Pilpres Amerika, Trump Kembali Gelorakan Perang Psikologis

Selasa, 13 Oktober 2020 - 12:15 WIB
loading...
Pilpres Amerika, Trump Kembali Gelorakan Perang Psikologis
Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Foto/Reuters
A A A
WASHINGTON - Donald Trump yang kini menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) dikenal sebagai politisi yang gamblang. Dia tak segan menabuh perang psikologi dengan lawan politiknya demi memenangi berbagai argumen.

Karakter itu sudah tertanam di dalam diri Trump sejak dia terjun ke dunia politik. Selama mengikuti debat ketiga calon presiden (capres) 2016, Trump banyak melontarkan pernyataan yang memancing emosi lawan politiknya. Saat itu, dia pernah menolak menjawab terkait penerimaan hasil pemilihan presiden (pilpres) dan dikritik Hillary Clinton. (Baca: Nasihat indah Aa Gym: Jangan Mempersulit Diri!)

“Saya akan melihatnya nanti dan akan membuat anda semua tegang,” ujar Trump yang menuduh perlombaan pilpres sudah diatur sedemikian rupa agar dirinya kalah. “Itu bukanlah bagaimana demokrasi bekerja,” timpal Hillary dari Partai Demokrat yang menggalang banyak dukungan di dalam jajak pendapat, tapi akhirnya kalah.

Empat tahun berlalu, AS kembali menyaksikan fenomena sikap non-demokratis serupa. Trump kembali menuduh seluruh sistem pilpres sudah diatur untuk mengunggulkan Joe Biden dan mengaku tidak akan mengakui kemenangan politisi Partai Demokrat itu. Masyarakat AS sadar bahwa Trump kurang tertarik atau menghargai demokrasi.

Sejak awal Trump sangat terbuka terkait ketidakpatuhannya terhadap nilai-nilai demokrasi. Hal itu terlihat selama dia menjabat sebagai presiden, terutama dalam penggunaan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan. Gaya kepemimpinannya juga disebut mirip pemimpin otoriter yang menunggangi demokrasi demi tetap menduduki kekuasaan.

“Manipulasi informasi selalu menjadi kunci suksesnya pemimpin otoriter,” ujar Ruth Ben-Ghiat, profesor Sejarah dari New York University, dikutip CNN. “Pemimpin seperti itu tidak menyebarkan propaganda secara masif, tapi secara pintar. Mereka akan menggunakan informasi untuk mengendalikan masyarakat demi tetap berkuasa,” ujarnya.

Seperti dilansir Washington Post, Trump telah melakukan lebih dari 20.000 kebohongan sejak menjabat sebagai presiden pada 2017. Namun, apa yang dia sembunyikan juga dinilai menarik untuk dikaji. Sejauh ini Trump beserta jajarannya berupaya untuk tidak memublikasikan tax return para pebisnis yang menerima paket bantuan Covid-19.

Trump juga dituduh mencoba menyembunyikan hasil pilpres 2020 demi menjaga kelanggengannya sebagai presiden. Sama seperti pemimpin otoriter lainnya, dia tidak meyakini harus melayani rakyat. Sebaliknya, rakyat yang harus melayani dirinya. The Campaign Legal Center juga menuduh Trump melanggar aturan keuangan kampanye. (Baca juga: PSBB Diperpanjang, Sekolah di Jakarta Belum Bisa Terapkan Tatap Muka)

“Trump hanya peduli terhadap pendukungnya. Meski demikian, dia tetap membuat mereka bergantung kepada dirinya dan tidak mempercayai siapa pun,” kata Ruth. Untuk melengkapi strategi politiknya, Trump menyebarkan kebingungan dan memaksa publik menciptakan teori konspirasi, tak terkecuali selama pandemi.

Ketidakjelasan informasi ini dinilai sebagai salah satu senjatanya selama perang psikologi dengan Biden sehingga kepercayadirian institusi yang mengandalkan data keras menurun. Media massa dan akademisi yang menulis tentang Covid-19 atau perubahan iklim akan langsung diserang serta dituduh sebagai penyebar hoaks.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1435 seconds (0.1#10.140)