Negara Ini Eksekusi Mati 102 Bandit, 70 Lainnya Segera Menyusul
loading...

Pihak berwenang di Republik Demokratik Kongo telah mengeksekusi 102 bandit urban. Sekitar 70 lainnya akan segera dieksekusi. Foto/Human Rights Watch
A
A
A
KINSHASA - Pihak berwenang di Republik Demoraktik Kongo (DRC) telah mengeksekusi mati 102 orang, yang mereka sebut sebagai bandit urban, dalam seminggu terakhir.
Para pejabat setempat mengatakan sekitar 70 orang lainnya akan segera dieksekusi.
Menteri Kehakiman Constant Mutamba mengatakan eksekusi berlangsung di penjara Angenga. Mereka yang dieksekusi adalah para pria perampok bersenjata dan bandit urban.
Pekan lalu, 45 orang dari mereka, berusia 18 hingga 35 tahun, dieksekusi sementara 57 orang lainnya dieksekusi dalam 48 jam terakhir.
Mutamba mengatakan sebuah penerbangan dari Kinshasa yang membawa "kelompok ketiga" tahanan telah tiba di Angenga. Dia tidak merinci kapan eksekusi terhadap mereka dilakukan.
Negara Afrika tengah tersebut secara kontroversial mengumumkan pada bulan Maret bahwa mereka akan mengakhiri moratorium hukuman mati selama 20 tahun, yang akan diberlakukan dan dilaksanakan dalam, antara lain, kasus pengkhianatan, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, spionase, pemberontakan, dan konspirasi kriminal.
Negara tersebut menghapus hukuman mati pada tahun 1981, dan meskipun kemudian diberlakukan kembali pada tahun 2006, dengan eksekusi sebelumnya dilakukan pada tahun 2003.
Presiden Felix Tshisekedi membela keputusan mengakhiri moratorium hukuman mati.
"Keputusan tersebut dibuat dengan tujuan untuk membersihkan tentara Republik Demokratik Kongo dari para pengkhianat di satu sisi dan mengekang kebangkitan aksi terorisme perkotaan yang mengakibatkan kematian orang-orang di sisi lain," paparnya.
Langkah tersebut memicu protes dari kelompok hak asasi manusia, di mana aktivis Espoir Muhinuka mengatakan kepada Associated Press bahwa tekanan politik dapat menyebabkan hukuman yang tidak adil dan eksekusi sewenang-wenang.
“Situasi di DRC rumit dan memerlukan pendekatan multidimensi,” katanya.
“Perang melawan geng perkotaan harus berjalan seiring dengan upaya untuk memerangi kemiskinan, pengangguran, dan pengucilan sosial, yang sering kali menjadi faktor penyebab kejahatan," paparnya, yang dilansir AP, Selasa (11/2/2025).
Direktur regional Amnesty International untuk Afrika Timur dan Selatan, Tigere Chagutah, mengatakan tahun lalu bahwa keputusan tersebut membahayakan nyawa ratusan orang yang telah dijatuhi hukuman mati.
“Keputusan pemerintah untuk mengembalikan eksekusi adalah ketidakadilan besar bagi orang-orang yang dijatuhi hukuman mati di Republik Demokratik Kongo dan menunjukkan pengabaian yang tidak berperasaan terhadap hak untuk hidup,” kata Chagutah.
“Ini adalah langkah mundur yang besar bagi negara ini dan pertanda lebih lanjut bahwa pemerintahan Tshisekedi mengingkari komitmennya untuk menghormati hak asasi manusia," ujarnya.
“Baik mereka yang dijatuhi hukuman mati adalah anggota tentara atau polisi nasional, anggota kelompok bersenjata atau terlibat dalam kekerasan geng, setiap orang memiliki hak untuk hidup dan hak tersebut harus dilindungi," imbuh dia.
Para pejabat setempat mengatakan sekitar 70 orang lainnya akan segera dieksekusi.
Menteri Kehakiman Constant Mutamba mengatakan eksekusi berlangsung di penjara Angenga. Mereka yang dieksekusi adalah para pria perampok bersenjata dan bandit urban.
Pekan lalu, 45 orang dari mereka, berusia 18 hingga 35 tahun, dieksekusi sementara 57 orang lainnya dieksekusi dalam 48 jam terakhir.
Mutamba mengatakan sebuah penerbangan dari Kinshasa yang membawa "kelompok ketiga" tahanan telah tiba di Angenga. Dia tidak merinci kapan eksekusi terhadap mereka dilakukan.
Negara Afrika tengah tersebut secara kontroversial mengumumkan pada bulan Maret bahwa mereka akan mengakhiri moratorium hukuman mati selama 20 tahun, yang akan diberlakukan dan dilaksanakan dalam, antara lain, kasus pengkhianatan, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, spionase, pemberontakan, dan konspirasi kriminal.
Negara tersebut menghapus hukuman mati pada tahun 1981, dan meskipun kemudian diberlakukan kembali pada tahun 2006, dengan eksekusi sebelumnya dilakukan pada tahun 2003.
Presiden Felix Tshisekedi membela keputusan mengakhiri moratorium hukuman mati.
"Keputusan tersebut dibuat dengan tujuan untuk membersihkan tentara Republik Demokratik Kongo dari para pengkhianat di satu sisi dan mengekang kebangkitan aksi terorisme perkotaan yang mengakibatkan kematian orang-orang di sisi lain," paparnya.
Langkah tersebut memicu protes dari kelompok hak asasi manusia, di mana aktivis Espoir Muhinuka mengatakan kepada Associated Press bahwa tekanan politik dapat menyebabkan hukuman yang tidak adil dan eksekusi sewenang-wenang.
“Situasi di DRC rumit dan memerlukan pendekatan multidimensi,” katanya.
“Perang melawan geng perkotaan harus berjalan seiring dengan upaya untuk memerangi kemiskinan, pengangguran, dan pengucilan sosial, yang sering kali menjadi faktor penyebab kejahatan," paparnya, yang dilansir AP, Selasa (11/2/2025).
Direktur regional Amnesty International untuk Afrika Timur dan Selatan, Tigere Chagutah, mengatakan tahun lalu bahwa keputusan tersebut membahayakan nyawa ratusan orang yang telah dijatuhi hukuman mati.
“Keputusan pemerintah untuk mengembalikan eksekusi adalah ketidakadilan besar bagi orang-orang yang dijatuhi hukuman mati di Republik Demokratik Kongo dan menunjukkan pengabaian yang tidak berperasaan terhadap hak untuk hidup,” kata Chagutah.
“Ini adalah langkah mundur yang besar bagi negara ini dan pertanda lebih lanjut bahwa pemerintahan Tshisekedi mengingkari komitmennya untuk menghormati hak asasi manusia," ujarnya.
“Baik mereka yang dijatuhi hukuman mati adalah anggota tentara atau polisi nasional, anggota kelompok bersenjata atau terlibat dalam kekerasan geng, setiap orang memiliki hak untuk hidup dan hak tersebut harus dilindungi," imbuh dia.
(mas)
Lihat Juga :