Krisis Makanan Korut Mulai Parah, Sebungkus Kopi Rp1,4 Juta
loading...
A
A
A
PYONGYANG - Krisis makanan yang melanda Korea Utara (Korut) mulai parah dengan meroketnya harga bahan-bahan pokok. Warga di Ibu Kota Korea Utara, Pyongyang, mengatakan harga sebungkus kopi di sana mencapai USD100 atau lebih dari Rp1,4 juta.
Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, pada Selasa lalu telah membahas krisis yang berkembang di sektor pertanian di negara itu.
Media Korea Utara melaporkan bahwa Kim mengakui situasi pangan "menjadi tegang" dengan meroketnya harga bahan makanan pokok sebagai akibat dari terjangan badai hebat terhadap industri produk pangan negara.
Ada kekhawatiran yang berkembang bahwa bencana kelaparan tahun 1990-an akan terulang di Korea Utara, yang menurut beberapa perkiraan menewaskan lebih dari 3 juta warga.
Penutupan perbatasan selama pandemi COVID-19 menghambat perdagangan, menciptakan kelangkaan barang impor termasuk gula, tepung, dan minyak.
Warga di Pyongyang, sebagaimana dikutip CNN, Sabtu (19/6/2021), mengatakan harga kentang meroket tiga kali lipat. Mereka yang mencari minuman berkafein terpaksa membayar hingga USD100 untuk sebungkus kopi dan USD70 untuk beberapa teh celup.
Harga kebutuhan pokok lain seperti beras dan bahan bakar dilaporkan tetap tinggi. Pengakuan Kim Jong-un bahwa ekonomi yang dikelola negara tidak dapat memberi makan warganya menunjukkan bahwa krisis pangan di negara itu berada di ujung tanduk.
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) baru-baru ini melaporkan bahwa Korea Utara hanya memiliki persediaan pangan untuk dua bulan ke depan, menderita kekurangan pasokan sebesar 860.000 ton secara nasional.
Kim Jong-un menolak untuk merinci sejauh mana krisis pangan di negaranya, tetapi baru-baru ini dia memperingatkan warganya untuk bersiap menghadapi "Maret yang Sulit" lainnya, nama yang diberikan untuk krisis pangan tahun 1990-an.
“Saya memutuskan untuk meminta organisasi WPK (Partai Buruh Korea) di semua tingkatan, termasuk Komite Pusat dan sekretaris sel dari seluruh partai, untuk melakukan 'pawai sulit' yang lebih sulit untuk membebaskan kesulitan rakyat kami, bahkan sedikit pun,” kata Kim pada April lalu.
Sanksi perdagangan internasional telah lama menjangkiti negara komunis Korea tersebut, tetapi dampak buruk dari pandemi COVID-19 ditambah dengan pembatasan impor barang telah membawa situasi suram ke puncak. Demikian disampaikan juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian. China merupakan sekutu dekat Korea Utara.
“Situasi di semenanjung Korea menghadapi ketegangan baru,” katanya. "[Beijing] mendesak Pyongyang untuk memahami peluang dan bekerja untuk mengurangi eskalasi situasi secara bertahap."
Pemimpin Korea Utara mengatakan dia telah membiarkan pintu terbuka untuk pembicaraan dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden. Namun, dia menegaskan bahwa Korut harus siap untuk dialog atau konfrontasi mengenai topik senjata nuklir.
Kim telah lama bersikukuh untuk tidak melanjutkan pembicaraan senjata dengan AS, yang dapat menawarkan bantuan keringanan sanksi yang telah mencekik ekonomi Korea Utara.
“Pengingat sopan Kim mungkin akan diterima secara berbeda di Washington dan Seoul,” kata analis kebijakan Rand Corp dan mantan pejabat CIA, Soo Kim, kepada Bloomberg.
“(AS) menggantungkan wortel di depan Kim untuk membujuk Korea Utara agar kembali ke meja dialog. Kim hanya akan memberikan dialog kepada AS dan Korea Selatan ketika kondisinya terpenuhi.”
Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, pada Selasa lalu telah membahas krisis yang berkembang di sektor pertanian di negara itu.
Media Korea Utara melaporkan bahwa Kim mengakui situasi pangan "menjadi tegang" dengan meroketnya harga bahan makanan pokok sebagai akibat dari terjangan badai hebat terhadap industri produk pangan negara.
Ada kekhawatiran yang berkembang bahwa bencana kelaparan tahun 1990-an akan terulang di Korea Utara, yang menurut beberapa perkiraan menewaskan lebih dari 3 juta warga.
Penutupan perbatasan selama pandemi COVID-19 menghambat perdagangan, menciptakan kelangkaan barang impor termasuk gula, tepung, dan minyak.
Warga di Pyongyang, sebagaimana dikutip CNN, Sabtu (19/6/2021), mengatakan harga kentang meroket tiga kali lipat. Mereka yang mencari minuman berkafein terpaksa membayar hingga USD100 untuk sebungkus kopi dan USD70 untuk beberapa teh celup.
Harga kebutuhan pokok lain seperti beras dan bahan bakar dilaporkan tetap tinggi. Pengakuan Kim Jong-un bahwa ekonomi yang dikelola negara tidak dapat memberi makan warganya menunjukkan bahwa krisis pangan di negara itu berada di ujung tanduk.
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) baru-baru ini melaporkan bahwa Korea Utara hanya memiliki persediaan pangan untuk dua bulan ke depan, menderita kekurangan pasokan sebesar 860.000 ton secara nasional.
Kim Jong-un menolak untuk merinci sejauh mana krisis pangan di negaranya, tetapi baru-baru ini dia memperingatkan warganya untuk bersiap menghadapi "Maret yang Sulit" lainnya, nama yang diberikan untuk krisis pangan tahun 1990-an.
“Saya memutuskan untuk meminta organisasi WPK (Partai Buruh Korea) di semua tingkatan, termasuk Komite Pusat dan sekretaris sel dari seluruh partai, untuk melakukan 'pawai sulit' yang lebih sulit untuk membebaskan kesulitan rakyat kami, bahkan sedikit pun,” kata Kim pada April lalu.
Sanksi perdagangan internasional telah lama menjangkiti negara komunis Korea tersebut, tetapi dampak buruk dari pandemi COVID-19 ditambah dengan pembatasan impor barang telah membawa situasi suram ke puncak. Demikian disampaikan juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian. China merupakan sekutu dekat Korea Utara.
“Situasi di semenanjung Korea menghadapi ketegangan baru,” katanya. "[Beijing] mendesak Pyongyang untuk memahami peluang dan bekerja untuk mengurangi eskalasi situasi secara bertahap."
Pemimpin Korea Utara mengatakan dia telah membiarkan pintu terbuka untuk pembicaraan dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden. Namun, dia menegaskan bahwa Korut harus siap untuk dialog atau konfrontasi mengenai topik senjata nuklir.
Kim telah lama bersikukuh untuk tidak melanjutkan pembicaraan senjata dengan AS, yang dapat menawarkan bantuan keringanan sanksi yang telah mencekik ekonomi Korea Utara.
“Pengingat sopan Kim mungkin akan diterima secara berbeda di Washington dan Seoul,” kata analis kebijakan Rand Corp dan mantan pejabat CIA, Soo Kim, kepada Bloomberg.
“(AS) menggantungkan wortel di depan Kim untuk membujuk Korea Utara agar kembali ke meja dialog. Kim hanya akan memberikan dialog kepada AS dan Korea Selatan ketika kondisinya terpenuhi.”
(min)