Kudeta Militer Dapat Porak-Porandakan Ekonomi Myanmar

Selasa, 02 Februari 2021 - 17:40 WIB
loading...
Kudeta Militer Dapat...
Pedagang menata barang jualannya di pasar Yangon, Myanmar, 26 April 2019. Foto/REUTERS
A A A
YANGON - Para pelaku bisnis dan pengamat memperkirakan kudeta di Myanmar kemungkinan besar merusak perekonomian negara tersebut.

Perusahaan-perusahaan mengatakan kudeta itu membahayakan investasi asing senilai miliaran dolar.

Amerika Serikat (AS) mengatakan sedang mempertimbangkan menjatuhkan sanksi tambahan pada Myanmar, salah satu negara termiskin di kawasan Asia.



Namun, dampak sanksi AS bisa dibatasi karena sebagian besar investasi negara tersebut berasal dari Asia.

Lihat infografis: Nasib Suu Kyi: Bintang Demokrasi, Tutup Mata Genosida Rohingya

Menurut Bank Dunia, Singapura adalah investor asing terbesar di Myanmar tahun lalu, menyumbang 34% dari keseluruhan investasi yang disetujui.

Lihat video: Rekam Kudeta Militer Pakai Musik Bang Jago, Dapat Senyum Kepala Polisi

Hong Kong adalah investor terbesar kedua di Myanmar sebanyak 26%.

Komitmen Investasi Asing Langsung (FDI) ke Myanmar bernilai USD5,5 miliar pada tahun fiskal 2020, yang berakhir pada September.

Real estat dan manufaktur masing-masing menyumbang sekitar 20% dari angka itu. Angka-angka ini diperkirakan akan turun secara signifikan tahun ini karena pandemi Covid-19.
Baca Juga: Aung San Suu Kyi Desak Rakyat Myanmar Lawan Kudeta Militer

Vriens & Partners adalah konsultan urusan pemerintah yang saat ini menangani proyek senilai USD3 miliar hingga USD4 miliar untuk klien-klien asing yang berinvestasi di Myanmar.
Baca Juga: Jenderal Min Aung Hlaing: Membantai Rohingya, Mengkudeta Aung San Suu Kyi

Proyek-proyek tersebut terutama untuk energi, infrastruktur dan telekomunikasi.

"Itu semua berisiko sekarang," ungkap managing partner Hans Vriens.

"Negara ini telah terpukul parah oleh Covid dan berkurangnya keinginan untuk berinvestasi. Dan sekarang kita memiliki ini di atas," tutur dia.

Sanksi-sanksi dapat berdampak besar pada investasi asing, dengan perusahaan Barat dan Jepang berpikir dua kali tentang proyek di Myanmar.

Dengan AS yang sudah mempertimbangkan sanksi terhadap Myanmar, Vriens berpikir bisnis mungkin beralih ke China sebagai gantinya.

"Ini benar-benar satu-satunya negara yang bisa mereka tuju," tutur dia.

Dampak Sanksi

Seorang pengusaha yang berbasis di Yangon, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya, mengatakan dia lega bahwa kudeta sejauh ini tampaknya berjalan relatif damai.

"Sejauh ini damai, tanpa protes, tetapi emosi kuat dan orang-orang kesal," ungkap dia, dilansir BBC.

Dia mengatakan kemungkinan kudeta akan berdampak pada ekonomi, tetapi efek dari sanksi barat apa pun akan bergantung pada apakah sanksi itu luas atau mereka menargetkan para pemimpin kudeta.

Namun, efek sanksi dapat dibatasi karena sebagian besar investasi asing berasal dari Asia.

"Ini akan berdampak psikologis, tetapi angka dolar yang sebenarnya masuk, kami tidak pernah bergantung pada investasi barat," ujar dia.

Dia mengatakan keterlibatan adalah pendekatan yang lebih baik daripada sanksi, yang menghukum perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab.

"Anda memiliki perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab yang mematuhi standar Eropa atau AS yang ironisnya paling terpengaruh oleh sanksi," ungkap dia.

Presiden American Apparel & Footwear Association Stephen Lamar mengatakan banyak anggota kelompok perdagangan itu berbisnis di Myanmar dan menganggap kudeta itu sangat memprihatinkan.

"Hati dan doa kami bersama rakyat Myanmar untuk penyelesaian yang cepat, damai, dan demokratis untuk krisis ini, yang tidak menghilangkan kemajuan ekonomi yang dibuat oleh orang-orang pekerja keras di Myanmar," papar dia.

Seorang juru bicara H&M mengatakan perusahaan sedang memantau peristiwa dan melakukan kontak dekat dengan para pemasok, tetapi tidak memiliki rencana segera untuk mengubah strategi.

"Kami terus mengikuti perkembangan, tetapi menahan diri dari berspekulasi tentang apa artinya ini bagi kami di masa depan," ungkap juru bicara H&M itu.
(sya)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1331 seconds (0.1#10.140)