Serangan Gereja Tewaskan 4 Pengungsi, Kardinal Myanmar: Setop Serang Tempat Ibadah
loading...
A
A
A
YANGON - Pemimpin Gereja Katolik Roma Myanmar menyerukan agar serangan terhadap tempat-tempat ibadah diakhiri setelah ia mengatakan empat tewas dan lebih dari delapan lainnya terluka ketika sekelompok yang sebagian besar wanita dan anak-anak mencari perlindungan di sebuah gereja selama pertempuran minggu ini.
Konflik antara tentara dan pasukan yang menentang aturan militer telah meningkat dalam beberapa hari terakhir di Myanmar timur dekat perbatasan negara bagian Shan dan Kayah, dengan puluhan pasukan keamanan dan pejuang lokal tewas, menurut penduduk dan laporan media.
Ribuan warga sipil juga telah meninggalkan rumah mereka akibat pertempuran tersebut dan juga menderita korban jiwa.
"Dengan kesedihan dan rasa sakit yang luar biasa, kami mencatat penderitaan kami atas serangan terhadap warga sipil yang tidak bersalah, yang mencari perlindungan di Gereja Hati Kudus, Kayanthayar," kata Kardinal Charles Maung Bo, yang merupakan Uskup Agung Yangon, dalam sebuah surat yang diposting di Twitter seperti dikutip dari Reuters, Rabu (26/5/2021).
Bo mengatakan gereja yang berada di distrik Loikaw, ibu kota Negara Bagian Kayah yang berbatasan dengan Thailand, mengalami kerusakan parah selama serangan pada Minggu malam.
Myanmar didominasi Buddha tetapi beberapa daerah termasuk Kayah memiliki komunitas Kristen yang besar.
"Tindakan kekerasan, termasuk penembakan terus menerus, menggunakan senjata berat pada kelompok yang ketakutan di mana sebagian besar terdiri dari perempuan dan anak-anak telah menimbulkan korban," katanya.
"Ini perlu dihentikan. Kami mohon kepada kalian semua...mohon jangan meningkatkan perang," imbaunya.
Bo berkata bahwa gereja, rumah sakit dan sekolah dilindungi selama konflik oleh konvensi internasional.
Dia mengatakan serangan itu telah mendorong orang untuk melarikan diri ke hutan dengan lebih dari 20.000 orang mengungsi dan sangat membutuhkan makanan, obat-obatan dan kebersihan.
Penduduk lain di daerah itu mencoba membantu orang-orang terlantar yang meninggalkan rumah mereka. Diperkirakan jumlah mereka meningkat menjadi antara 30 ribu dan 50 ribu pada Rabu ini dan masih menggunakan gereja sebagai tempat berlindung.
"Orang tua dan anak-anak ada di gereja. Semua gereja telah memasang bendera putih untuk menghentikan penembakan," kata pria berusia 20 tahun yang turut membatu evakuasi, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya.
Dia mengatakan situasi tetap tegang di daerah itu dan menuduh militer terus menggunakan senjata berat terhadap milisi lokal yang bersenjata ringan.
Seorang juru bicara junta tidak menjawab panggilan telepon untuk dimintai komentar.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak tentara mengambil alih kekuasaan pada 1 Februari dan menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi. Aksi protes harian, pawai dan pemogokan nasional muncul untuk melawan junta, yang telah berjuang untuk menegakkan ketertiban saat oposisi terhadapnya tumbuh.
Junta menanggapi aksi-aksi ini dengan kekuatan mematikan, menewaskan lebih dari 800 orang, menurut kelompok aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik. Militer membantah angka ini dan pemimpin kudeta Min Aung Hlaing baru-baru ini mengatakan sekitar 300 orang telah tewas dalam kerusuhan, termasuk 47 polisi.
Militer juga bertempur di sejumlah front yang semakin banyak, melawan tentara etnis minoritas yang sudah mapan, dan milisi lokal yang dibentuk dalam beberapa minggu terakhir, banyak yang dipersenjatai dengan senapan sederhana dan senjata rakitan.
Min Aung Hlaing telah mengecilkan risiko kekerasan yang berubah menjadi konflik yang lebih besar.
"Saya tidak berpikir akan ada perang saudara," katanya kepada stasiun televisi berbahasa China, Phoenix Television Phoenix yang berbasis di Hong Kong dalam wawancara pada 20 Mei lalu.
Konflik antara tentara dan pasukan yang menentang aturan militer telah meningkat dalam beberapa hari terakhir di Myanmar timur dekat perbatasan negara bagian Shan dan Kayah, dengan puluhan pasukan keamanan dan pejuang lokal tewas, menurut penduduk dan laporan media.
Ribuan warga sipil juga telah meninggalkan rumah mereka akibat pertempuran tersebut dan juga menderita korban jiwa.
"Dengan kesedihan dan rasa sakit yang luar biasa, kami mencatat penderitaan kami atas serangan terhadap warga sipil yang tidak bersalah, yang mencari perlindungan di Gereja Hati Kudus, Kayanthayar," kata Kardinal Charles Maung Bo, yang merupakan Uskup Agung Yangon, dalam sebuah surat yang diposting di Twitter seperti dikutip dari Reuters, Rabu (26/5/2021).
Bo mengatakan gereja yang berada di distrik Loikaw, ibu kota Negara Bagian Kayah yang berbatasan dengan Thailand, mengalami kerusakan parah selama serangan pada Minggu malam.
Myanmar didominasi Buddha tetapi beberapa daerah termasuk Kayah memiliki komunitas Kristen yang besar.
"Tindakan kekerasan, termasuk penembakan terus menerus, menggunakan senjata berat pada kelompok yang ketakutan di mana sebagian besar terdiri dari perempuan dan anak-anak telah menimbulkan korban," katanya.
"Ini perlu dihentikan. Kami mohon kepada kalian semua...mohon jangan meningkatkan perang," imbaunya.
Bo berkata bahwa gereja, rumah sakit dan sekolah dilindungi selama konflik oleh konvensi internasional.
Dia mengatakan serangan itu telah mendorong orang untuk melarikan diri ke hutan dengan lebih dari 20.000 orang mengungsi dan sangat membutuhkan makanan, obat-obatan dan kebersihan.
Penduduk lain di daerah itu mencoba membantu orang-orang terlantar yang meninggalkan rumah mereka. Diperkirakan jumlah mereka meningkat menjadi antara 30 ribu dan 50 ribu pada Rabu ini dan masih menggunakan gereja sebagai tempat berlindung.
"Orang tua dan anak-anak ada di gereja. Semua gereja telah memasang bendera putih untuk menghentikan penembakan," kata pria berusia 20 tahun yang turut membatu evakuasi, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya.
Dia mengatakan situasi tetap tegang di daerah itu dan menuduh militer terus menggunakan senjata berat terhadap milisi lokal yang bersenjata ringan.
Seorang juru bicara junta tidak menjawab panggilan telepon untuk dimintai komentar.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak tentara mengambil alih kekuasaan pada 1 Februari dan menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi. Aksi protes harian, pawai dan pemogokan nasional muncul untuk melawan junta, yang telah berjuang untuk menegakkan ketertiban saat oposisi terhadapnya tumbuh.
Junta menanggapi aksi-aksi ini dengan kekuatan mematikan, menewaskan lebih dari 800 orang, menurut kelompok aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik. Militer membantah angka ini dan pemimpin kudeta Min Aung Hlaing baru-baru ini mengatakan sekitar 300 orang telah tewas dalam kerusuhan, termasuk 47 polisi.
Militer juga bertempur di sejumlah front yang semakin banyak, melawan tentara etnis minoritas yang sudah mapan, dan milisi lokal yang dibentuk dalam beberapa minggu terakhir, banyak yang dipersenjatai dengan senapan sederhana dan senjata rakitan.
Min Aung Hlaing telah mengecilkan risiko kekerasan yang berubah menjadi konflik yang lebih besar.
"Saya tidak berpikir akan ada perang saudara," katanya kepada stasiun televisi berbahasa China, Phoenix Television Phoenix yang berbasis di Hong Kong dalam wawancara pada 20 Mei lalu.
(ian)