'Normalisasi Siluman' Arab Saudi-Israel Dibalik Kesepakatan Bahrain

Minggu, 13 September 2020 - 15:36 WIB
loading...
Normalisasi Siluman...
Foto/Ilustrasi
A A A
MANAMAH - Langkah Bahrain untuk secara resmi menjalin hubungan dengan Israel tidak dapat terjadi tanpa lampu hijau Arab Saudi , langkah lain dalam apa yang para pengamat sebut sebagai "normalisasi alternatif" hubungan Riyadh dengan negara Yahudi itu.

Bahrain pada hari Jumat menjadi sekutu Teluk kedua Arab Saudi yang mengumumkan rencana untuk meresmikan hubungan dengan Israel selama sebulan terakhir, setelah sebelumnya Uni Emirat Arab (UEA).(Baca: Bahrain Ikuti Jejak UEA Normalisasi Hubungan dengan Israel )

Langkah tersebut menyoroti potensi peran Riyadh, yang sejauh ini menangkis tekanan dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengikutinya.

Perkembangan tersebut, yang disebut Trump sebagai "benar-benar bersejarah", tidak mungkin terjadi tanpa dukungan diam-diam dari Riyadh, yang memegang pengaruh besar atas Bahrain.

Arab Saudi, ekonomi terbesar di dunia Arab, termasuk di antara kekuatan Teluk yang menjanjikan bantuan keuangan USD10 miliar pada 2018 untuk Bahrain yang kekurangan uang, dan pada 2011 mengirim pasukan untuk menopang keluarga yang berkuasa setelah fenomena Arab Spring.

"Saya percaya bahwa kerajaan Bahrain berkonsultasi dengan Saudi mengenai keputusan ini untuk menghormati mereka," kata Marc Schneier, seorang rabi Amerika yang merupakan penasihat Raja Bahrain, kepada AFP.

"Pemerintah Bahrain sangat menghormati posisi Saudi selama proses ini," imbuhnya seperti dilansir dari France24, Minggu (13/9/2020).

Para pejabat Saudi secara terbuka tetap bungkam atas perkembangan tersebut, tetapi sumber yang dekat dengan pihak berwenang mengisyaratkan itu adalah konsesi untuk Trump setelah dia memberikan tekanan besar pada Riyadh untuk membentuk hubungan diplomatik dengan Israel.

"Anda akan memiliki cukup banyak negara yang masuk, yang besar akan datang. Saya berbicara dengan raja Arab Saudi...kami baru saja memulai dialog tentang normalisasi dengan Israel," kata Trump kepada wartawan seminggu setelah panggilan telepon dengan Raja Salman.

Media pemerintah Saudi tidak membahas masalah tersebut dalam pembacaan seruannya, hanya mengutip suara raja yang menyuarakan dukungan untuk solusi yang "langgeng dan adil" untuk masalah Palestina.(Baca: Raja Salman kepada Trump: Saudi Bersedia Capai Solusi Permanen untuk Palestina )

Arab Saudi, rumah bagi situs-situs paling suci umat Islam, tidak mungkin segera membuat kesepakatan serupa dengan Israel. Pasalnya, jika Arab Saudi melakukannya tanpa resolusi terhadap masalah Palestina akan dilihat sebagai pengkhianatan dan merusak citranya sebagai pemimpin dunia Muslim.

Dan para analis mengatakan Arab Saudi tidak merasakan kebutuhan mendesak setelah membina hubungan rahasia dengan Israel, yang dipandangnya sebagai benteng melawan musuh regionalnya Iran, bahkan ketika mereka menyuarakan dukungan yang teguh untuk negara Palestina merdeka.

Awal bulan ini, Arab Saudi setuju untuk mengizinkan penerbangan UEA ke Israel melewati wilayahnya, sebagai tanda konkret lain dari kerja sama kerajaan dengan negara Yahudi tersebut.(Baca: Saudi Izinkan Semua Negara Terbang di Atas Langitnya, Termasuk Israel )

"Ini yang saya sebut 'normalisasi alternatif'," kata Ryan Bohl, dari lembaga think tank geopolitik AS Stratfor, kepada AFP.

"Meskipun Saudi akan tetap lebih lambat di jalur ini, jelas kerajaan terbuka untuk normalisasi dan akan mengeksplorasi pertumbuhan dalam hubungan melalui hubungan yang semakin publik, meskipun kemungkinan tidak langsung," terangnya.

Terlepas dari sikap publiknya, media Arab Saudi yang pro-pemerintah telah berulang kali menguji reaksi publik dengan menerbitkan laporan yang menganjurkan hubungan lebih dekat dengan Israel.

Awal bulan ini, seorang pengkhotbah di kota suci Makkah memicu badai media sosial ketika video khotbahnya muncul yang menunjukkan dia berbicara tentang apa yang dia sebut penjangkauan Nabi Muhammad kepada orang-orang dari agama lain, terutama Yahudi.

Khotbah Abdulrahman al-Sudais, yang menimbulkan kontroversi di masa lalu atas pandangan anti-Semitnya, ditafsirkan oleh banyak orang sebagai seruan untuk normalisasi hubungan dengan Israel.

"Riyadh akan menjajaki hubungan tidak langsung dengan Israel sampai publik Saudi lebih siap untuk perubahan strategis yang lebih dalam," kata Bohl.

Arab Saudi sadar bahwa, seperti beberapa negara Teluk lainnya, penduduknya juga mungkin sangat bersimpati pada perjuangan Palestina.

Setelah reaksi publik yang relatif tidak terdengar di UEA, para pembangkang di Bahrain, yang dikuasai Sunni tetapi memiliki populasi Muslim Syiah yang besar, menolak langkah pemerintah untuk membangun hubungan dengan Israel sebagai pengkhianatan.

Arab Saudi akan mengamati dengan cermat reaksi publik di Bahrain, yang tidak seperti negara-negara Teluk lainnya yang memiliki sejarah panjang gerakan masyarakat sipil, bahkan jika mereka telah ditekan sejak Arab Spring.

"Arab Saudi sering menggunakan Bahrain sebagai tempat uji coba untuk kebijakan masa depan," ujar Kristin Diwan dari Institut Negara Teluk Arab di Washington kepada AFP.

"Tapi kemudian perhitungan Arab Saudi untuk menormalkan hubungan dengan Israel benar-benar berbeda dari perhitungan negara Teluk pesisir kecil tanpa beban agama dan tanggung jawab kerajaan," imbuhnya.
(ber)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1691 seconds (0.1#10.140)