Test Covid-19 Massal Satu Kota di Indonesia, Mungkinkah?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Otoritas di Wuhan , China, membuat terobosan penanganan Covid-19 dengan menggelar tes korona bagi seluruh penduduk kota demi bisa cepat-cepat mengendalikan persebaran virus. Banyak pihak menilai langkah itu sebagai strategi ideal. Namun, bisakan tindakan itu ditiru wilayah lain, termasuk Indonesia?
Tak hanya Wuhan yang melakukan langkah taktis ini. Cara serupa sudah dilakukan Pemerintah Luxembourg, Slovakia, dan Estonia. Di Wuhan,testingterhadap 11,3 juta jiwa ini digelar awal Agustus ini.
Pelaksanaan hanya sekitar sepekan dan berakhir pada 8 Agustus. Pengetesan cepat harus dilaksanakan setelah virus korona ini kembali terdeteksi di kota tersebut. Kasus ini tercatat yang pertama setelah sekitar satu tahun terakhir Kota Wuhan dinyatakan aman. Sebelumnya Wuhan merupakan episentrum Covid-19 perdana di dunia, tepatnya pada akhir 2019. Dari 11,3 juta yang dites korona, ditemukan puluhan orang dinyatakan positif dan mereka langsung dirawat di rumah sakit.
Selainlockdown, China memang dikenal kerap melakukan tes korona massal warga di suatu kota yang dideteksi terdapat kasus korona. Sebelumnya, China pernah mendeteksi virus korona terbaru di Bandara Nanjing. Pemerintah pun melaksanakan tes korona terhadap 9,2 juta penduduk Nanjing sebanyak tiga kali.
Apa yang dilakukan Pemerintah China dengan melakukan tes korona di Wuhan dengan jumlah penduduk mencapai 11,3 juta jiwa bisa menjadi patokan untuk dibandingkan dengan negara lain. Apalagi, tidak ada di negara lain yang mampu melakukan seperti yang dilakukan China. Untuk merealisasikannya dibutuhkan sumber daya baik alat tes, petugas kesehatan, dan mobilisasi masyarakat.China memiliki semuanya dengan sistem pemerintahan satu partai yang memungkinkan untuk menekan warganya.
Bagaimana dengan Indonesia, apakah bisa menerapkan tes korona massal pada suatu kota? Berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia memang berbeda dengan negara lain. Selain itu, skala prioritas dalam penanganan pandemi juga berbeda.
Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi menyatakan, pemerintah sangat serius melakukan penanggulangan dan penanganan pandemi Covid-19 selama sekitar 1,5 tahun. Nadia mengatakan, dalam upaya dan tindakan itu, pemerintah terus meningkatkan aspek 3T, yaknitesting(pemeriksaan) Covid-19,tracing(penelusuran)suspect, dantreatment(perawatan) pasien serta percepatan vaksinasi bagi seluruh warga negara Indonesia.
Nadia mengakui, dalam konteks tespolymerase chain reaction(PCR) massal memang sudah dilakukan China seperti di Kota Wuhan terhadap sekitar 11 juta penduduknya. Namun, pelaksanaan tes PCR massal seperti itu tidak bisa serta-merta diterapkan di Indonesia hingga setiap daerah.
Artinya, pemerintah, termasuk Kemenkes, harus lebih dulu melihat kejadiannya seperti apa. Alasannya, tes PCR dilakukan bagi orang yang berpotensi positif dan pada hari ke berapa orang itu paling sensitif terinfeksi.
"Kalau kita melakukan tes massal tanpa perhitungan, kemudian tidaktargeted, tentu itu sumber dayanya terbuang. Jadi bukan hanya masalah antigennya, bukan hanya masalah PCR-nya, tapi juga tenaganya kan?," kilahnya.
TestingPCR di Indonesia dilaksanakan pada orang-orang yang mendekati kasus positif dan memisahkan mereka dari yang sehat.Testingmakin masif dilakukan saat penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat maupun PPKM Level 4 dan Level 3.
“Kita tahu bahwa Indonesia itu harus meningkatkantestingkita 400.000 sampai 500.000 per hari.Nah,ini juga tentunya diharapkan bisa didorong oleh pemerintah daerah setempat untuk pelaksanaantestingdantracingini," ujar Nadia.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung pada Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes ini membeberkan,testingdantracingharus dilaksanakan secara bersamaan dan sekaligus oleh pemerintah pusat dan setiap pemerintah daerah.
Ketua Bidang Komunikasi Publik Satgas Penanganan Covid-19 Hery Trianto menyatakan,testingmassal memang ada contohnya di luar negeri yakni otoritas Wuhan, China. Dia menilai, langkah otoritas Wuhan adalah titik yang ideal.
“Kalau kita bisa melakukan itu, semakin besar kita bisa melokalisir kasus ya, bisa memisahkan kasus yang positif agar tidak menulari yang lain. Tapi itu kan dengan catatan, kalau kasusnya masih sedikit dan kemudian sumber dayanya juga cukup," ujarnya.
Untuk melakukan tes PCR Covid-19 secara masif di satu kota atau kabupaten di Indonesia, ujar Hery, belum ada keputusan dari Pemerintah Indonesia hingga saat ini. Pemerintah, termasuk Satgas Penanganan Covid-19, akan mengikuti pendapat dari para epidemiolog berdasarkan penelitian mereka tentang apa saja yang harus dilakukan. Selain itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga punya standar-standar bagaimanatestingtersebut bisa dilakukan dan memberikan pandangan yang utuh untuk penanganan pandemi.
"Testing secara massal di satu kota atau kabupaten di Indonesia sangat mungkin sebenarnya kalau ada tenaga kesehatannya dan alat tesnya. Tetapi rasanya karena kita ini terhubung antar-satu kota dengan kota yang lain, kalau kita lakukan misalnya di Jawa saja, itu tentu sangat-sangat besar sekali," elaknya.
Menurut Hery, totalitas penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia kuncinya pada keterlibatan dan peran serta aktif pemerintah pusat maupun daerah, kementerian, lembaga, instansi terkait, swasta, dan masyarakat. "Karena itulah kenapa pemeriksaan atautestingdi Jakarta itu setiap hari jauh di atas standar atau jauh di atas rata-rata yang distandarkan. Jadi di kita, Indonesia, itu bisa juga dilakukan," katanya.
Hery mengungkapkan, dari sisi anggaran atau pendanaan untuk pelaksanaan 3T secara bersamaan sebenarnya sudah tersedia. Bahkan, dana APBN 2021 yang telah dialokasikan lebih dari Rp214,95 triliun dan bisa digunakan. Selain itu, ada dana dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) atau Satgas Penanganan Covid-19 yang disediakan untuk relawan karena relawan pun perlu uang transportasi dan uang makan saat melakukan tugas, termasuk dalam menjalankan 3T.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eikjkmen Amin Soebandrio menilai secara teknis tes massal di satu kota memungkinkan dilakukan. Namun, secara logistik agak sulit.
“Karena untuk mendatangi satu per satu warga itu memerlukan tenaga, biaya, dan waktu yang panjang. Makanya biasanya dilakukan secara acak (random),” katanya.
Misalnya dalam satu kota rata-rata ada 5 juta penduduk, sementara di Indonesia ada sekitar 400 kabupaten/kota. “Itu kan tentu memerlukan sumber daya, tenaga dan biaya yang banyak kalau mau diambil seluruh total populasi,” ungkapnya.
Tunjukkan Keseriusan
Tes massal korona di beberapa kota di China dan populasi di suatu negara di Eropa menunjukkan keseriusan penanganan pandemi oleh suatu pemerintah. Di China, tes massal ini setidaknya menunjukkan kekuatan persatuan rakyat China dalam menghadapi gelombang baru virus korona.
Langkah itu sebagai upaya untuk melindungi warga satu sama lain dan menyelamatkan manusia lain. Warga pun berbondong-bondong data ke pusat tes korona karena memiliki rasa persatuan untuk melindungi kota mereka dari korona.
“Kita ikut sukarela melakukan tes korona untuk melindungi warga satu sama lain. Seperti idolamu, Ultraman, yang berjuang melawan monster untuk melindungi manusia. Ini bukan hanya tanggung jawab kita, tetapi seluruh masyarakat,” papar Deng Dahuan, seorang nenek yang ikut tes korona di Wuhan, China, dilansirXinhua.
Sejarah Wuhan sebagai kota awal mula berkembangnya virus korona juga menjadikan kesadaran warga sangat tinggi. Mereka sangat mengetahui risikonya dan akhirnya bergerak cepat untuk mendeteksi apakah telah terinveksi virus atau belum.
“Wuhan memiliki pengalaman yang kaya selama wabah korona tahun lalu. Saya yakin bahwa orang yang terinfeksi akan ditemukan dengan cepat,” kata Chen Yang, pekerja medis di China.
Dalam pandangan Hu Ke, profesor pernapasan di Universitas Wuhan, Wuhan mendapatkan perhatian dengan berkembangnya varian Delta. “Warga Wuhan sangat kooperatif,” tuturnya.
Berbeda dengan China yang melakukan tes korona massal di suatu kota, Luxemburg dan Slovakia justru sudah melaksanakan tes virus korona untuk seluruh penduduknya pada 2020. Austria dengan penduduk 8.935.112 jiwa kini juga hendak mengikuti langkah tersebut. Luxemburg hanya memiliki penduduk 633.622 jiwa, sedangkan Slovakia mempunyai 5.464.060.
Tes massal satu negara di Luxemburg dan Slovekia masih masuk akal dengan jumlah penduduk yang relatif kecil. Estonia dengan jumlah penduduk 1.330.068 juga sudah melakukan tes korona bagi seluruh penduduknya. Namun, tes massal satu negara tidak akan masuk akal jika dilakukan di Jerman dengan penduduk mencapai 83 juta jiwa.
Tujuan utama tes korona massal itu, menurut Kanselir Austria Sebastian Kurz, untuk memberikan kesempatan warga Austria dalam merayakan musim liburan seperti biasanya. Tujuan tes massal seluruh penduduk juga untuk mendeteksi individu yang terinfeksi baik yang bergejala atau pun tidak sehingga mereka bisa mengisolasi diri.
Negara lain yang berencana untuk melakukan tes korona bagi penduduknya adalah Jerman.“Negara kecil seperti Luxemburg bisa dengan mudah untuk melakukan tes korona untuk seluruh penduduknya. Tapi, sangat sulit untuk negara dengan jumlah penduduk yang cukup besar, seperti Jerman,” kata Matthias Orth dariProfessional Association of German Laboratory Physicians, dilansirDeutsche Welle.
Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus tetap mendorong semua negara untuk terus melakukan tes korona demi memerangi virus itu. Namun, banyak kesulitan untuk mendapatkan dan memverifikasi hasil tes korona. “Tanpa tes massal virus korona, negara hanya bertarung melawan api dengan mata tertutup,” katanya.
Sekjen Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) Angel Gurria menyambut peningkatan tes korona di banyak negara anggota OECD, khususnya Spanyol dan negara-negara Eropa. “Peningkatan kapasitas tes korona menjadi hal krusial untuk memperlonggarlockdowndan mengurangi risiko munculnya gelombang baru,” ujarnya.
Dalam pandangan Stephen Kissler, peneliti Sekolah Kesehatan Publik TH Chan pada Universitas Harvard, tes korona tidak boleh dihentikan selama pandemi terus berlangsung. “Kita akan terus melakukan tes korona lebih banyak dibandingkan sebelumnya,” ucapnya. Tanpa melakukan tes korona, sangat sulit untuk mengetahui bagaimana perkembangan penyebaran varian baru, seperti varian Delta.
Tak hanya Wuhan yang melakukan langkah taktis ini. Cara serupa sudah dilakukan Pemerintah Luxembourg, Slovakia, dan Estonia. Di Wuhan,testingterhadap 11,3 juta jiwa ini digelar awal Agustus ini.
Pelaksanaan hanya sekitar sepekan dan berakhir pada 8 Agustus. Pengetesan cepat harus dilaksanakan setelah virus korona ini kembali terdeteksi di kota tersebut. Kasus ini tercatat yang pertama setelah sekitar satu tahun terakhir Kota Wuhan dinyatakan aman. Sebelumnya Wuhan merupakan episentrum Covid-19 perdana di dunia, tepatnya pada akhir 2019. Dari 11,3 juta yang dites korona, ditemukan puluhan orang dinyatakan positif dan mereka langsung dirawat di rumah sakit.
Selainlockdown, China memang dikenal kerap melakukan tes korona massal warga di suatu kota yang dideteksi terdapat kasus korona. Sebelumnya, China pernah mendeteksi virus korona terbaru di Bandara Nanjing. Pemerintah pun melaksanakan tes korona terhadap 9,2 juta penduduk Nanjing sebanyak tiga kali.
Apa yang dilakukan Pemerintah China dengan melakukan tes korona di Wuhan dengan jumlah penduduk mencapai 11,3 juta jiwa bisa menjadi patokan untuk dibandingkan dengan negara lain. Apalagi, tidak ada di negara lain yang mampu melakukan seperti yang dilakukan China. Untuk merealisasikannya dibutuhkan sumber daya baik alat tes, petugas kesehatan, dan mobilisasi masyarakat.China memiliki semuanya dengan sistem pemerintahan satu partai yang memungkinkan untuk menekan warganya.
Bagaimana dengan Indonesia, apakah bisa menerapkan tes korona massal pada suatu kota? Berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia memang berbeda dengan negara lain. Selain itu, skala prioritas dalam penanganan pandemi juga berbeda.
Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi menyatakan, pemerintah sangat serius melakukan penanggulangan dan penanganan pandemi Covid-19 selama sekitar 1,5 tahun. Nadia mengatakan, dalam upaya dan tindakan itu, pemerintah terus meningkatkan aspek 3T, yaknitesting(pemeriksaan) Covid-19,tracing(penelusuran)suspect, dantreatment(perawatan) pasien serta percepatan vaksinasi bagi seluruh warga negara Indonesia.
Nadia mengakui, dalam konteks tespolymerase chain reaction(PCR) massal memang sudah dilakukan China seperti di Kota Wuhan terhadap sekitar 11 juta penduduknya. Namun, pelaksanaan tes PCR massal seperti itu tidak bisa serta-merta diterapkan di Indonesia hingga setiap daerah.
Artinya, pemerintah, termasuk Kemenkes, harus lebih dulu melihat kejadiannya seperti apa. Alasannya, tes PCR dilakukan bagi orang yang berpotensi positif dan pada hari ke berapa orang itu paling sensitif terinfeksi.
"Kalau kita melakukan tes massal tanpa perhitungan, kemudian tidaktargeted, tentu itu sumber dayanya terbuang. Jadi bukan hanya masalah antigennya, bukan hanya masalah PCR-nya, tapi juga tenaganya kan?," kilahnya.
TestingPCR di Indonesia dilaksanakan pada orang-orang yang mendekati kasus positif dan memisahkan mereka dari yang sehat.Testingmakin masif dilakukan saat penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat maupun PPKM Level 4 dan Level 3.
“Kita tahu bahwa Indonesia itu harus meningkatkantestingkita 400.000 sampai 500.000 per hari.Nah,ini juga tentunya diharapkan bisa didorong oleh pemerintah daerah setempat untuk pelaksanaantestingdantracingini," ujar Nadia.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung pada Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes ini membeberkan,testingdantracingharus dilaksanakan secara bersamaan dan sekaligus oleh pemerintah pusat dan setiap pemerintah daerah.
Ketua Bidang Komunikasi Publik Satgas Penanganan Covid-19 Hery Trianto menyatakan,testingmassal memang ada contohnya di luar negeri yakni otoritas Wuhan, China. Dia menilai, langkah otoritas Wuhan adalah titik yang ideal.
“Kalau kita bisa melakukan itu, semakin besar kita bisa melokalisir kasus ya, bisa memisahkan kasus yang positif agar tidak menulari yang lain. Tapi itu kan dengan catatan, kalau kasusnya masih sedikit dan kemudian sumber dayanya juga cukup," ujarnya.
Untuk melakukan tes PCR Covid-19 secara masif di satu kota atau kabupaten di Indonesia, ujar Hery, belum ada keputusan dari Pemerintah Indonesia hingga saat ini. Pemerintah, termasuk Satgas Penanganan Covid-19, akan mengikuti pendapat dari para epidemiolog berdasarkan penelitian mereka tentang apa saja yang harus dilakukan. Selain itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga punya standar-standar bagaimanatestingtersebut bisa dilakukan dan memberikan pandangan yang utuh untuk penanganan pandemi.
"Testing secara massal di satu kota atau kabupaten di Indonesia sangat mungkin sebenarnya kalau ada tenaga kesehatannya dan alat tesnya. Tetapi rasanya karena kita ini terhubung antar-satu kota dengan kota yang lain, kalau kita lakukan misalnya di Jawa saja, itu tentu sangat-sangat besar sekali," elaknya.
Menurut Hery, totalitas penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia kuncinya pada keterlibatan dan peran serta aktif pemerintah pusat maupun daerah, kementerian, lembaga, instansi terkait, swasta, dan masyarakat. "Karena itulah kenapa pemeriksaan atautestingdi Jakarta itu setiap hari jauh di atas standar atau jauh di atas rata-rata yang distandarkan. Jadi di kita, Indonesia, itu bisa juga dilakukan," katanya.
Hery mengungkapkan, dari sisi anggaran atau pendanaan untuk pelaksanaan 3T secara bersamaan sebenarnya sudah tersedia. Bahkan, dana APBN 2021 yang telah dialokasikan lebih dari Rp214,95 triliun dan bisa digunakan. Selain itu, ada dana dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) atau Satgas Penanganan Covid-19 yang disediakan untuk relawan karena relawan pun perlu uang transportasi dan uang makan saat melakukan tugas, termasuk dalam menjalankan 3T.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eikjkmen Amin Soebandrio menilai secara teknis tes massal di satu kota memungkinkan dilakukan. Namun, secara logistik agak sulit.
“Karena untuk mendatangi satu per satu warga itu memerlukan tenaga, biaya, dan waktu yang panjang. Makanya biasanya dilakukan secara acak (random),” katanya.
Misalnya dalam satu kota rata-rata ada 5 juta penduduk, sementara di Indonesia ada sekitar 400 kabupaten/kota. “Itu kan tentu memerlukan sumber daya, tenaga dan biaya yang banyak kalau mau diambil seluruh total populasi,” ungkapnya.
Tunjukkan Keseriusan
Tes massal korona di beberapa kota di China dan populasi di suatu negara di Eropa menunjukkan keseriusan penanganan pandemi oleh suatu pemerintah. Di China, tes massal ini setidaknya menunjukkan kekuatan persatuan rakyat China dalam menghadapi gelombang baru virus korona.
Langkah itu sebagai upaya untuk melindungi warga satu sama lain dan menyelamatkan manusia lain. Warga pun berbondong-bondong data ke pusat tes korona karena memiliki rasa persatuan untuk melindungi kota mereka dari korona.
“Kita ikut sukarela melakukan tes korona untuk melindungi warga satu sama lain. Seperti idolamu, Ultraman, yang berjuang melawan monster untuk melindungi manusia. Ini bukan hanya tanggung jawab kita, tetapi seluruh masyarakat,” papar Deng Dahuan, seorang nenek yang ikut tes korona di Wuhan, China, dilansirXinhua.
Sejarah Wuhan sebagai kota awal mula berkembangnya virus korona juga menjadikan kesadaran warga sangat tinggi. Mereka sangat mengetahui risikonya dan akhirnya bergerak cepat untuk mendeteksi apakah telah terinveksi virus atau belum.
“Wuhan memiliki pengalaman yang kaya selama wabah korona tahun lalu. Saya yakin bahwa orang yang terinfeksi akan ditemukan dengan cepat,” kata Chen Yang, pekerja medis di China.
Dalam pandangan Hu Ke, profesor pernapasan di Universitas Wuhan, Wuhan mendapatkan perhatian dengan berkembangnya varian Delta. “Warga Wuhan sangat kooperatif,” tuturnya.
Berbeda dengan China yang melakukan tes korona massal di suatu kota, Luxemburg dan Slovakia justru sudah melaksanakan tes virus korona untuk seluruh penduduknya pada 2020. Austria dengan penduduk 8.935.112 jiwa kini juga hendak mengikuti langkah tersebut. Luxemburg hanya memiliki penduduk 633.622 jiwa, sedangkan Slovakia mempunyai 5.464.060.
Tes massal satu negara di Luxemburg dan Slovekia masih masuk akal dengan jumlah penduduk yang relatif kecil. Estonia dengan jumlah penduduk 1.330.068 juga sudah melakukan tes korona bagi seluruh penduduknya. Namun, tes massal satu negara tidak akan masuk akal jika dilakukan di Jerman dengan penduduk mencapai 83 juta jiwa.
Tujuan utama tes korona massal itu, menurut Kanselir Austria Sebastian Kurz, untuk memberikan kesempatan warga Austria dalam merayakan musim liburan seperti biasanya. Tujuan tes massal seluruh penduduk juga untuk mendeteksi individu yang terinfeksi baik yang bergejala atau pun tidak sehingga mereka bisa mengisolasi diri.
Negara lain yang berencana untuk melakukan tes korona bagi penduduknya adalah Jerman.“Negara kecil seperti Luxemburg bisa dengan mudah untuk melakukan tes korona untuk seluruh penduduknya. Tapi, sangat sulit untuk negara dengan jumlah penduduk yang cukup besar, seperti Jerman,” kata Matthias Orth dariProfessional Association of German Laboratory Physicians, dilansirDeutsche Welle.
Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus tetap mendorong semua negara untuk terus melakukan tes korona demi memerangi virus itu. Namun, banyak kesulitan untuk mendapatkan dan memverifikasi hasil tes korona. “Tanpa tes massal virus korona, negara hanya bertarung melawan api dengan mata tertutup,” katanya.
Sekjen Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) Angel Gurria menyambut peningkatan tes korona di banyak negara anggota OECD, khususnya Spanyol dan negara-negara Eropa. “Peningkatan kapasitas tes korona menjadi hal krusial untuk memperlonggarlockdowndan mengurangi risiko munculnya gelombang baru,” ujarnya.
Dalam pandangan Stephen Kissler, peneliti Sekolah Kesehatan Publik TH Chan pada Universitas Harvard, tes korona tidak boleh dihentikan selama pandemi terus berlangsung. “Kita akan terus melakukan tes korona lebih banyak dibandingkan sebelumnya,” ucapnya. Tanpa melakukan tes korona, sangat sulit untuk mengetahui bagaimana perkembangan penyebaran varian baru, seperti varian Delta.
(ynt)