PM Thailand Dituntut Mundur, Demonstran Gunakan Medsos untuk Propaganda

Jum'at, 23 Oktober 2020 - 10:15 WIB
loading...
PM Thailand Dituntut Mundur, Demonstran Gunakan Medsos untuk Propaganda
Para pengunjuk rasa antimonarki di Thailand menggunakan media sosial sebagai alat propaganda. Foto/Reuters
A A A
BANGKOK - Demi membangkitkan semangat perlawanan dan menggalang simpati, para pengunjuk rasa antimonarki di Thailand menggunakan media sosial sebagai alat propaganda.

Para pengunjuk rasa yang didominasi anak muda Thailand itu terus menekan Perdana Menteri (PM) Pruyuth Chanocha untuk mengundurkan diri dengan tenggat waktu selama tiga hari. Mereka juga menuntut pengurangan kekuasaan kerajaan dan menyerukan solusi berdirinya Republik Thailand. (Baca: Inilah Dua Keutamaan dari Sikap Istiqamah)

Demonstrasi kini menjadi suatu gaya karena sebagian besar pesertanya adalah anak muda yang merupakan generasi milenial. Mereka membawa payung untuk melawan serangan gas air mata yang ditembakkan polisi. Mereka juga mengenakan helm dan masker gas hingga flashmob hingga bahasa tangan. Gaya tersebut diadopsi dari para demonstran Hong Kong.

Ketika para pemimpin demonstrasi telah ditangkap, para pengunjuk rasa justru menyerukan "Kita semua adalah pemimpin saat ini". "Mereka (pemerintah) mengira bahwa dengan menangkap para demonstran akan menghentikan kita," ujar Pla (24) seorang demonstran di Bangkok. "Itu tidak akan berdampak. Kita adalah pemimpin saat ini," imbuhnya.

Apa yang dilakukan para demonstran Hong Kong juga menganggap semua pengunjuk rasa adalah pemimpin. Itu setelah para pemimpin mereka ditangkap. Pengambilan keputusan pun dilakukan melalui forum online dan menggunakan aplikasi percakapan melalui Telegram sehingga bisa melakukan mobilisasi massa.

Penggunaan Telegram telah mengalami peningkatan tajam dalam beberapa bulan terakhir. Para demonstran menggunakannya untuk mengordinasi aksi seiring dengan pengetatan aturan oleh pemerintah. (Baca juga: Hari Santri, Pemerintah Harus Berpihak dan Hadir Bukan Sekedar Selebrasi)

Grup Telegram, yakni Free Youth, menjadi kelompok yang beranggotakan 200.000 orang. Akibatnya pemerintah Thailand memblokir Telegram. Selain itu, grup di Facebook juga sangat populer. Berbagai informasi mengenai pelaksanaan dan lokasi demonstrasi serta keberadaan polisi beredar cepat dan luas melalui grup tersebut.

"Demonstran Thailand kini mencoba tetap merata sehingga menerapkan kepemimpinan yang terbuka," kata Aim Sinpeng, pakar politik dari Universitas Sydney, dilansir BBC. "Ini sangat berbeda dengan demonstran masa lalu di Thailand yang cenderung personalisasi di tangan pemimpin untuk memengaruhi masyarakat," katanya.

Dengan menggunakan tagar #everybodyisaleader mampu mengubah gerakan demokrasi di Thailand. "Itu juga bisa melindungi mereka dari persekusi pemerintah," papar Aim yang meneliti politik digital di Asia Tenggara.

Kemudian, para demonstran juga menggunakan bahasa tubuh baru yang diadopsi dari para pengunjuk rasa di Hong Kong. Jika seorang demonstran membentuk jarinya berbentuk segitiga, maka menunjukkan mereka membutuhkan helm. Jika melintangkan jari, menunjukkan ada orang yang terluka. (Baca juga: Konsumsi Kedelai Bisa Kurangi Resiko Terkena Kanker)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1163 seconds (0.1#10.140)