Culik Misionaris AS, Geng Haiti Minta Tebusan Rp239 Miliar
loading...
A
A
A
PORT AU PRINCE - Geng bersenjata Haiti menuntut tebusan sebesar USD17 juta atau sekitar Rp239 miliar untuk sekelompok misionaris asal Amerika Serikat (AS) dan Kanada yang mereka culik pada Minggu lalu. Demikian laporan surat kabar Wall Street Journal (WSJ).
Menteri Kehakiman Haiti Liszt Quitel mengatakan kepada surat kabar itu bahwa geng Mawozo 400 yang terkenal meminta USD1 juta per sandera.
Untuk diketahui, keng Mawozo mengontrol daerah Ganthier di pinggiran timur Ibu Kota negara itu, Port-au-Prince, di mana sekelompok 16 warga AS dan satu warga Kanada diculik pada hari Sabtu saat bepergian untuk mengunjungi panti asuhan.
Christian Aid Ministries yang berbasis di Ohio mengkonfirmasi pada hari Minggu penculikan 17 misionaris oleh geng Haiti ketika mereka mengunjungi panti asuhan pada hari Sabtu. Kelompok ini mencakup 16 warga negara AS dan satu warga negara Kanada. Lima adalah anak-anak.
"Para sandera termasuk lima anak, yang termuda berusia 8 bulan," kata Quitel seperti dinukil dari NBC News, Selasa (19/10/2021).
Quitel mengatakan kelompok yang sama menculik sekelompok pastor dan biarawati Katolik pada bulan April lalu dan pihak berwenang sedang berusaha untuk mendapatkan hasil yang serupa dengan apa yang terjadi setelah penculikan itu.
Kelompok itu membebaskan lima pastor, dua biarawati dan tiga kerabat mereka pada akhir bulan dan uang tebusan hanya dibayarkan untuk dua pastor.
"Kami mencoba membebaskan mereka tanpa membayar uang tebusan," kata Quitel dan mengatakan ketika uang tebusan dibayarkan, uang itu akan digunakan membeli senjata dan amunisi.
"Itu akan menjadi hasil terbaik," imbuhnya seperti dikutip dari Anadolu.
Sebelumnya pada hari Senin, sekretaris pers Gedung Putih Jen Psaki mengatakan FBI terlibat dalam upaya pemerintah AS yang terkoordinasi untuk menyelamatkan para sandera.
Agen-agen itu tiba di Haiti sehari sebelumnya untuk membantu Departemen Luar Negeri mengamankan pembebasan para misionaris, sebuah sumber yang dekat dengan pemerintahan Biden mengatakan kepada NBC News.
Pusat Analisis dan Penelitian Hak Asasi Manusia, sebuah kelompok nirlaba Haiti, mengatakan telah mencatat setidaknya terjadi 628 penculikan sejak Januari, 29 di antaranya adalah warga negara asing.
"(Bulan) September mengalami peningkatan 300 persen dalam jumlah insiden dibandingkan Juli," kata lembaga itu.
Ketika pencarian misionaris yang diculik meningkat pada hari Senin, warga Haiti mengadakan pemogokan umum di Port au Prince untuk memprotes kekerasan yang meluas dan ekonomi negara yang hancur. Kondisi sebagian besar hanya memburuk sejak pembunuhan Presiden Jovenel Moise pada bulan Juli lalu serta gempa bumi berkekuatan 7,2 pada bulan Agustus yang menewaskan 2.200 orang dan selanjutnya merusak infrastruktur yang sudah lemah.
"Geng-geng bersenjata bahkan sekarang mengontrol akses ke bantuan medis," kata seorang dokter di negara itu kepada NBC News.
Seorang dokter, Richard Frechette, harus bernegosiasi dengan geng untuk memastikan aliran oksigen cair yang dia butuhkan untuk merawat pasien COVID-19 di Rumah Sakit St. Luke di Port au Prince.
"Ini menghebohkan karena Anda akan memiliki 40 orang tewas di rumah sakit Anda dalam hitungan jam jika Anda tidak berhasil. Dan itu sangat rumit ketika Anda harus melalui geng untuk mendapatkan oksigen," katanya melalui telepon dari Port au Prince
Menteri Kehakiman Haiti Liszt Quitel mengatakan kepada surat kabar itu bahwa geng Mawozo 400 yang terkenal meminta USD1 juta per sandera.
Untuk diketahui, keng Mawozo mengontrol daerah Ganthier di pinggiran timur Ibu Kota negara itu, Port-au-Prince, di mana sekelompok 16 warga AS dan satu warga Kanada diculik pada hari Sabtu saat bepergian untuk mengunjungi panti asuhan.
Christian Aid Ministries yang berbasis di Ohio mengkonfirmasi pada hari Minggu penculikan 17 misionaris oleh geng Haiti ketika mereka mengunjungi panti asuhan pada hari Sabtu. Kelompok ini mencakup 16 warga negara AS dan satu warga negara Kanada. Lima adalah anak-anak.
"Para sandera termasuk lima anak, yang termuda berusia 8 bulan," kata Quitel seperti dinukil dari NBC News, Selasa (19/10/2021).
Quitel mengatakan kelompok yang sama menculik sekelompok pastor dan biarawati Katolik pada bulan April lalu dan pihak berwenang sedang berusaha untuk mendapatkan hasil yang serupa dengan apa yang terjadi setelah penculikan itu.
Kelompok itu membebaskan lima pastor, dua biarawati dan tiga kerabat mereka pada akhir bulan dan uang tebusan hanya dibayarkan untuk dua pastor.
"Kami mencoba membebaskan mereka tanpa membayar uang tebusan," kata Quitel dan mengatakan ketika uang tebusan dibayarkan, uang itu akan digunakan membeli senjata dan amunisi.
"Itu akan menjadi hasil terbaik," imbuhnya seperti dikutip dari Anadolu.
Sebelumnya pada hari Senin, sekretaris pers Gedung Putih Jen Psaki mengatakan FBI terlibat dalam upaya pemerintah AS yang terkoordinasi untuk menyelamatkan para sandera.
Agen-agen itu tiba di Haiti sehari sebelumnya untuk membantu Departemen Luar Negeri mengamankan pembebasan para misionaris, sebuah sumber yang dekat dengan pemerintahan Biden mengatakan kepada NBC News.
Pusat Analisis dan Penelitian Hak Asasi Manusia, sebuah kelompok nirlaba Haiti, mengatakan telah mencatat setidaknya terjadi 628 penculikan sejak Januari, 29 di antaranya adalah warga negara asing.
"(Bulan) September mengalami peningkatan 300 persen dalam jumlah insiden dibandingkan Juli," kata lembaga itu.
Ketika pencarian misionaris yang diculik meningkat pada hari Senin, warga Haiti mengadakan pemogokan umum di Port au Prince untuk memprotes kekerasan yang meluas dan ekonomi negara yang hancur. Kondisi sebagian besar hanya memburuk sejak pembunuhan Presiden Jovenel Moise pada bulan Juli lalu serta gempa bumi berkekuatan 7,2 pada bulan Agustus yang menewaskan 2.200 orang dan selanjutnya merusak infrastruktur yang sudah lemah.
"Geng-geng bersenjata bahkan sekarang mengontrol akses ke bantuan medis," kata seorang dokter di negara itu kepada NBC News.
Seorang dokter, Richard Frechette, harus bernegosiasi dengan geng untuk memastikan aliran oksigen cair yang dia butuhkan untuk merawat pasien COVID-19 di Rumah Sakit St. Luke di Port au Prince.
"Ini menghebohkan karena Anda akan memiliki 40 orang tewas di rumah sakit Anda dalam hitungan jam jika Anda tidak berhasil. Dan itu sangat rumit ketika Anda harus melalui geng untuk mendapatkan oksigen," katanya melalui telepon dari Port au Prince
(ian)