Malaysia Hendak Larang Muslim Transgender Masuk Masjid
loading...
A
A
A
KUALA LUMPUR - Beberapa pemimpin agama dan pemerintah Malaysia saat ini sedang mempertimbangkan larangan federal terhadap muslim transgender memasuki masjid.
Jika diterapkan, langkah itu akan menggemakan larangan serupa yang disahkan pada Juni oleh negara bagian Perlis di utara Malaysia.
“Bagi saya, apa yang dilakukan Perlis adalah sesuatu yang bisa dicontoh, karena jika seorang laki-laki memasuki masjid mengenakan jilbab, itu sangat tidak pantas,” kata Datuk Ahmad Marzuk, seorang wakil menteri di Departemen Perdana Menteri Urusan Agama, yang dilansir The Star.
Marzuk, yang tampaknya mengacu pada wanita transgender dan crossdresser, menambahkan bahwa seorang “pria” yang datang ke masjid untuk “bertobat” boleh saja, tetapi menyarankan bahwa wanita transgender yang memasuki ruang wanita di masjid akan mengganggu privasi mereka.
“Jika kita ingin mendorong negara bagian lain untuk mengikuti apa yang dilakukan di Perlis, kita harus melihat keseriusan kasus yang terjadi,” kata Marzuk.
Namun dalam wawancara yang sama, dia mengakui bahwa pihaknya belum menerima laporan tentang orang-orang transgender di dalam masjid.
Mufti Penang Wan Salim Wan Mohd Noor, seorang otoritas agama Islam, mengeklaim bahwa dia sangat bersimpati kepada kelompok transgender dan berharap mereka diterima oleh masyarakat umum.
“Namun, mereka juga harus berusaha beradaptasi dengan budaya dan norma masyarakat biasa,” katanya, yang dilansir Bernama.
Noor menambahkan bahwa orang-orang transgender bertentangan dengan hukum alam dan agama dan bahwa hidup secara terbuka sebagai transgender akan menyebabkan mereka menghadapi berbagai tantangan dalam hidup.
“Seharusnya pengurus masjid menasihati jamaah dengan lembut dan hati-hati agar mereka menghormati kesucian rumah ibadah Islam dengan pakaian yang pantas dan tidak lagi dipandang rendah dan dianggap aneh,” katanya.
Noor sebelumnya membandingkan orang-orang LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) dengan hewan dalam komentar yang dilaporkan oleh The Nation di Thailand pada tahun 2018, ketika para aktivis memprotes penghapusan potret LGBT di sebuah pameran di Penang.
“Apa yang diperjuangkan orang-orang ini sebenarnya adalah hak-hak binatang karena kebebasan bagi manusia harus terikat oleh agama dan budaya,” kata Noor.
"Pameran semacam itu adalah seni yang menyimpang dan tidak bermoral yang dapat membawa ras dan negara kita ke jurang kehancuran."
Komunitas transgender menjadi perbincangan publik di Malaysia setelah penangkapan Muhammad Sajjad Kamarul Zaman alias Nur Sajat oleh otoritas Imigrasi Thailand di Bangkok.
Nur Sajat, seorang pria transgender dan pengusaha kosmetik, melarikan diri ke Thailand setelah diburu aparat berwenang Malaysia untuk menghadiri sidang terkait kasus dugaan penistaan agama. Kasus ini bermula ketika Nur Sajat umrah dan berpose di sekitar Kakbah, Masjidil Haram, Arab Saudi, dengan mukena.
Nur Sajat sempat ditahan oleh otoritas Imigrasi Thailand karena pelanggaran terkait imigrasi, namun dibebaskan dengan uang jaminan.
Dia kemudian mendaftar ke Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi menyusul pembatalan paspornya oleh pemerintah Malaysia, dan berencana mencari suaka di Australia.
Untuk saat ini, dia diwajibkan muncul di kantor imigrasi Thailand setiap dua minggu sekali.
Sementara itu, aktivis hak asasi manusia (HAM), Nisha Ayub, mengatakan kepada Malay Mail, Selasa (5/10/2021), bahwa fatwa negara bagian Perlis tidak hanya semakin mengucilkan masyarakat, tetapi juga menciptakan lapisan ketakutan lain.
“Kali ini bukan hanya dari sistem tetapi dari keyakinan mereka sendiri. Mereka merasa bahwa mereka bukan bagian dari agama mereka sendiri yang masih diinginkan oleh sebagian besar wanita Muslim transgender...karena saya belum pernah mendengar atau melihat wanita transgender [Muslim] yang mencoba mengatakan bahwa mereka bukan Muslim," paparnya.
“Semua transgender di Malaysia, bukan hanya Muslim, semua orang, mereka ingin menjalankan agama mereka karena itulah yang mereka pikirkan sejak mereka masih kecil dan mereka memiliki hasrat dan cinta terhadap agama mereka,” katanya.
Jika diterapkan, langkah itu akan menggemakan larangan serupa yang disahkan pada Juni oleh negara bagian Perlis di utara Malaysia.
“Bagi saya, apa yang dilakukan Perlis adalah sesuatu yang bisa dicontoh, karena jika seorang laki-laki memasuki masjid mengenakan jilbab, itu sangat tidak pantas,” kata Datuk Ahmad Marzuk, seorang wakil menteri di Departemen Perdana Menteri Urusan Agama, yang dilansir The Star.
Marzuk, yang tampaknya mengacu pada wanita transgender dan crossdresser, menambahkan bahwa seorang “pria” yang datang ke masjid untuk “bertobat” boleh saja, tetapi menyarankan bahwa wanita transgender yang memasuki ruang wanita di masjid akan mengganggu privasi mereka.
“Jika kita ingin mendorong negara bagian lain untuk mengikuti apa yang dilakukan di Perlis, kita harus melihat keseriusan kasus yang terjadi,” kata Marzuk.
Namun dalam wawancara yang sama, dia mengakui bahwa pihaknya belum menerima laporan tentang orang-orang transgender di dalam masjid.
Mufti Penang Wan Salim Wan Mohd Noor, seorang otoritas agama Islam, mengeklaim bahwa dia sangat bersimpati kepada kelompok transgender dan berharap mereka diterima oleh masyarakat umum.
“Namun, mereka juga harus berusaha beradaptasi dengan budaya dan norma masyarakat biasa,” katanya, yang dilansir Bernama.
Noor menambahkan bahwa orang-orang transgender bertentangan dengan hukum alam dan agama dan bahwa hidup secara terbuka sebagai transgender akan menyebabkan mereka menghadapi berbagai tantangan dalam hidup.
“Seharusnya pengurus masjid menasihati jamaah dengan lembut dan hati-hati agar mereka menghormati kesucian rumah ibadah Islam dengan pakaian yang pantas dan tidak lagi dipandang rendah dan dianggap aneh,” katanya.
Noor sebelumnya membandingkan orang-orang LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) dengan hewan dalam komentar yang dilaporkan oleh The Nation di Thailand pada tahun 2018, ketika para aktivis memprotes penghapusan potret LGBT di sebuah pameran di Penang.
“Apa yang diperjuangkan orang-orang ini sebenarnya adalah hak-hak binatang karena kebebasan bagi manusia harus terikat oleh agama dan budaya,” kata Noor.
"Pameran semacam itu adalah seni yang menyimpang dan tidak bermoral yang dapat membawa ras dan negara kita ke jurang kehancuran."
Komunitas transgender menjadi perbincangan publik di Malaysia setelah penangkapan Muhammad Sajjad Kamarul Zaman alias Nur Sajat oleh otoritas Imigrasi Thailand di Bangkok.
Nur Sajat, seorang pria transgender dan pengusaha kosmetik, melarikan diri ke Thailand setelah diburu aparat berwenang Malaysia untuk menghadiri sidang terkait kasus dugaan penistaan agama. Kasus ini bermula ketika Nur Sajat umrah dan berpose di sekitar Kakbah, Masjidil Haram, Arab Saudi, dengan mukena.
Nur Sajat sempat ditahan oleh otoritas Imigrasi Thailand karena pelanggaran terkait imigrasi, namun dibebaskan dengan uang jaminan.
Dia kemudian mendaftar ke Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi menyusul pembatalan paspornya oleh pemerintah Malaysia, dan berencana mencari suaka di Australia.
Untuk saat ini, dia diwajibkan muncul di kantor imigrasi Thailand setiap dua minggu sekali.
Sementara itu, aktivis hak asasi manusia (HAM), Nisha Ayub, mengatakan kepada Malay Mail, Selasa (5/10/2021), bahwa fatwa negara bagian Perlis tidak hanya semakin mengucilkan masyarakat, tetapi juga menciptakan lapisan ketakutan lain.
“Kali ini bukan hanya dari sistem tetapi dari keyakinan mereka sendiri. Mereka merasa bahwa mereka bukan bagian dari agama mereka sendiri yang masih diinginkan oleh sebagian besar wanita Muslim transgender...karena saya belum pernah mendengar atau melihat wanita transgender [Muslim] yang mencoba mengatakan bahwa mereka bukan Muslim," paparnya.
“Semua transgender di Malaysia, bukan hanya Muslim, semua orang, mereka ingin menjalankan agama mereka karena itulah yang mereka pikirkan sejak mereka masih kecil dan mereka memiliki hasrat dan cinta terhadap agama mereka,” katanya.
(min)