Intelijen AS: Kabul Akan Jatuh ke Taliban dalam 90 Hari
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Kelompok Taliban dapat mengisolasi Ibu Kota Afghanistan , Kabul, dalam 30 hari dan kemungkinan mengambil alih dalam waktu 90 hari. Hal itu disampaikan seorang pejabat pertahanan Amerika Serikat (AS) mengutip laporan intelijen Amerika.
Prediksi itu muncul ketika milisi pemberontak bersenjata itu bangkit kembali dan membuat lebih banyak kemajuan di seluruh negeri.
Pejabat itu, yang berbicara kepada Reuters dengan syarat anonim, mengatakan penilaian baru intelijen tentang berapa lama Kabul bisa bertahan adalah hasil dari keuntungan cepat Taliban saat pasukan NATO pimpinan AS pergi.
“Tapi ini bukan kesimpulan yang sudah pasti,” kata pejabat pertahanan AS tersebut, yang dilansir Kamis (12/8/2021).
Dia mengatakan bahwa pasukan keamanan Afghanistan dapat membalikkan momentum dengan melakukan lebih banyak perlawanan.
Seorang pejabat senior Uni Eropa mengatakan kelompok Islamis itu kini menguasai 65 persen wilayah Afghanistan dan telah mengambil atau mengancam akan mengambil alih 11 ibu kota provinsi lainnya di negara tersebut.
Faizabad, di provinsi timur laut Badakhshan, kemarin menjadi ibu kota provinsi kedelapan yang direbut oleh Taliban.
Pertempuran sangat intens di kota Kandahar, kata seorang dokter yang berbasis di provinsi Kandahar selatan. Kota itu menerima sejumlah mayat pasukan Afghanistan dan beberapa anggota Taliban yang terluka.
Sumber keamanan Barat mengatakan semua pintu gerbang ke Kabul, yang terletak di lembah yang dikelilingi oleh pegunungan, dipenuhi warga sipil yang melarikan diri dari kekerasan. Dia menambahkan bahwa sulit untuk mengatakan apakah milisi Taliban juga berhasil melewatinya.
"Ketakutannya adalah pelaku bom bunuh diri memasuki markas diplomatik untuk menakut-nakuti, menyerang, dan memastikan semua orang pergi secepat mungkin," katanya.
Kecepatan kemajuan Taliban telah mengejutkan pemerintah AS dan sekutunya. Kelompok itu—yang menguasai sebagian besar Afghanistan dari tahun 1996 hingga 2001, ketika digulingkan karena menyembunyikan pemimpin al-Qaeda Osama bin Laden setelah serangan 11 September 2001 di Amerika—ingin mengalahkan pemerintah yang didukung AS dan menerapkan kembali hukum Islam yang ketat versi mereka sendiri.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengatakan serangan-serangan Taliban bertentangan dengan semangat kesepakatan 2020.
"Taliban berkomitmen untuk melakukan pembicaraan tentang kesepakatan damai yang akan mengarah pada gencatan senjata permanen dan komprehensif," kata Price.
"Semua indikasi setidaknya menunjukkan bahwa Taliban malah mengejar kemenangan di medan perang," ujarnya.
“Menyerang ibu kota provinsi dan menargetkan warga sipil tidak sesuai dengan semangat kesepakatan,” katanya.
PBB mengatakan lebih dari 1.000 warga sipil telah tewas dalam sebulan terakhir, dan Komite Internasional Palang Merah mengatakan bahwa sejak 1 Agustus sekitar 4.042 orang yang terluka telah dirawat di 15 fasilitas kesehatan.
Taliban membantah menargetkan atau membunuh warga sipil dan menyerukan penyelidikan independen.
"Kelompok ini tidak menargetkan warga sipil atau rumah mereka di wilayah mana pun, melainkan operasi telah dilakukan dengan sangat presisi dan hati-hati," kata juru bicara Taliban, Suhail Shaheen, dalam sebuah pernyataan kemarin.
Jatuhnya Faizabad ke tangan Taliban adalah kemunduran terbaru bagi pemerintahan Presiden Ashraf Ghani, yang terbang ke Mazar-i-Sharif untuk mengumpulkan para panglima perang tua untuk mempertahankan kota terbesar di utara saat pasukan Taliban mendekat.
Ghani menghabiskan bertahun-tahun mengesampingkan para panglima perang saat dia mencoba memproyeksikan otoritas pemerintah pusatnya atas provinsi-provinsi yang membandel.
Presiden AS Joe Biden mengatakan pada hari Selasa lalu bahwa dia tidak menyesali keputusannya untuk menarik pasukan Amerika dan mendesak para pemimpin Afghanistan untuk memperjuangkan tanah air mereka sendiri.
Menurutnya, Washington telah menghabiskan lebih dari USD1 triliun selama 20 tahun dan kehilangan ribuan tentara AS, dan terus memberikan dukungan udara, makanan, peralatan, dan gaji yang signifikan kepada pasukan Afghanistan.
"Rakyat Afghanistan perlu menentukan...apakah mereka memiliki kemauan politik untuk melawan dan apakah mereka memiliki kemampuan untuk bersatu sebagai pemimpin untuk melawan," kata juru bicara Gedung Putih Jen Psaki.
Psaki menolak untuk mengomentari penilaian intelijen bahwa Kabul dapat jatuh ke tangan Taliban dalam waktu 90 hari. Namun, dia mengatakan rencana untuk menarik total pasukan AS pada 31 Agustus tetap dilakukan.
Prediksi itu muncul ketika milisi pemberontak bersenjata itu bangkit kembali dan membuat lebih banyak kemajuan di seluruh negeri.
Pejabat itu, yang berbicara kepada Reuters dengan syarat anonim, mengatakan penilaian baru intelijen tentang berapa lama Kabul bisa bertahan adalah hasil dari keuntungan cepat Taliban saat pasukan NATO pimpinan AS pergi.
“Tapi ini bukan kesimpulan yang sudah pasti,” kata pejabat pertahanan AS tersebut, yang dilansir Kamis (12/8/2021).
Dia mengatakan bahwa pasukan keamanan Afghanistan dapat membalikkan momentum dengan melakukan lebih banyak perlawanan.
Seorang pejabat senior Uni Eropa mengatakan kelompok Islamis itu kini menguasai 65 persen wilayah Afghanistan dan telah mengambil atau mengancam akan mengambil alih 11 ibu kota provinsi lainnya di negara tersebut.
Faizabad, di provinsi timur laut Badakhshan, kemarin menjadi ibu kota provinsi kedelapan yang direbut oleh Taliban.
Pertempuran sangat intens di kota Kandahar, kata seorang dokter yang berbasis di provinsi Kandahar selatan. Kota itu menerima sejumlah mayat pasukan Afghanistan dan beberapa anggota Taliban yang terluka.
Sumber keamanan Barat mengatakan semua pintu gerbang ke Kabul, yang terletak di lembah yang dikelilingi oleh pegunungan, dipenuhi warga sipil yang melarikan diri dari kekerasan. Dia menambahkan bahwa sulit untuk mengatakan apakah milisi Taliban juga berhasil melewatinya.
"Ketakutannya adalah pelaku bom bunuh diri memasuki markas diplomatik untuk menakut-nakuti, menyerang, dan memastikan semua orang pergi secepat mungkin," katanya.
Kecepatan kemajuan Taliban telah mengejutkan pemerintah AS dan sekutunya. Kelompok itu—yang menguasai sebagian besar Afghanistan dari tahun 1996 hingga 2001, ketika digulingkan karena menyembunyikan pemimpin al-Qaeda Osama bin Laden setelah serangan 11 September 2001 di Amerika—ingin mengalahkan pemerintah yang didukung AS dan menerapkan kembali hukum Islam yang ketat versi mereka sendiri.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengatakan serangan-serangan Taliban bertentangan dengan semangat kesepakatan 2020.
"Taliban berkomitmen untuk melakukan pembicaraan tentang kesepakatan damai yang akan mengarah pada gencatan senjata permanen dan komprehensif," kata Price.
"Semua indikasi setidaknya menunjukkan bahwa Taliban malah mengejar kemenangan di medan perang," ujarnya.
“Menyerang ibu kota provinsi dan menargetkan warga sipil tidak sesuai dengan semangat kesepakatan,” katanya.
PBB mengatakan lebih dari 1.000 warga sipil telah tewas dalam sebulan terakhir, dan Komite Internasional Palang Merah mengatakan bahwa sejak 1 Agustus sekitar 4.042 orang yang terluka telah dirawat di 15 fasilitas kesehatan.
Taliban membantah menargetkan atau membunuh warga sipil dan menyerukan penyelidikan independen.
"Kelompok ini tidak menargetkan warga sipil atau rumah mereka di wilayah mana pun, melainkan operasi telah dilakukan dengan sangat presisi dan hati-hati," kata juru bicara Taliban, Suhail Shaheen, dalam sebuah pernyataan kemarin.
Jatuhnya Faizabad ke tangan Taliban adalah kemunduran terbaru bagi pemerintahan Presiden Ashraf Ghani, yang terbang ke Mazar-i-Sharif untuk mengumpulkan para panglima perang tua untuk mempertahankan kota terbesar di utara saat pasukan Taliban mendekat.
Ghani menghabiskan bertahun-tahun mengesampingkan para panglima perang saat dia mencoba memproyeksikan otoritas pemerintah pusatnya atas provinsi-provinsi yang membandel.
Presiden AS Joe Biden mengatakan pada hari Selasa lalu bahwa dia tidak menyesali keputusannya untuk menarik pasukan Amerika dan mendesak para pemimpin Afghanistan untuk memperjuangkan tanah air mereka sendiri.
Menurutnya, Washington telah menghabiskan lebih dari USD1 triliun selama 20 tahun dan kehilangan ribuan tentara AS, dan terus memberikan dukungan udara, makanan, peralatan, dan gaji yang signifikan kepada pasukan Afghanistan.
"Rakyat Afghanistan perlu menentukan...apakah mereka memiliki kemauan politik untuk melawan dan apakah mereka memiliki kemampuan untuk bersatu sebagai pemimpin untuk melawan," kata juru bicara Gedung Putih Jen Psaki.
Psaki menolak untuk mengomentari penilaian intelijen bahwa Kabul dapat jatuh ke tangan Taliban dalam waktu 90 hari. Namun, dia mengatakan rencana untuk menarik total pasukan AS pada 31 Agustus tetap dilakukan.
(min)