Dewan Keamanan PBB Kutuk Kekerasan Terhadap Demonstran di Myanmar
loading...
A
A
A
NEW YORK - Dewan Keamanan (DK) PBB mengutuk aksi kekerasan terhadap pengunjuk rasa Myanmar dan meminta militer untuk menahan diri. Meski begitu, DK PBB gagal mengecam pengambilalihan militer sebagai kudeta atau mengancam tindakan lebih lanjut karena sikap oposisi dari China dan Rusia, India dan Vietnam.
"Dewan Keamanan mengutuk keras kekerasan terhadap pengunjuk rasa damai, termasuk terhadap wanita, pemuda dan anak-anak," bunyi pernyataan yang dikeluarkan DK PBB seperti dikutip dari Reuters, Kamis (11/3/2021).
DK PBB juga meminta militer Myanmar untuk menahan diri sepenuhnya dan menekankan bahwa mereka mengikuti situasi dengan cermat.
DK PBB juga mengungkapkan keprihatinan yang mendalam pada pembatasan personel medis, masyarakat sipil, anggota serikat pekerja, jurnalis dan pekerja media, dan menyerukan untuk segera membebaskan semua yang ditahan secara sewenang-wenang.
Sebuah kelompok advokasi mengatakan lebih dari 60 orang telah tewas dan sekitar 1.800 orang ditahan dalam tindakan keras terhadap aksi protes harian terhadap kudeta. Puluhan jurnalis termasuk di antara mereka yang ditangkap.
Pernyataan DK PBB tersebut mengungkapkan dukungannya yang berkelanjutan untuk transisi demokrasi di Myanmar, dan menekankan perlunya menegakkan lembaga dan proses demokrasi, menahan diri dari kekerasan, sepenuhnya menghormati hak asasi manusia dan kebebasan fundamental serta menegakkan supremasi hukum.
Diskusi terkait pernyataan tersebut dimulai setelah briefing tertutup pada hari Jumat lalul, mengisyaratkan bahwa DK PBB dapat berjuang untuk berbuat lebih banyak lagi di Myanmar.
Draf awal pernyataan, yang dilihat oleh Reuters, mengutuk kudeta militer dan mengatakan dewan siap untuk mempertimbangkan kemungkinan tindakan lebih lanjut, yang umumnya dilihat sebagai kode untuk memberikan sanksi. Tetapi para diplomat mengatakan Rusia, China, India, dan Vietnam mengusulkan amandemen dan kalimat itu kemudian dibatalkan.
Seorang penyelidik hak asasi manusia independen PBB di Myanmar dan Human Rights Watch yang berbasis di New York telah meminta Dewan Keamanan PBB untuk memberlakukan embargo senjata global dan sanksi ekonomi yang ditargetkan pada junta.
Upaya Dewan Keamanan PBB terhadap kondisi di Myanmar selama ini hanya sebatas pada dua pernyataan setelah tindakan keras militer tahun 2017 yang menyebabkan ratusan ribu Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh dan menyebabkan PBB menuduh adanya pembersihan etnis, yang dibantah oleh tentara.
Dalam sebuah pernyataan kepada pers beberapa hari setelah kudeta, DK PBB menyatakan keprihatinan atas keadaan darurat yang diberlakukan oleh militer Myanmar dan menyerukan pembebasan semua yang ditahan.
"Dewan Keamanan mengutuk keras kekerasan terhadap pengunjuk rasa damai, termasuk terhadap wanita, pemuda dan anak-anak," bunyi pernyataan yang dikeluarkan DK PBB seperti dikutip dari Reuters, Kamis (11/3/2021).
DK PBB juga meminta militer Myanmar untuk menahan diri sepenuhnya dan menekankan bahwa mereka mengikuti situasi dengan cermat.
DK PBB juga mengungkapkan keprihatinan yang mendalam pada pembatasan personel medis, masyarakat sipil, anggota serikat pekerja, jurnalis dan pekerja media, dan menyerukan untuk segera membebaskan semua yang ditahan secara sewenang-wenang.
Sebuah kelompok advokasi mengatakan lebih dari 60 orang telah tewas dan sekitar 1.800 orang ditahan dalam tindakan keras terhadap aksi protes harian terhadap kudeta. Puluhan jurnalis termasuk di antara mereka yang ditangkap.
Pernyataan DK PBB tersebut mengungkapkan dukungannya yang berkelanjutan untuk transisi demokrasi di Myanmar, dan menekankan perlunya menegakkan lembaga dan proses demokrasi, menahan diri dari kekerasan, sepenuhnya menghormati hak asasi manusia dan kebebasan fundamental serta menegakkan supremasi hukum.
Diskusi terkait pernyataan tersebut dimulai setelah briefing tertutup pada hari Jumat lalul, mengisyaratkan bahwa DK PBB dapat berjuang untuk berbuat lebih banyak lagi di Myanmar.
Draf awal pernyataan, yang dilihat oleh Reuters, mengutuk kudeta militer dan mengatakan dewan siap untuk mempertimbangkan kemungkinan tindakan lebih lanjut, yang umumnya dilihat sebagai kode untuk memberikan sanksi. Tetapi para diplomat mengatakan Rusia, China, India, dan Vietnam mengusulkan amandemen dan kalimat itu kemudian dibatalkan.
Seorang penyelidik hak asasi manusia independen PBB di Myanmar dan Human Rights Watch yang berbasis di New York telah meminta Dewan Keamanan PBB untuk memberlakukan embargo senjata global dan sanksi ekonomi yang ditargetkan pada junta.
Upaya Dewan Keamanan PBB terhadap kondisi di Myanmar selama ini hanya sebatas pada dua pernyataan setelah tindakan keras militer tahun 2017 yang menyebabkan ratusan ribu Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh dan menyebabkan PBB menuduh adanya pembersihan etnis, yang dibantah oleh tentara.
Dalam sebuah pernyataan kepada pers beberapa hari setelah kudeta, DK PBB menyatakan keprihatinan atas keadaan darurat yang diberlakukan oleh militer Myanmar dan menyerukan pembebasan semua yang ditahan.
(ian)