Hadapi China yang Makin Agresif, Australia Akan Gabung Latihan Perang Prancis
loading...
A
A
A
Kerjasama militer Prancis yang meningkat di Indo-Pasifik terjadi ketika ketegangan berkobar antara Paris dan Beijing karena serentetan penghinaan yang "tidak dapat diterima".
Analis Prancis; Antoine Bondaz, telah dicap sebagai "preman kecil", "troll ideologis", dan "hyena gila" oleh diplomat "wolf warrior" Beijing. Anggota Parlemen Prancis; Raphael Glucksmann, masuk daftar hitam Beijing karena pernah mengunjungi China setelah berusaha mengunjungi Taiwan.
Serangan itu dengan cepat meningkat menjadi insiden diplomatik. Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves le Drian turun tangan.
“Tidak ada tempat dalam hubungan Prancis-China untuk penghinaan dan upaya intimidasi terhadap pejabat dan peneliti terpilih. Kami membela mereka yang mewujudkan kebebasan berbicara dan demokrasi. Selalu dan di mana-mana," tulis Le Drian.
"Pernyataan Kedutaan Besar China di Prancis dan tindakan mereka terhadap pejabat terpilih, peneliti, dan diplomat Uni Eropa tidak dapat diterima," ujarnya.
Media China, Global Times yang dikelola Partai Komunis China, menuduh Bondaz sebagai propagandis radikal anti-China yang bersekutu dengan Amerika Serikat. Bondaz mengatakan serangan itu dapat diprediksi saat dia bekerja pada topik yang sensitif bagi otoritas politik China.
"Serangan-serangan ini pada kenyataannya bertujuan untuk membungkam debat publik di Prancis dalam mengizinkan kedutaan besar China untuk memaksakan subjek yang dapat atau tidak dapat didiskusikan," katanya kepada France24.
Namun, ketika dipanggil untuk menjelaskan posisinya kepada Kementerian Luar Negeri Prancis, Duta Besar China Lu Shaye menolak datang dengan alasan jadwal pemanggilan berbenturan dengan agendanya.
Menteri Eropa Prancis, Clement Beaune, mengatakan penundaan untuk memenuhi panggilan itu merupakan penghinaan. "Ketika Anda dipanggil sebagai duta besar, Anda berkunjung ke kementerian luar negeri," katanya. "Baik Prancis maupun Eropa bukanlah keset."