Think Tank AS: Iran Bisa Hasilkan Uranium untuk Senjata Nuklir dalam Sebulan

Selasa, 14 September 2021 - 22:37 WIB
loading...
Think Tank AS: Iran...
Lembaga pemikir AS menyebut Iran bisa menghasilkan uranium untuk senjata nuklir dalam sebulan. Foto/Ilustrasi
A A A
WASHINGTON - Iran akan memiliki cukup uranium untuk membuat senjata nuklir hanya dalam waktu sebulan. Begitu bunyi laporan terbaru yang dibuat oleh Institute for Science and International Security (ISIS), sebuah think tank berbasis di Washington yang berfokus pada nonproliferasi nuklir.

“Perkiraan terburuk, yang didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan cukup WGU (uranium tingkat senjata) untuk satu senjata nuklir, sesingkat satu bulan. Iran dapat memproduksi WGU dalam jumlah signifikan kedua dalam waktu kurang dari tiga bulan setelah breakout dimulai. (Negara) itu bisa menghasilkan jumlah ketiga dalam waktu kurang dari lima bulan, di mana ia perlu menghasilkan beberapa WGU dari uranium alam,” laporan itu memperingatkan seperti dikutip dari Sputnik, Selasa (14/9/2021).

Dokumen tersebut menunjukkan perkiraan baru-baru ini oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA) yang mengatakan bahwa pada 30 Agustus, Iran telah memproduksi 10 kg uranium yang diperkaya hampir 60 persen, dengan jumlah yang signifikan yang diduga cukup untuk membuat bahan peledak nuklir.



“Seiring dengan pertumbuhan stok ini, Iran juga dapat lebih cepat memproduksi WGU untuk bahan peledak nuklir,” laporan itu menduga.

Pakar nuklir menganggap uranium tingkat senjata sebagai bahan senjata nuklir dengan tingkat pengayaan 90 persen. Bom nuklir yang dijatuhkan Amerika Serikat (AS) di Hiroshima pada tahun 1945, salah satu dari dua senjata nuklir yang pernah digunakan di masa perang dan terhadap manusia, memiliki tingkat pengayaan 80 persen.

ISIS menunjukkan bahwa kegiatan pengayaan Iran dan produksi 60 persen uranium yang diperkaya, atau uranium yang diperkaya tinggi, terkait dengan langkah kunci dalam proses bertahap kenaikan secara tradisional dari uranium alami menjadi 90 persen uranium yang diperkaya.

“Uranium yang diperkaya enam puluh persen dapat digunakan secara langsung dalam senjata nuklir, di mana jumlah yang dibutuhkan sekitar 40 kg, dibandingkan dengan 25 kg dari 90 persen bahan yang diperkaya yang dibutuhkan. Akumulasi 60 persen uranium yang diperkaya Iran tetap merupakan langkah yang sangat provokatif dan berbahaya,” klaim laporan itu.

Lembaga pemikir tersebut mengakui bahwa mereka tidak memiliki bukti nyata bahwa Iran dengan sengaja mengejar senjata nuklir, menunjukkan bahwa negara itu hanya dapat bekerja untuk memproduksi 90 persen uranium yang diperkaya jika kepemimpinan memerintahkan produksinya atau bergerak menuju pembangunan senjata nuklir.

Iran kerap menegaskan tidak mempunyai rencana untuk membangun senjata nuklir. Sebaliknya, Negeri Mullah itu berulang kali menekankan penentangannya terhadap senjata nuklir dan senjata pemusnah massal dalam bentuk apa pun.



Iran secara sukarela menghilangkan stok senjata kimianya pada 1990-an sebelum bergabung dengan Konvensi Senjata Kimia pada 1997, dan tidak menggunakannya pada 1980-an, bahkan ketika Irak pimpinan Saddam Hussein menggunakan neurotoksin melawan pasukan Iran di medan perang, dan terhadap warga sipil Iran di kota-kota.

Laporan ISIS bukanlah upaya pertama untuk menunjukkan bahwa Iran berada di ambang menjadi negara senjata nuklir. Mantan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menghabiskan dekade terakhir masa jabatannya dengan mengklaim bahwa Iran berada di ambang membuat bom nuklir, yang diduga hanya hitungan "bulan" atau "minggu" lagi untuk melakukannya. Ketika prediksinya gagal terwujud, Netanyahu akan membuat klaim baru, dan siklus itu akan berulang.



Kekhawatiran Barat atas dugaan kegiatan senjata nuklir Iran mulai tumbuh pada 2019, satu tahun setelah AS secara sepihak menarik diri dari perjanjian nuklir Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) – sebuah perjanjian internasional yang mengikat Iran untuk membatasi kegiatan nuklirnya untuk imbalan pencabutan sanksi Barat yang menghancurkan ekonominya.

Setelah AS keluar dari kesepakatan, Teheran memberi para pihak penandatangan dari Eropa Barat jendela satu tahun untuk mengembangkan mekanisme guna melewati tekanan sanksi AS. Ketika mereka gagal melakukannya, Iran mulai meningkatkan tingkat pengayaan uraniumnya dan menimbun bahan-bahan ini.

Setelah pelantikan Presiden Joe Biden, Iran terus meningkatkan pengayaan, dari antara 5-20 persen pada akhir 2020 menjadi 60 persen pada musim semi 2021, mungkin sebagai bentuk tekanan pada Gedung Putih untuk kembali ke JCPOA. Iran dan AS telah mengadakan beberapa putaran negosiasi tentang pengaktifan kembali perjanjian nuklir ini, tetapi menemui jalan buntu, dengan pihak AS menuntut agar Teheran terlebih dahulu mengurangi pengayaan dan penimbunannya. Di sisi lain, Iran mengatakan Washington harus membatalkan sanksi ilegalnya terlebih dahulu.

(ian)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1465 seconds (0.1#10.140)