PM Thailand Dituntut Mundur, Demonstran Gunakan Medsos untuk Propaganda
loading...
A
A
A
"Sejak pengeras suara dilarang, para aktivis mulai menggunakan metode komunikasi yang efektif," kata Wasana Wongsurawat, pakar politik Universitas Chulalongkorn.
Konsep telepon hutan juga digunakan untuk mengantisipasi ketika ada polisi antihuru-hara yang datang. Seseorang mengatakan berulang kali bahwa ada mobil meriam air yang datang. "Hanya dalam waktu dua menit, maka seluruh demonstran akan mengetahui informasi tersebut," ujar Wasana.
Demonstran Hong Kong dan Thailand juga memiliki akar keprihatinan yang sama. Di Thailand, para demonstran menuntut pengunduran diri PM Prayuth. Mereka juga ingin mereformasi kekuasaan Kerajaan Thailand. Di Hong Kong, para pengunjuk rasa menuntut pengunduran diri pemimpin eksekutif Carrir Lam dan memprotes intervensi politik Beijing. (Baca juga: Pandemi Covid-19 Momentum Indonesia untuk Mandiri)
Baik demonstran di Hong Kong, Thailand, maupun Taiwan juga membentuk the Milk Tea Alliance, koalisi online yang merujuk pada minuman klasik populer di tiga negara tersebut. Para pemimpin aksi Thailand kerap mengatakan bahwa gerakan Hong Kong mampu menginspirasi mereka. Para aktivis Hong Kong juga memberikan panduan mengenai pakaian perlindungan, keamanan internet, dan bagaimana memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan.
Generasi baru pengunjuk rasa di Thailand dan Hong Kong masih berpijak pada aktivisme generasi muda. Mereka juga sangat ahli memanfaatkan teknologi.
"Budaya protes di Thailand pada 2020 merupakan budaya demonstrasi para pengguna internet," kata Wasana. Itu karena para pengunjuk rasa memang terbiasa menyebarkan pesan melalui media sosial. "Mereka tidak perlu belajar melawan mobil meriam air dan gas air mata," ujarnya. (Lihat videonya: Pemerintah Berencana Menyiapkan Materi Khutbah Jumat)
Peneliti Universitas Nottingham di Malaysia, Bridget Welsh, mengatakan memang telah terjadi perubahan pergerakan di Asia Tenggara. "Para aktivis demokrasi di Thailand, Hong Kong, serta Indonesia dan Malaysia terus beradaptasi melawan pemerintahan yang otoriter," ujar Welsh. (Andika H Mustaqim)
Konsep telepon hutan juga digunakan untuk mengantisipasi ketika ada polisi antihuru-hara yang datang. Seseorang mengatakan berulang kali bahwa ada mobil meriam air yang datang. "Hanya dalam waktu dua menit, maka seluruh demonstran akan mengetahui informasi tersebut," ujar Wasana.
Demonstran Hong Kong dan Thailand juga memiliki akar keprihatinan yang sama. Di Thailand, para demonstran menuntut pengunduran diri PM Prayuth. Mereka juga ingin mereformasi kekuasaan Kerajaan Thailand. Di Hong Kong, para pengunjuk rasa menuntut pengunduran diri pemimpin eksekutif Carrir Lam dan memprotes intervensi politik Beijing. (Baca juga: Pandemi Covid-19 Momentum Indonesia untuk Mandiri)
Baik demonstran di Hong Kong, Thailand, maupun Taiwan juga membentuk the Milk Tea Alliance, koalisi online yang merujuk pada minuman klasik populer di tiga negara tersebut. Para pemimpin aksi Thailand kerap mengatakan bahwa gerakan Hong Kong mampu menginspirasi mereka. Para aktivis Hong Kong juga memberikan panduan mengenai pakaian perlindungan, keamanan internet, dan bagaimana memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan.
Generasi baru pengunjuk rasa di Thailand dan Hong Kong masih berpijak pada aktivisme generasi muda. Mereka juga sangat ahli memanfaatkan teknologi.
"Budaya protes di Thailand pada 2020 merupakan budaya demonstrasi para pengguna internet," kata Wasana. Itu karena para pengunjuk rasa memang terbiasa menyebarkan pesan melalui media sosial. "Mereka tidak perlu belajar melawan mobil meriam air dan gas air mata," ujarnya. (Lihat videonya: Pemerintah Berencana Menyiapkan Materi Khutbah Jumat)
Peneliti Universitas Nottingham di Malaysia, Bridget Welsh, mengatakan memang telah terjadi perubahan pergerakan di Asia Tenggara. "Para aktivis demokrasi di Thailand, Hong Kong, serta Indonesia dan Malaysia terus beradaptasi melawan pemerintahan yang otoriter," ujar Welsh. (Andika H Mustaqim)
(ysw)