Update COVID-19 Dunia 4 Mei: 3,5 Juta Kasus, 1,1 Orang Juta Sembuh
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jumlah kasus infeksi COVID-19 secara global hingga Senin (3/5/2020) sudah melampui 3,5 juta. Angka kematian mendekati seperempat juta orang dan jumlah pasien yang sembuh sudah lebih dari 1,1 juta orang.
Banyaknya kasus infeksi virus corona baru itu membuat para ahli takut bahwa beberapa negara kurang melaporkan jumlah yang sebenarnya, bahkan ketika tingkat kematian dan kasus baru cenderung melambat.
Negara-negara Amerika Utara dan Eropa masih menyumbang sebagian besar jumlah kasus infeksi baru yang dilaporkan dalam beberapa hari terakhir. Selain itu, ada lonjakan kasus di basis-basis yang lebih kecil di Amerika Latin, Afrika dan Rusia, di mana para ahli khawatir bahwa keseluruhan data pandemi itu jauh dari sebenarnya.
Menurut penghitungan Reuters, secara global ada 74.779 kasus baru selama 24 jam terakhir, sehingga total kasus di seluruh dunia menjadi sekitar 3,52 juta. Angka itu didasarkan pada data resmi pemerintah masing-masing negara.
Data lain dari worldometersyang dikutip SINDOnews.com pada Senin pukul 13.00 WIB ada 3.566.805 kasus, dengan 248.304 kematian dan sebanyak 1.156.982 pasien berhasil disembuhkan.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) jumlah kasus COVID-19 ini sebanding dengan sekitar 3 juta hingga 5 juta kasus penyakit parah yang disebabkan oleh influenza musiman setiap tahun. Namun, jumlah kasus COVID-19 jauh dari kasus flu Spanyol—dimulai pada 1918—yang mencapai sekitar 500 juta orang.
"Kami masih harus skeptis tentang jumlah yang kami dapatkan," kata Peter Collignon, seorang dokter penyakit menular dan ahli mikrobiologi di Rumah Sakit Canberra, kepada Reuters. "Itu masalah besar," katanya lagi.
"Tingkat kematian juga 10 kali lebih tinggi daripada influenza di semua kelompok umur."
Kasus infeksi COVID-19 hanya dapat menyebabkan gejala ringan dan tidak semua orang yang memiliki gejala terinfeksi telah dites. Sementara itu sebagian besar negara hanya mencatat kematian di rumah sakit, yang berarti banyak kematian di rumah pribadi dan panti jompo belum dimasukkan.
Cabut Lockdown?
Tingkat harian kasus-kasus baru di seluruh dunia telah berada dalam kisaran 2-3 persen selama seminggu terakhir, dibandingkan dengan puncak sekitar 13 persen pada pertengahan Maret. Hal itu mendorong banyak negara bersiap melonggarkan atau bahkan mencabut penguncian wilayah atau lockdown yang telah menjungkirbalikkan bisnis dan melumpuhkan ekonomi global.
Melonggarnya pembatasan terbukti kontroversial, karena para ahli memperdebatkan strategi terbaik untuk memastikan tidak ada wabah "gelombang kedua" yang besar.
"Kita bisa dengan mudah memiliki gelombang kedua atau ketiga karena banyak tempat tidak kebal," kata Collignon, yang mencatat bahwa dunia kekurangan kekebalan kawanan, yang membutuhkan sekitar 60 persen populasi untuk pulih dari penyakit ini.
Para pejabat kesehatan juga menyatakan keprihatinan tentang meningkatnya jumlah kasus di negara-negara di mana ada kurangnya tes dan kurangnya fasilitas medis.
Di Inggris, Perdana Menteri Boris Johnson, yang berjuang melawan COVID-19 bulan lalu, mengatakan pada hari Minggu bahwa negara itu sudah melewati puncaknya, tetapi masih terlalu dini untuk melonggarkan lockdown.
Di negara-negara di mana perlawanan terhadap COVID-19 telah dianggap berhasil, seperti Australia dan Selandia Baru yang telah mencatat tingkat infeksi baru setiap hari dalam satu digit selama berminggu-minggu, para pejabatnya memilih berhati-hati terkait opsi melonggarkan lockdown.
Banyaknya kasus infeksi virus corona baru itu membuat para ahli takut bahwa beberapa negara kurang melaporkan jumlah yang sebenarnya, bahkan ketika tingkat kematian dan kasus baru cenderung melambat.
Negara-negara Amerika Utara dan Eropa masih menyumbang sebagian besar jumlah kasus infeksi baru yang dilaporkan dalam beberapa hari terakhir. Selain itu, ada lonjakan kasus di basis-basis yang lebih kecil di Amerika Latin, Afrika dan Rusia, di mana para ahli khawatir bahwa keseluruhan data pandemi itu jauh dari sebenarnya.
Menurut penghitungan Reuters, secara global ada 74.779 kasus baru selama 24 jam terakhir, sehingga total kasus di seluruh dunia menjadi sekitar 3,52 juta. Angka itu didasarkan pada data resmi pemerintah masing-masing negara.
Data lain dari worldometersyang dikutip SINDOnews.com pada Senin pukul 13.00 WIB ada 3.566.805 kasus, dengan 248.304 kematian dan sebanyak 1.156.982 pasien berhasil disembuhkan.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) jumlah kasus COVID-19 ini sebanding dengan sekitar 3 juta hingga 5 juta kasus penyakit parah yang disebabkan oleh influenza musiman setiap tahun. Namun, jumlah kasus COVID-19 jauh dari kasus flu Spanyol—dimulai pada 1918—yang mencapai sekitar 500 juta orang.
"Kami masih harus skeptis tentang jumlah yang kami dapatkan," kata Peter Collignon, seorang dokter penyakit menular dan ahli mikrobiologi di Rumah Sakit Canberra, kepada Reuters. "Itu masalah besar," katanya lagi.
"Tingkat kematian juga 10 kali lebih tinggi daripada influenza di semua kelompok umur."
Kasus infeksi COVID-19 hanya dapat menyebabkan gejala ringan dan tidak semua orang yang memiliki gejala terinfeksi telah dites. Sementara itu sebagian besar negara hanya mencatat kematian di rumah sakit, yang berarti banyak kematian di rumah pribadi dan panti jompo belum dimasukkan.
Cabut Lockdown?
Tingkat harian kasus-kasus baru di seluruh dunia telah berada dalam kisaran 2-3 persen selama seminggu terakhir, dibandingkan dengan puncak sekitar 13 persen pada pertengahan Maret. Hal itu mendorong banyak negara bersiap melonggarkan atau bahkan mencabut penguncian wilayah atau lockdown yang telah menjungkirbalikkan bisnis dan melumpuhkan ekonomi global.
Melonggarnya pembatasan terbukti kontroversial, karena para ahli memperdebatkan strategi terbaik untuk memastikan tidak ada wabah "gelombang kedua" yang besar.
"Kita bisa dengan mudah memiliki gelombang kedua atau ketiga karena banyak tempat tidak kebal," kata Collignon, yang mencatat bahwa dunia kekurangan kekebalan kawanan, yang membutuhkan sekitar 60 persen populasi untuk pulih dari penyakit ini.
Para pejabat kesehatan juga menyatakan keprihatinan tentang meningkatnya jumlah kasus di negara-negara di mana ada kurangnya tes dan kurangnya fasilitas medis.
Di Inggris, Perdana Menteri Boris Johnson, yang berjuang melawan COVID-19 bulan lalu, mengatakan pada hari Minggu bahwa negara itu sudah melewati puncaknya, tetapi masih terlalu dini untuk melonggarkan lockdown.
Di negara-negara di mana perlawanan terhadap COVID-19 telah dianggap berhasil, seperti Australia dan Selandia Baru yang telah mencatat tingkat infeksi baru setiap hari dalam satu digit selama berminggu-minggu, para pejabatnya memilih berhati-hati terkait opsi melonggarkan lockdown.
(min)