Densus 88 Bakal Dikerahkan ke Papua Barat, Australia: Itu Wewenang Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Densus 88 Anti-Teror Polisi Indonesia dilaporkan akan dikerahkan ke Papua Barat setelah kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) ditetapkan sebagai kelompok teroris. Polisi Federal Australia (AFP), yang melatih Densus 88, menyatakan pengerahan itu merupakan wewenang Indonesia.
Detasemen Khusus (Densus) 88 dibentuk tahun 2003 setelah serangan Bom Bali 2002. AFP melatih Densus 88 karena banyak warga Australia menjadi korban tragedi Bom Bali 2002.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan sebelumnya mengatakan Densus 88 "pasti akan terlibat" dalam menangani kasus terorisme terhadap orang Papua.
AFP mengakui memberikan bantuan dan pelatihan untuk Densus 88 Polri. "AFP memberikan bantuan pembangunan kapasitas untuk mendukung Polri, termasuk Detasemen 88," kata seorang juru bicara AFP kepada ABC.net.au, Kamis (20/5/2021).
"AFP memberikan program pelatihan dengan cara yang mencerminkan dukungan kuat Australia terhadap hak asasi manusia," lanjut AFP.
AFP menolak mengomentari rencana pengerahan detasemen khusus anti-teror itu ke Papua Barat. "Karena itu adalah masalah pihak berwenang Indonesia," kata pihak AFP.
Jason MacLeod, pakar Australia yang juga pendiri kampanye Make West Papua Safe, mengatakan dia tidak menentang pelatihan pasukan Indonesia oleh AFP. Namun, menurutnya, Australia perlu berbuat lebih banyak untuk memastikan anggota Densus 88 tidak melakukan kejahatan di wilayah Papua Barat.
"Kami hanya perlu memperjelas bahwa pendanaan kami tidak memberikan kontribusi untuk memperburuk situasi hak asasi manusia, bahwa pejabat publik Australia, seperti petugas AFP, tidak melatih orang-orang yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia," kata MacLeod.
Richard Chauvel, seorang peneliti di Universitas Melbourne dan ahli dalam hubungan Australia-Indonesia, mengatakan masalah pasukan Indonesia didikan pasukan Australia yang mungkin akan ditempatkan ke Papua adalah "sensitif di kedua sisi".
"Baik para pemimpin Papua pro-kemerdekaan dan kelompok pendukung mereka di Australia dan di tempat lain, telah mencoba berkampanye tentang masalah ini," kata Dr Chauvel.
"Karena publisitas yang dihasilkan olehnya, itu merupakan masalah yang berpotensi memalukan bagi Pemerintah Australia," ujarnya.
Detasemen Khusus (Densus) 88 dibentuk tahun 2003 setelah serangan Bom Bali 2002. AFP melatih Densus 88 karena banyak warga Australia menjadi korban tragedi Bom Bali 2002.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan sebelumnya mengatakan Densus 88 "pasti akan terlibat" dalam menangani kasus terorisme terhadap orang Papua.
AFP mengakui memberikan bantuan dan pelatihan untuk Densus 88 Polri. "AFP memberikan bantuan pembangunan kapasitas untuk mendukung Polri, termasuk Detasemen 88," kata seorang juru bicara AFP kepada ABC.net.au, Kamis (20/5/2021).
"AFP memberikan program pelatihan dengan cara yang mencerminkan dukungan kuat Australia terhadap hak asasi manusia," lanjut AFP.
AFP menolak mengomentari rencana pengerahan detasemen khusus anti-teror itu ke Papua Barat. "Karena itu adalah masalah pihak berwenang Indonesia," kata pihak AFP.
Jason MacLeod, pakar Australia yang juga pendiri kampanye Make West Papua Safe, mengatakan dia tidak menentang pelatihan pasukan Indonesia oleh AFP. Namun, menurutnya, Australia perlu berbuat lebih banyak untuk memastikan anggota Densus 88 tidak melakukan kejahatan di wilayah Papua Barat.
"Kami hanya perlu memperjelas bahwa pendanaan kami tidak memberikan kontribusi untuk memperburuk situasi hak asasi manusia, bahwa pejabat publik Australia, seperti petugas AFP, tidak melatih orang-orang yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia," kata MacLeod.
Richard Chauvel, seorang peneliti di Universitas Melbourne dan ahli dalam hubungan Australia-Indonesia, mengatakan masalah pasukan Indonesia didikan pasukan Australia yang mungkin akan ditempatkan ke Papua adalah "sensitif di kedua sisi".
"Baik para pemimpin Papua pro-kemerdekaan dan kelompok pendukung mereka di Australia dan di tempat lain, telah mencoba berkampanye tentang masalah ini," kata Dr Chauvel.
"Karena publisitas yang dihasilkan olehnya, itu merupakan masalah yang berpotensi memalukan bagi Pemerintah Australia," ujarnya.
(min)