Akhiri Konflik dengan Eritrea, PM Ethiopia Diganjar Nobel Perdamaian
A
A
A
OSLO - Perdana Menteri (PM) Ethiopia, Abiy Ahmed, berhasil memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian 2019. Abey diganjar Hadiah Nobel Perdamaian atas upaya mengakhiri permusuhan dengan Eritrea yang telah berlangsung selama dua dekade.
Meski menghadapi tantangan besar, pemimpin termuda Afrika itu memulai reformasi politik dan ekonomi yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi banyak orang di Ethiopia yang miski dalam dua tahun berkuasa. Ia juga berhasil memulihkan hubungan dengan Eritrea yang telah dibekukan sejak perang perbatasan 1998-2000.
Komite Nobel mengatakan Abiy memenangkan hadiah bergengsi itu atas upayanya untuk mencapai perdamaian dan kerja sama internasional, dan khususnya untuk inisiatif yang menentukan untuk menyelesaikan konflik perbatasan dengan negara tetangga Eritrea.
Dikatakan hadiah itu dimaksudkan untuk mengakui semua pemangku kepentingan yang bekerja untuk perdamaian dan rekonsiliasi di Ethiopia dan di wilayah Afrika Timur dan Timur Laut.
"Saya sangat rendah hati dan senang. Ini adalah hadiah yang diberikan kepada Afrika, diberikan kepada Ethiopia," kata Abiy Ahmed dalam panggilan telepon yang direkam oleh sekretaris komite penghargaan yang diposting online seperti dikutip dari Reuters, Jumat (11/10/2019).
Menurut juru bicaranya mengatakan Abiy tengah bertemu dengan Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok ketika dia diberi tahu bahwa dia telah memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian.
Menurut Kepala Stockholm International Peace Research Institute, Dan Smith, keputusan Komite Nobel tampaknya dirancang untuk mendorong proses perdamaian, mengulangi pemberian hadiah serupa pada 1994 yang diberikan kepada para pemimpin Israel dan Palestina serta penghargaan pada tahun 1993 untuk gerakan rekonsiliasi di Afrika Selatan.
"Ini adalah kasus yang menginginkan intervensi konstruktif dalam proses perdamaian ... untuk memberikan pengaruh dan dorongan," katanya kepada Reuters.
"Tantangannya sekarang adalah masalah internal Abiy Ahmed, dengan Ethiopia perlu berurusan dengan konsekuensi kekerasan jangka panjang, termasuk tiga juta orang terlantar dan kebutuhan untuk melanjutkan proses politik," imbuhnya.
Abiy sendiri adalah favorit kedua untuk memenangi penghargaan bergengsi itu, di belakang remaja aktivis perubahaan iklim asal Swedia Greta Thunberg.
“Saya sering mengatakan bahwa angin harapan semakin kuat di Afrika. Perdana Menteri Abiy Ahmed adalah salah satu alasan utamanya mengapa (itu terjadi),” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
"Visinya membantu Ethiopia dan Eritrea mencapai pemulihan hubungan bersejarah," tukasnya.
Meski menghadapi tantangan besar, pemimpin termuda Afrika itu memulai reformasi politik dan ekonomi yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi banyak orang di Ethiopia yang miski dalam dua tahun berkuasa. Ia juga berhasil memulihkan hubungan dengan Eritrea yang telah dibekukan sejak perang perbatasan 1998-2000.
Komite Nobel mengatakan Abiy memenangkan hadiah bergengsi itu atas upayanya untuk mencapai perdamaian dan kerja sama internasional, dan khususnya untuk inisiatif yang menentukan untuk menyelesaikan konflik perbatasan dengan negara tetangga Eritrea.
Dikatakan hadiah itu dimaksudkan untuk mengakui semua pemangku kepentingan yang bekerja untuk perdamaian dan rekonsiliasi di Ethiopia dan di wilayah Afrika Timur dan Timur Laut.
"Saya sangat rendah hati dan senang. Ini adalah hadiah yang diberikan kepada Afrika, diberikan kepada Ethiopia," kata Abiy Ahmed dalam panggilan telepon yang direkam oleh sekretaris komite penghargaan yang diposting online seperti dikutip dari Reuters, Jumat (11/10/2019).
Menurut juru bicaranya mengatakan Abiy tengah bertemu dengan Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok ketika dia diberi tahu bahwa dia telah memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian.
Menurut Kepala Stockholm International Peace Research Institute, Dan Smith, keputusan Komite Nobel tampaknya dirancang untuk mendorong proses perdamaian, mengulangi pemberian hadiah serupa pada 1994 yang diberikan kepada para pemimpin Israel dan Palestina serta penghargaan pada tahun 1993 untuk gerakan rekonsiliasi di Afrika Selatan.
"Ini adalah kasus yang menginginkan intervensi konstruktif dalam proses perdamaian ... untuk memberikan pengaruh dan dorongan," katanya kepada Reuters.
"Tantangannya sekarang adalah masalah internal Abiy Ahmed, dengan Ethiopia perlu berurusan dengan konsekuensi kekerasan jangka panjang, termasuk tiga juta orang terlantar dan kebutuhan untuk melanjutkan proses politik," imbuhnya.
Abiy sendiri adalah favorit kedua untuk memenangi penghargaan bergengsi itu, di belakang remaja aktivis perubahaan iklim asal Swedia Greta Thunberg.
“Saya sering mengatakan bahwa angin harapan semakin kuat di Afrika. Perdana Menteri Abiy Ahmed adalah salah satu alasan utamanya mengapa (itu terjadi),” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
"Visinya membantu Ethiopia dan Eritrea mencapai pemulihan hubungan bersejarah," tukasnya.
(ian)