Banyak Pelajar Putus Sekolah, Kehidupan Sekolah di Korea Utara Penuh Kekerasan
loading...
A
A
A
"Pada akhirnya, semua beban ini jatuh ke pundak orang tua, dan jika mereka tidak mampu menanggung biaya tersebut, siswa tidak dapat menahan rasa malu dan tekanan sehingga memilih putus sekolah,’’ papar Seo Bella yang sengaja tidak menyebutkan nama universitasnya untuk keselamatan diri.
Menurut Seo Bella, di sekolah-sekolah Korea Utara, kekerasan dan hukuman fisik adalah hal yang biasa. ‘’Jika seorang siswa tidak dapat membayar, guru dengan sembarangan memukul siswa dengan tongkat, menghantam tangan, bokong, paha, dan betis mereka,’’ ungkap dia.
Tindakan kekerasan ini menyebabkan trauma fisik dan psikologis bagi siswa yang masih muda, yang pada dasarnya merupakan bentuk pelecehan anak.
Namun, masalahnya adalah di Korea Utara, tidak ada pengakuan terhadap pelecehan anak, dan kekerasan terhadap anak-anak diterima sebagai bagian alami dari kehidupan.
Diceritakan, para siswa di Korea Utara menghabiskan lebih banyak waktu memegang sekop dan beliung daripada belajar.
Selama jam pelajaran mereka, mereka dipaksa untuk bekerja. Baik itu pemulihan bencana, mobilisasi untuk bertani, atau mengumpulkan besi tua, siswa dikerahkan untuk berbagai jenis kerja paksa.
"Saya telah dicuci otak oleh pendidikan ideologi yang berulang-ulang di Korea Utara dan tidak pernah mempertanyakan mobilisasi paksa ini, menganggapnya sebagai bagian alami dari kehidupan,’’ tutur dia.
Namun, setelah datang ke Korea Selatan, dia menyadari sekolah seharusnya menjadi tempat bagi siswa untuk menerima Pendidikan.
Menurut dia, mobilisasi paksa di Korea Utara merampas kesempatan serta hak belajar siswa, yang merupakan pelanggaran HAM.
Lebih dari 70 tahun telah berlalu sejak pembagian Korea Selatan dan Korea Utara. Sementara Korea Selatan berkembang pesat, Korea Utara tetap terjebak di masa lalu.
Menurut Seo Bella, di sekolah-sekolah Korea Utara, kekerasan dan hukuman fisik adalah hal yang biasa. ‘’Jika seorang siswa tidak dapat membayar, guru dengan sembarangan memukul siswa dengan tongkat, menghantam tangan, bokong, paha, dan betis mereka,’’ ungkap dia.
Tindakan kekerasan ini menyebabkan trauma fisik dan psikologis bagi siswa yang masih muda, yang pada dasarnya merupakan bentuk pelecehan anak.
Namun, masalahnya adalah di Korea Utara, tidak ada pengakuan terhadap pelecehan anak, dan kekerasan terhadap anak-anak diterima sebagai bagian alami dari kehidupan.
Diceritakan, para siswa di Korea Utara menghabiskan lebih banyak waktu memegang sekop dan beliung daripada belajar.
Selama jam pelajaran mereka, mereka dipaksa untuk bekerja. Baik itu pemulihan bencana, mobilisasi untuk bertani, atau mengumpulkan besi tua, siswa dikerahkan untuk berbagai jenis kerja paksa.
"Saya telah dicuci otak oleh pendidikan ideologi yang berulang-ulang di Korea Utara dan tidak pernah mempertanyakan mobilisasi paksa ini, menganggapnya sebagai bagian alami dari kehidupan,’’ tutur dia.
Namun, setelah datang ke Korea Selatan, dia menyadari sekolah seharusnya menjadi tempat bagi siswa untuk menerima Pendidikan.
Menurut dia, mobilisasi paksa di Korea Utara merampas kesempatan serta hak belajar siswa, yang merupakan pelanggaran HAM.
Lebih dari 70 tahun telah berlalu sejak pembagian Korea Selatan dan Korea Utara. Sementara Korea Selatan berkembang pesat, Korea Utara tetap terjebak di masa lalu.
Lihat Juga :