEA.
Masalah kontroversial lainnya adalah upaya Biden menghidupkan kembali Kesepakatan Nuklir Iran (JCPOA), yang setelah pembicaraan melelahkan di Wina, Austria, tampaknya hampir berhasil.
Kesepakatan nuklir 2015, ditandatangani tujuh kekuatan, termasuk AS dan Rusia, yang menempatkan batasan ketat pada kualitas dan kuantitas uranium yang dapat disempurnakan Iran dengan imbalan penghapusan sanksi internasional terhadap ekonomi Iran.
Washington, di era Presiden Donald Trump, menarik diri pada 2018 dan menerapkan kembali sanksi terhadap Teheran, mengklaim, tanpa bukti, bahwa Iran diam-diam mengejar kemampuan bom nuklir.
Selain itu, tuntutan lain adalah kekebalan hukum bagi Putra Mahkota Muhammad bin Salman, yang dikaitkan intelijen AS dengan pembunuhan jurnalis Saudi Jamal Khashoggi di konsulat Istanbul Arab Saudi pada 2018.
Duta Besar UEA untuk AS Yousef Al Otaiba membenarkan hubungan yang tegang antara kedua negara.
“Hari ini, kita menjalani tes stres, tetapi saya yakin kita akan keluar dari sana dan mencapai tempat yang lebih baik,” ungkap Al Otaiba pada 3 Maret di acara pertahanan.
Perkembangan ini terjadi karena dua negara Teluk, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab dianggap sebagai pemasok global yang memiliki kapasitas memompa lebih banyak minyak untuk meredakan lonjakan harga minyak saat ini.
Harga minyak terus melonjak ke level tertinggi baru setelah Biden melarang impor minyak mentah dan gas Rusia ke AS pada Selasa.
Langkah itu diumumkan sebagai bagian dari sanksi besar-besaran terhadap negara itu atas operasi khusus Moskow untuk de-militerisasi dan de-Nazifikasi Ukraina.
Sebagai hasil dari pengumuman Biden tersebut, harga minyak mencapai USD130 per barel, level tertinggi dalam 14 tahun.
Harga gas di Amerika melonjak pada Selasa ke level tertinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya sebesar USD4,17 per galon, dengan para ahli memperingatkan perkembangan akan terus mendorong biaya energi naik.
Lebih jauh lagi, perebutan meningkatkan pasokan minyak bahkan telah mendorong Washington, untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, membuka kembali saluran diplomatik dengan salah satu sekutu terdekat Rusia di Amerika Latin, Venezuela.
Negara di pantai utara Amerika Selatan ini memiliki cadangan minyak terbukti terbesar di dunia dan pernah menjadi eksportir utama hingga produksinya turun dari sekitar 3 juta barel per hari menjadi kurang dari satu juta barel di tengah sanksi keras yang diberlakukan AS.
Hukuman dijatuhkan terhadap pemerintah Venezuela yang terpilih secara demokratis pada Januari 2019 setelah tokoh oposisi Venezuela Juan Guaido mengumumkan dirinya sebagai "presiden sementara" negara itu.
Guaido memimpin upaya kudeta yang gagal, dengan pemerintahan Donald Trump mengakui klaimnya pada Januari 2019.
Beberapa hari yang lalu, delegasi Amerika mengunjungi Caracas dalam upaya membahas "keamanan energi" dan memastikan produksi minyak tambahan untuk menopang ekonomi AS.
Sekarang, Venezuela telah membebaskan dari penjara setidaknya dua orang warga Amerika, Gustavo Cardenas, satu dari enam eksekutif Exxon yang ditahan di Venezuela atas tuduhan korupsi dan penggelapan sejak 2017, dan Jorge Alberto Fernandez, warga Kuba-Amerika yang ditahan atas tuduhan terorisme.
Langkah ini dilihat para analis sebagai isyarat niat baik yang nyata dan mungkin merupakan awal dari anggota OPEC yang meningkatkan produksi untuk meredakan lonjakan harga minyak dunia.
Sementara itu, Biden mengklaim keputusan melarang semua impor energi dari Rusia akan memberikan "pukulan kuat lainnya bagi mesin perang Putin".
Moskow meluncurkan operasi militer khusus yang bertujuan demiliterisasi dan de-Nazifikasi Ukraina pada 24 Februari, yang dilakukan dalam koordinasi dengan sekutu Donbass, Republik Rakyat Donetsk dan Lugansk (DPR, LPR).
Langkah itu dilakukan setelah dua kelompok yang secara resmi diakui kemerdekaannya oleh Moskow, meminta bantuan di tengah meningkatnya serangan oleh pasukan Kiev.
Hanya aset militer yang menjadi sasaran serangan Rusia, menurut pihak berwenang Rusia, dengan Kremlin menegaskan kembali mereka tidak berniat menduduki Ukraina.
Namun, AS dan sekutu NATO-nya telah meluncurkan sanksi besar-besaran yang menargetkan Rusia.
Lihat Juga: Prabowo Disambut Gegap Gempita di UEA: Meriam Dentum, Pasukan Berkuda dan Unta Menghiasi Jalan Menuju Istana
(sya)