Populisme Islamofobia Membuat Muslim di Prancis Khawatir
loading...
A
A
A
PARIS - Bekir Altas, Sekretaris Jenderal asosiasi Turki-Muslim IGMG, menyatakan keprihatinan atas meningkatnya kecenderungan Islamofobia yang didorong oleh kepentingan politik di Prancis. Dia menyebut, kecenderungan ini semakin menguat dengan semakin dekatnya pemilihan umum di Prancis .
Atlas menyatakan bahwa penerapan "piagam prinsip" Islam di Prancis, yang mereka tolak untuk ditandatangani karena mengasingkan Muslim, adalah salah satu keputusan populis yang diambil oleh pemerintah.
“Negara tidak mencampuri urusan internal umat beragama sesuai dengan prinsip sekularisme," ucapnya, seperti dilansir Anadolu Agency.
"Negara tidak memiliki suara tentang bagaimana komunitas religius akan melatih dan menyetujui para imamnya, dan dalam nilai apa mereka akan melakukan tugasnya, " sambungnya.
Ia mengatakan, mereka menghadapi tuduhan dan kritik meski menjalankan tugasnya secara transparan, dan dalam kerangka hukum. Altas menyebut, Menteri Dalam Negeri Prancis, Gerald Moussa Darmanin telah membuat profil yang tidak mencerminkan kebenaran tentang IGMG.
Dia mengatakan, tindakan Darmanin terhadap komunitas Muslim tidak normal. Atlat menyebut, RUU kontroversial terhadap separatisme tidak hanya menyangkut Muslim tetapi semua komunitas agama karena melanggar undang-undang tahun 1905 tentang sekularisme.
“Hubungan agama-negara sedang dibentuk ulang melalui Muslim. Kami melihat bahwa sebenarnya kami sedang dalam proses bagaimana pemahaman sekularisme di Prancis nanti," ungkapnya.
"Kami melihat bahwa kami sebenarnya sedang dalam proses bagaimana pemahaman tentang sekularisme nantinya di Prancis. Akankah ada pemahaman tentang sekularisme di Prancis yang mengecualikan agama dari ruang publik, atau pemahaman tentang sekularisme yang bekerja sama dengan komunitas agama," jelasnya.
Dia juga menyinggung soal pembangunan Masjid Sultan Eyup di Strasbourg, dekat perbatasan Jerman. Dia mengatakan organisasinya telah menerima sumbangan dari seluruh Eropa untuk pembangunan masjid ini, termasuk sumbangan USD 3 juta dari Pemerintah Kota Strasbourg.
Dia mengatakan, pengurus masjid sejatinya menarik permintaan bantuan kepada pemerintah kota, karena pemilu semakin dekat dan beberapa politisi telah mengubah masjid menjadi propaganda pemilu.
Altas menegaskan saat pemilihan Presiden Prancis pada 2022, umat Islam tidak ingin menjadi alat dalam konflik antara dua partai politik besar di negara itu.
Atlas menyatakan bahwa penerapan "piagam prinsip" Islam di Prancis, yang mereka tolak untuk ditandatangani karena mengasingkan Muslim, adalah salah satu keputusan populis yang diambil oleh pemerintah.
“Negara tidak mencampuri urusan internal umat beragama sesuai dengan prinsip sekularisme," ucapnya, seperti dilansir Anadolu Agency.
"Negara tidak memiliki suara tentang bagaimana komunitas religius akan melatih dan menyetujui para imamnya, dan dalam nilai apa mereka akan melakukan tugasnya, " sambungnya.
Ia mengatakan, mereka menghadapi tuduhan dan kritik meski menjalankan tugasnya secara transparan, dan dalam kerangka hukum. Altas menyebut, Menteri Dalam Negeri Prancis, Gerald Moussa Darmanin telah membuat profil yang tidak mencerminkan kebenaran tentang IGMG.
Dia mengatakan, tindakan Darmanin terhadap komunitas Muslim tidak normal. Atlat menyebut, RUU kontroversial terhadap separatisme tidak hanya menyangkut Muslim tetapi semua komunitas agama karena melanggar undang-undang tahun 1905 tentang sekularisme.
“Hubungan agama-negara sedang dibentuk ulang melalui Muslim. Kami melihat bahwa sebenarnya kami sedang dalam proses bagaimana pemahaman sekularisme di Prancis nanti," ungkapnya.
"Kami melihat bahwa kami sebenarnya sedang dalam proses bagaimana pemahaman tentang sekularisme nantinya di Prancis. Akankah ada pemahaman tentang sekularisme di Prancis yang mengecualikan agama dari ruang publik, atau pemahaman tentang sekularisme yang bekerja sama dengan komunitas agama," jelasnya.
Dia juga menyinggung soal pembangunan Masjid Sultan Eyup di Strasbourg, dekat perbatasan Jerman. Dia mengatakan organisasinya telah menerima sumbangan dari seluruh Eropa untuk pembangunan masjid ini, termasuk sumbangan USD 3 juta dari Pemerintah Kota Strasbourg.
Dia mengatakan, pengurus masjid sejatinya menarik permintaan bantuan kepada pemerintah kota, karena pemilu semakin dekat dan beberapa politisi telah mengubah masjid menjadi propaganda pemilu.
Altas menegaskan saat pemilihan Presiden Prancis pada 2022, umat Islam tidak ingin menjadi alat dalam konflik antara dua partai politik besar di negara itu.
(esn)