Milenial Kecewa Sistem Demokrasi

Senin, 26 Oktober 2020 - 06:01 WIB
loading...
Milenial Kecewa Sistem...
Masa depan demokrasi menghadapi tantangan. Kondisi ini terjadi karena generasi milenial kurang puas dengan sistem politik tersebut. Foto/Koran SINDO
A A A
LONDON - Masa depan demokrasi menghadapi tantangan. Kondisi ini terjadi karena generasi milenial kurang puas dengan sistem politik yang dianggap paling sempurna tersebut akibat tingginya ketidakadilan dan ketidakstabilan politik, sosial, dan ekonomi di berbagai negara di dunia.



Secara global, status demokrasi mengalami a state of malaise karena 57,5% masyarakat dunia sudah kecewa dengan demokrasi. Angka ini mengalami peningkatan 10% bila dibandingkan dengan pertengahan 1990-an. Tren peningkatan ketidakpuasan terhadap demokrasi menyebar di seluruh dunia, baik di Amerika Utara, Amerika Latin, Eropa, Afrika, Timur Tengah maupun Asia. (Baca: Perempuan-perempuan Pemegang Bara Api)

Kekecewaan pemuda kelahiran 1981–1996 yang terbilang sangat mendalam tidak pernah diungkapkan anak-anak muda terdahulu, baik generasi X (1965–1981), baby boomer (1994–1964) ataupun interwar (1918–1943).

“Di seluruh dunia, generasi milenial kurang puas dengan kinerja demokrasi dan kurang merasakan manfaatnya,” ungkap University of Cambridge yang melakukan penelitian tersebut di 160 negara dengan 4,8 juta responden seperti dikutip Reuters.

Kekecewaan paling buruk terjadi di Amerika Serikat (AS), Brasil, Meksiko, Afrika Selatan, Prancis, Inggris, dan Australia. Alasan utama di balik kekecewaan mereka ialah ketidaksetaraan pendapatan dan kekayaan. University of Cambridge menyatakan jumlah generasi milenial di AS mencapai seperempat dari total penduduk, tetapi hanya memegang 3% dari total kekayaan. Padahal baby boomers pada zaman dulu menguasai 21% dari total kekayaan.

Universitas tersebut pun menyarankan agar para pemimpin dunia meningkatkan kinerja sistem demokrasi dan memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Sebab tingkat moral generasi muda di dalam kehidupan demokrasi juga rendah. Hampir setiap pemuda berusia 18–34 tahun di berbagai negara memandang lawan politik sebagai musuh tak bermoral.

Penelitian ini merupakan penelitian sistem demokrasi dengan data terbanyak di dunia. University of Cambridge juga berkolaborasi dengan Human Survey Project untuk pengadaan data kepuasan masyarakat terhadap sistem demokrasi yang dikumpulkan sejak 1973 hingga 2020. Meski banyak, data yang dikumpulkan masih sangat terbatas.

"Saya kira generasi milenial menjadi generasi pertama yang merasa tidak puas dan kecewa dengan implementasi demokrasi,” ujar Dr Roberto Foa dari Fakultas Politik dan Hubungan Internasional University of Cambridge. “Sebaliknya, mayoritas generasi baby boomers yang kini berusia 60 dan 70 tahunan merasa puas saat masih muda dulu,” imbuhnya. (Baca juga: Ratusan Ribu Bayi Meninggal karena Polusi Udara)

Di Inggris pada 1973 misalnya sebanyak 54% responden dari generasi interwar berusia 30 tahunan mengaku puas dengan sistem demokrasi di Inggris. Jumlahnya terus meningkat. Memasuki usia 60 tahunan, sebanyak 57% dari mereka mengaku merasa puas. Saat itu tingkat kepuasan generasi x juga tinggi, yakni mencapai 62%.

Secara global, generasi milenial gelombang pertama yang masuk perguruan tinggi masih memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi daripada pendahulunya. Tapi tingkat kepuasan itu menurun secara drastis menyusul banyaknya tantangan yang menguji demokrasi, mulai dari krisis keuangan, perang di timur tengah hingga wabah penyakit menular.

Adapun di AS, hampir 63% generasi milenial mengaku puas dengan sistem demokrasi di negaranya saat mereka berusia 20 tahunan. Namun saat memasuki usia 30 tahunan atau pasca-2010, jumlahnya menurun menjadi 50%. Padahal saat itu sebanyak 74% generasi baby boomers mengaku puas dan 68% di antaranya tetap puas sampai sekarang.

Generasi milenial dan generasi X terus mengalami penurunan kepuasan terhadap sistem demokrasi. Jika ketimpangan sosial, politik, dan ekonomi terus berlanjut, hal itu akan memicu revolusi baru. Kenyataannya kebijakan di berbagai negara kini mulai berubah, mulai dari tingginya nasionalisme hingga perombakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Negara yang mampu membangun ekonomi secara merata cenderung stabil. Islandia dan Austria misalnya. Generasi milenial, generasi X, baby boomers, dan interwar di kedua negara itu hampir memiliki kepuasan yang sama tinggi. Sebaliknya di negara besar dengan jumlah penduduk banyak dan ketimpangan yang luas, perbedaannya kentara dan terus meningkat di setiap tahun. (Baca juga: Ilmuwan Ciptakan Laboratorium Pembentukan Bintang dan Planet)

“Tumpukan utang yang menggunung, rendahnya peluang memiliki rumah sendiri, sulitnya memulai rumah tangga, dan ketergantungan terhadap warisan bila dibandingkan dengan kerja keras dan bakat untuk meraih kesuksesan menyebabkan generasi muda saat ini merasa hampa dengan sistem demokrasi. Mereka merasa sistem ini tidak optimal,” kata Foa.

Adapun di negara lain di luar Eropa dan AS, sistem demokrasi juga kurang dirasakan manfaatnya oleh generasi muda. Di Amerika Latin dan Afrika, penelitian ini menunjukkan generasi muda di dua kawasan itu tampak jenuh dan lesu setelah 25 tahun berada di bawah sistem demokrasi mengingat penerapannya tidak sesuai dengan kampanye.

“Di seluruh dunia kami melihat adanya jurang pemisah antara generasi muda dan generasi sebelumnya dalam memandang fungsi demokrasi,” kata Foa. “Pemutusan hubungan demokrasi ini bukan berasal dari luar, tapi justru dari dalam. Para pemegang kebijakan gagal membuahkan hasil yang berarti bagi generasi muda sehingga tercipta ketidaksetaraan,” imbuhnya.

Kelompok yang diyakini sukses menerapkan sistem demokrasi dalam lima tahun terakhir ialah kelompok populis dan sayap kiri. Hal itu banyak terjadi di Eropa dan dibuktikan dengan naiknya Syriza di Yunani, Podemos di Spanyol, Viktor Orban di Hungaria, dan Partai Law and Justice di Polandia. Generasi muda di bawah pimpinan kelompok populis mengaku puas.

“Populis kini lebih populer daripada moderat,” kata Daniella Wenger, salah satu peneliti dari University of Cambridge. “Di negara Barat, generasi milenial kini mengaku dapat menilai baik atau buruknya seorang pemimpin dari paham politiknya. Tantangannya ialah para pemimpin harus dapat mengambil aksi nyata sehingga demokrasi terjaga,” imbuhnya. (Baca juga: Masyarakat Semakin Takut Menyatakan Pendapat dan Unjuk Rasa)

Tantangan Indonesia

Bagaimana dengan nasib demokrasi di Indonesia? Para peneliti Universitas Cambridge mengungkapkan, demokrasi di Tanah Air mengalami transisi sejak pengunduran diri Soeharto pada 1998. Namun liberalisasi politik mengalami tantangan konflik etnik dan sektarian.
“Tantangan demokrasi di Indonesia juga berkaitan dengan klientelisme tingkat rendah yang juga menjadi gangguan serta kebebasan berekspresi belum bisa dirasakan,” ungkap mereka dalam analisisnya.

Indonesia bersama dengan Filipina dan Malaysia dianggap sebagai negara demokrasi yang masih berkembang. Survei Universitas Cambridge juga menunjukkan adanya optimisme terhadap kondisi dan performa negara-negara tersebut atas institusi demokrasinya.

Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik FISIP Universitas Indonesia (UI) Hurriyah menilai kekecewaan para milenial terhadap sistem demokrasi muncul karena ada kesenjangan antara cita-cita demokrasi dengan realitas yang terjadi.

Selama ini demokrasi di mata masyarakat identik dengan janji kebebasan, kesejahteraan, dan good government. Masyarakat memandang seharusnya demokrasi memberikan kesetaraan dalam menyuarakan pendapat dan partisipasi dalam politik. “Ini seperti yang saat ini tidak diperoleh oleh anak-anak muda,” jelasnya.

Secara global hari ini demokrasi dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang sebenarnya tidak punya orientasi dan tujuan yang demokrasi. Di beberapa negara malah dimanfaatkan oleh kaum populis seperti Donald Trump dan Jair Bolsonaro. Selain itu, demokrasi juga kadang “dibajak” oleh oligarki. (Lihat videonya: 3 Penumpang Tewas Akibat Perahu Wisata Terbalik di Pandeglang)

“Akhirnya sistemnya demokrasi, tetapi secara nilai dan substansi jauh dari nilai-nilai demokrasi. Dalam konteks Indonesia, sejak 2004 kita punya presiden yang terpilih secara demokratis. Akan tetapi, ketika memerintah justru tidak demokratis. Ini jadi persoalan juga,” tegasnya.

Selain itu, milenial juga kecewa dengan demokrasi terkait persoalan khas yang dihadapi. Menurut dia, para milenial ini sangat konsen dengan isu ekonomi seperti pekerjaan dan kebutuhan hidup. Beberapa waktu lalu ada riset yang menyebutkan milenial akan kesulitan untuk membeli rumah karena harganya yang meroket. (Muh Shamil)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1529 seconds (0.1#10.140)