Melawan Junta Militer, Guru dan Siswa Myanmar Menolak Masuk Sekolah

Selasa, 01 Juni 2021 - 14:34 WIB
loading...
Melawan Junta Militer, Guru dan Siswa Myanmar Menolak Masuk Sekolah
Para pelajar Myanmar memberikan salam tiga jari saat demo turun ke jalan menentang kudeta militer di Mandalay, 10 Mei 2021. Foto/REUTERS
A A A
YANGON - Sekolah-sekolah di Myanmar akan dibuka hari ini (1/6/2021) untuk pertama kalinya sejak junta militer merebut kekuasaan dari pemerintah Aung San Suu Kyi. Namun, para guru dan siswa melawan seruan junta untuk masuk sekolah dan memilih berdemo.

Negara itu sudah empat bulan dilanda kekacauan nasional setelah kudeta militer terhadap pemerintah Suu Kyi pada Februari. Lebih dari 800 orang tewas oleh tindakan keras pasukan keamanan. Selain itu, ekonomi juga lumpuh akibat mogok nasional.



Guru sekolah umum mengenakan seragam hijau dan putih yang diamanatkan oleh kementerian pendidikan menonjol dalam protes massal awal. Mereka saat itu bergabung dengan pekerja kereta api, dokter, dan pegawai negeri di jalan-jalan.

Junta militer bersikeras semua sekolah dibuka hari ini setelah setahun absen karena COVID-19, tetapi banyak pendidik telah memutuskan bahwa mereka tidak dapat kembali ke pekerjaan yang mereka sukai.

"Saya tidak takut dengan penangkapan dan penyiksaan mereka," kata Shwe Nadi, seorang guru dari Yangon kepada AFP. Namanya telah diubah demi keselamatannya.

"Saya takut menjadi guru yang mengajarkan propaganda [pada] siswa," katanya lagi.

Guru berusia 28 tahun itu dipecat karena mendukung gerakan pembangkangan sipil—salah satu dari ribuan guru dan akademisi yang dipecat junta.

“Tentu saja, saya merasa tidak enak kehilangan pekerjaan karena saya senang menjadi guru. Meskipun tidak dibayar dengan baik, kami memiliki kebanggaan menjadi guru karena orang lain menghormati kami," katanya.

Nu May, guru—yang menggunakan nama samaran—di negara bagian Mon selatan juga akan menjauh dari sekolah.

Guru sekolah dasar itu kehilangan gajinya selama berbulan-bulan setelah bergabung dengan boikot nasional. Namun, dia menegaskan bahwa dia tulus berpartisipasi dalam mogok nasional.

“Ketika saya melihat bagaimana mereka [pasukan junta] membunuh banyak orang, saya merasa saya tidak ingin menjadi guru mereka [para siswa] lagi,” ujarnya kepada AFP.



Beberapa dari mereka yang tewas dalam tindakan keras junta adalah anak-anak sekolah menengah pertama. Menurut kelompok amal Save the Children 15 anak yang jadi korban jiwa di bawah usia 16 tahun.

Media yang dikelola junta militer dalam beberapa hari terakhir memuat gambar pejabat yang menonton pendaftaran sekolah dan menjanjikan bahwa orangtua akan “puas” dengan pembukaan kembali sekolah.

Global New Light of Myanmar, media negara Myanmar, melaporkan para siswa di sebuah sekolah di dekat Ibu Kota Myanmar, Naypyidaw, mengikuti upacara untuk menandai masa ajaran baru dengan membawakan lagu "Pekan Pendaftaran Nasional" di depan menteri pendidikan kabinet junta.

Tetapi di salah satu sekolah menengah di wilayah Sagaing tengah, sebuah slogan yang dipulas dengan cat merah di bagian depan gedung mendesak anggota staf sekolah untuk menjauh.

“Kami tidak ingin guru perbudakan militer,” bunyi spanduk yang muncul. “Kami tidak ingin guru yang pengkhianat," bunyi spanduk lainnya.
(min)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2155 seconds (0.1#10.140)