Perekonomian Nasional Dilanda Banyak Masalah, China Didorong Bersikap Transparan
loading...
A
A
A
BEIJING - Dunia sudah mengetahui bahwa ekonomi China tengah dilanda serangkaian masalah. Meledaknya gelembung properti telah menggerogoti tabungan masyarakat umum, memengaruhi kepercayaan konsumen, merampas sumber pendapatan pemerintah kota, dan membebani bank dengan utang macet senilai triliunan dolar.
Mengutip dari The Hong Kong Post, Selasa (4/6/2024), seperempat dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) China kini menjadi rentan. Ditambah lagi dengan peralihan investasi asing pasca-Covid, baik Investasi Asing Langsung (FDI) dalam industri maupun investasi pasar dari China, ke pasar berkembang lainnya.
Perdagangan ekspor China juga mengalami perlambatan. Hasil akhirnya terlihat dari keruntuhan pasar saham China yang berkelanjutan, yang menghapus kekayaan investor senilai USD7 triliun sejak 2021.
Selain itu, Amerika Serikat (AS) mengenakan tarif baru yang sangat tinggi pada Mei lalu untuk kendaraan listrik (EV), baterai canggih, sel surya, baja, aluminium, dan peralatan medis China.
Kantor berita Al Jazeera melaporkan bahwa tarif akan meningkat dari 25 persen menjadi 100 persen untuk EV tahun ini, sehingga total bea masuk menjadi 102,5 persen.
Baterai EV lithium-ion dan komponen baterai lainnya akan mengalami kenaikan bea masuk dari 7,5 persen menjadi 25 persen.
Sel fotovoltaik China, yang digunakan dalam pembuatan panel surya, akan lebih mahal di AS karena bea masuk dinaikkan dari 25 persen menjadi 50 persen. Bea masuk atas beberapa mineral penting akan ditingkatkan dari nol menjadi 25 persen.
Baik Presiden Joe Biden maupun pesaingnya dari Partai Republik, Donald Trump, sepakat bahwa China telah menyalahgunakan rezim perdagangan liberal yang dipandu Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Selama bertahun-tahun mengalami pertumbuhan dua digit, Partai Komunis China (CCP) memastikan subsidi berlapis-lapis untuk manufakturnya. Subsidi tersebut tidak mudah dikenali karena sistem CCP yang tidak transparan.
Mengutip dari The Hong Kong Post, Selasa (4/6/2024), seperempat dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) China kini menjadi rentan. Ditambah lagi dengan peralihan investasi asing pasca-Covid, baik Investasi Asing Langsung (FDI) dalam industri maupun investasi pasar dari China, ke pasar berkembang lainnya.
Perdagangan ekspor China juga mengalami perlambatan. Hasil akhirnya terlihat dari keruntuhan pasar saham China yang berkelanjutan, yang menghapus kekayaan investor senilai USD7 triliun sejak 2021.
Selain itu, Amerika Serikat (AS) mengenakan tarif baru yang sangat tinggi pada Mei lalu untuk kendaraan listrik (EV), baterai canggih, sel surya, baja, aluminium, dan peralatan medis China.
Kantor berita Al Jazeera melaporkan bahwa tarif akan meningkat dari 25 persen menjadi 100 persen untuk EV tahun ini, sehingga total bea masuk menjadi 102,5 persen.
Baterai EV lithium-ion dan komponen baterai lainnya akan mengalami kenaikan bea masuk dari 7,5 persen menjadi 25 persen.
Sel fotovoltaik China, yang digunakan dalam pembuatan panel surya, akan lebih mahal di AS karena bea masuk dinaikkan dari 25 persen menjadi 50 persen. Bea masuk atas beberapa mineral penting akan ditingkatkan dari nol menjadi 25 persen.
Baik Presiden Joe Biden maupun pesaingnya dari Partai Republik, Donald Trump, sepakat bahwa China telah menyalahgunakan rezim perdagangan liberal yang dipandu Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Selama bertahun-tahun mengalami pertumbuhan dua digit, Partai Komunis China (CCP) memastikan subsidi berlapis-lapis untuk manufakturnya. Subsidi tersebut tidak mudah dikenali karena sistem CCP yang tidak transparan.