Bencana Besar Dampak Corona, Ekonomi China Tenggelam

Sabtu, 18 April 2020 - 08:13 WIB
loading...
Bencana Besar Dampak...
Warga Wuhan mengantre di depan Bank Pos China setelah pemerintah melonggarkan lockdown beberapa waktu lalu. Foto/Reuters
A A A
BEIJING - Ekonomi China telah "tenggelam" untuk pertama kali sejak satu dekade terakhir menyusul lockdown secara massal akibat wabah virus corona (Covid-19). Kondisi itu tidak terlepas dari terhentinya roda bisnis, investasi, dan produksi setelah merosotnya permintaan.

Seperti dilansir BBC yang mengutip otoritas terkait, China telah mengalami kontraksi sebesar 6,8%. Penurunan itu tidak hanya merusak ekonomi China, tapi juga dunia mengingat China merupakan produsen sekaligus konsumen utama barang dan jasa.

China sebelumnya tidak pernah mengalami penyusutan dalam skala besar hanya dalam rentang waktu tiga bulan sejak 1992. "Kontraksi PDB ini dapat diterjemahkan sebagai bencana besar bagi China," kata Yue Su dari Economist Intelligence Unit (EIU).

Su menambahkan, kebangkrutan dan PHK kemungkinan akan menjadi fenomena baru di China dalam beberapa bulan ke depan. Hal ini amat disayangkan mengingat semester pertama tahun lalu ekonomi China tumbuh 6,4%.

Dalam dua dekade terakhir, China rata-rata telah mengalami pertumbuhan ekonomi sekitar 9% per tahun, sekalipun terlibat dalam perang dagang dengan Amerika Serikat (AS). Namun, capaian itu tidak dapat dipertahankan akibat Covid-19 yang memaksa China melakukan lockdown selama tiga bulan.

Para ahli sudah memperkirakan ekonomi China akan terpukul, tapi tidak menyangka dampaknya akan sebesar ini. Menurut data, output pabrik menurun 1,1% pada Maret dan penjualan ritel jatuh 15,8% dibandingkan bulan lalu, sedangkan angka pengangguran meningkat 5,9% pada Maret dan 6,2% pada Februari.

Pemerintah China berupaya meredam kekacauan ekonomi dengan menggelontorkan dan melonggarkan berbagai kebijakan, termasuk paket stimulus. Partai Komunis China berharap ekonomi China akan dapat kembali stabil dan pulih seperti sediakala.

Para ahli mengatakan China tidak akan mampu bangkit dalam waktu dekat, sebab wabah Covid-19 juga menghantam negara lain dan menyebabkan ekonomi dunia melambat. Artinya, China yang menggantungkan pendapatan utama dari ekspor juga terdampak oleh kondisi ekonomi dunia yang pincang.

Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan China berpeluang menghindari resesi, tapi pertumbuhannya hanya sekitar 1,2% jika China mampu menormalisasi perputaran ekonomi dalam sisa tahun ini. Selain itu, angka pengangguran meningkat tajam, terutama di perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengan sistem ekspor.

"Kami melihat China mencoba menambal setiap lubang dengan paket stimulus, tapi tampaknya tidak akan sebesar di negara Barat. Jadi, kami kira China sudah pasrah dan akan menerima apa adanya dengan hasil tahun ini. Mereka lebih fokus membangun kekuatan baru pada tahun mendatang," kata Louis Kuijs dari Oxford Economics.

Sejak awal Maret, China telah mengizinkan sebagian perusahaan untuk memulihkan produksi dan pabrik untuk kembali beroperasi. Namun, hal itu baru awal dari pembukaan lockdown yang akan diproses secara bertahap tergantung perkembangan situasi di lapangan.

Pabrik dan manufaktur merupakan jantung ekonomi China. Karena itu, pemulihannya menjadi sangat vital bagi kesejahteraan rakyatnya. Atas laporan ini, bursa saham China hanya naik sekitar 0,9%. Adapun Nikkei 225 Jepang naik 2,5% karena AS berencana membuka lockdown.

Sementara itu, Otoritas Kesehatan Wuhan, China, Jumat (17/4/2020), merevisi jumlah korban meninggal akibat wabah virus korona baru dari 2.579 orang menjadi 3.869 orang. Selisih angka kematian yang direvisi itu adalah 1.290 jiwa atau bertambah 50%.

Tak hanya angka kematian yang direvisi, jumlah kasus infeksi Covid-19 juga direvisi dengan tambahan 325 kasus menjadi total 50.333 kasus atau meningkat 0,65%. Wuhan yang berada di Provinsi Hubei, adalah kota tempat pertama kali virus tersebut terdeteksi dan mewabah.

Kota itu juga menjadi wilayah pertama episentrum Covid-19 sebelum menyebar ke seluruh dunia. Pihak berwenang China menjelaskan revisi tersebut dengan mencatat bahwa beberapa rumah sakit kewalahan di awal wabah, yang menyebabkan kasus-kasus dilaporkan, ditunda, atau dihilangkan secara keliru.

Media pemerintah, CCTV, melaporkan bahwa pemerintah sedang merevisi angka sesuai dengan hukum, dan mengutip tim operasi pemerintah khusus yang mengawasi upaya penanggulangan epidemi di Wuhan. "Angka korona tidak hanya menyangkut kesehatan dan kehidupan masyarakat , tetapi juga kredibilitas pemerintah. Revisi angka-angka tidak hanya melindungi hak-hak warga negara. Itu juga menunjukkan rasa hormat pemerintah terhadap setiap individu," bunyi siaran media pemerintah tersebut.

Revisi ini terjadi setelah Presiden AS Donald Trump secara langsung menuduh China berbohong tentang jumlah kematian di negara itu dan meluncurkan penyelidikan apakah virus itu berasal dari laboratorium di Wuhan.

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri AS Michael Pompeo mengatakan bahwa Beijing perlu berterus terang atas apa yang mereka ketahui terkait sumber virus pembunuh tersebut. Data yang dilaporkan worldometers pada Jumat (17/4) pukul 13.20 WIB, China Daratan secara nasional memiliki 82.692 kasus Covid-19. Jumlah orang yang meninggal 4.632 orang dan pasien yang disembuhkan 77.944 orang. (Muh Shamil/Muhaimin/Berlianto/Sindonews)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1576 seconds (0.1#10.140)