Ditelepon PM Kamboja, Jokowi Sampaikan 5 Hal soal Myanmar
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perdana Menteri (PM) Kerajaan Kamboja Samdech Akka Moha Sena Padei Techo Hun Sen menelepon Presiden Indonesia Joko Widodo ( Jokowi ) pada hari Jumat. Dalam percakapan telepon tersebut, PM Hun Sen menyampaikan hasil kunjungannya ke Myanmar .
Dalam kesempatan tersebut, Presiden Jokowi menyampaikan lima hal terkait krisis Myanmar. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia dalam keterangan persnya pada Sabtu (22/1/2022) merinci kelima hal tersebut, antara lain:
1. Menegaskan bahwa pendekatan ASEAN terhadap Myanmar harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang telah disepakati bersama, utamanya Lima Poin Konsensus.
2. Menyayangkan sikap militer Myanmar yang tidak menunjukkan komitmen untuk melaksanakan Lima Poin Konsensus pada kesempatan kunjungan Perdana Menteri Hun Sen.
3. Menegaskan bahwa implementasi Lima Poin Konsensus tidak dapat dikaitkan dengan Lima Poin Roadmap yang diusung otoritas militer (State Administration Council) Myanmar.
4. Militer Myanmar harus memberikan akses terhadap Utusan Khusus Ketua ASEAN untuk dapat melakukan komunikasi segera dengan semua pihak di Myanmar. Komunikasi ini sangat penting untuk membuka jalan bagi sebuah dialog nasional yang inklusif.
5. Selama tidak ada kemajuan signifikan pelaksanaan Lima Poin Konsensus, maka keputusan bahwa Myanmar hanya diwakili oleh non-political representative di pertemuan-pertemuan ASEAN, penting untuk dipertahankan.
Menanggapi usul PM Hun Sen tentang pembentukan Troika yang terdiri dari Menteri Luar Negeri (Menlu)/Utusan Khusus Kamboja, Menlu Brunei dan Menlu Indonesia dan didukung Sekjen ASEAN untuk memonitor implementasi Lima Poin Konsensus, Jokowi telah mencatatnya dan menyampaikan agar usulan tersebut dibahas lebih lanjut oleh para Menlu ASEAN.
"Presiden Joko Widodo sepakat atas usulan pembentukan Consultative Meeting yang terdiri dari Utusan Khusus dan Sekjen ASEAN, AHA Center, otoritas Myanmar dan badan-badan PBB untuk mendukung penyaluran bantuan kemanusiaan tanpa diskriminasi," kata Kemlu dalam keterangan persnya.
Myanmar telah dilanda krisis politik dan di ambang perang saudara setelah militer melakukan kudeta terhadap pemerintah sipil pimpinan Aung San Su Kyi pada 1 Februari 2021.
Dalam kesempatan tersebut, Presiden Jokowi menyampaikan lima hal terkait krisis Myanmar. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia dalam keterangan persnya pada Sabtu (22/1/2022) merinci kelima hal tersebut, antara lain:
1. Menegaskan bahwa pendekatan ASEAN terhadap Myanmar harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang telah disepakati bersama, utamanya Lima Poin Konsensus.
2. Menyayangkan sikap militer Myanmar yang tidak menunjukkan komitmen untuk melaksanakan Lima Poin Konsensus pada kesempatan kunjungan Perdana Menteri Hun Sen.
3. Menegaskan bahwa implementasi Lima Poin Konsensus tidak dapat dikaitkan dengan Lima Poin Roadmap yang diusung otoritas militer (State Administration Council) Myanmar.
4. Militer Myanmar harus memberikan akses terhadap Utusan Khusus Ketua ASEAN untuk dapat melakukan komunikasi segera dengan semua pihak di Myanmar. Komunikasi ini sangat penting untuk membuka jalan bagi sebuah dialog nasional yang inklusif.
5. Selama tidak ada kemajuan signifikan pelaksanaan Lima Poin Konsensus, maka keputusan bahwa Myanmar hanya diwakili oleh non-political representative di pertemuan-pertemuan ASEAN, penting untuk dipertahankan.
Menanggapi usul PM Hun Sen tentang pembentukan Troika yang terdiri dari Menteri Luar Negeri (Menlu)/Utusan Khusus Kamboja, Menlu Brunei dan Menlu Indonesia dan didukung Sekjen ASEAN untuk memonitor implementasi Lima Poin Konsensus, Jokowi telah mencatatnya dan menyampaikan agar usulan tersebut dibahas lebih lanjut oleh para Menlu ASEAN.
"Presiden Joko Widodo sepakat atas usulan pembentukan Consultative Meeting yang terdiri dari Utusan Khusus dan Sekjen ASEAN, AHA Center, otoritas Myanmar dan badan-badan PBB untuk mendukung penyaluran bantuan kemanusiaan tanpa diskriminasi," kata Kemlu dalam keterangan persnya.
Myanmar telah dilanda krisis politik dan di ambang perang saudara setelah militer melakukan kudeta terhadap pemerintah sipil pimpinan Aung San Su Kyi pada 1 Februari 2021.