Vanuatu dan Solomon Angkat Rusuh Papua di Dewan HAM PBB
A
A
A
JENEWA - Vanuatu dan Kepulauan Solomon mengangkat masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap warga Papua Barat di Dewan HAM PBB. Keduanya membuat pernyataan yang juga mencatat bahwa Indonesia belum memberikan akses ke Papua untuk Komisaris HAM PBB.
Pernyataan itu disampaikan pada sesi terbaru Dewan HAM PBB oleh Sumbue Antas dari Misi Permanen Vanuatu ke PBB.
Tuntutan ini mengikuti aksi protes dan kerusuhan di Papua yang menewaskan sedikitnya sepuluh orang dan puluhan lainnya di tangkap.
Negara-negara Melanesia itu mengatakan kepada Dewan HAM PBB tentang keprihatinan mendalam mereka tentang pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM yang dimaksud adalah kebebasan berekspresi dan berkumpul, serta diskriminasi rasial terhadap orang Papua di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Mereka menggemakan seruan pekan lalu dari ketua hak asasi manusia PBB, Michelle Bachelet, agar Indonesia melindungi hak asasi manusia Papua.
"Terkait dengan agenda ini, kami prihatin dengan keterlambatan Pemerintah Indonesia dalam mengkonfirmasikan waktu dan tanggal bagi Komisaris Hak Asasi Manusia untuk melakukan kunjungannya ke Papua Barat," kata Antas seperti dikutip dari Radio New Zealand, Rabu (18/9/2019).
Selama bertahun-tahun, kantor Komisioner Hak Asasi Manusia PBB telah berusaha untuk mendapatkan izin dari Jakarta untuk mengunjungi wilayah Papua.
"Kami meminta Komisaris Tinggi dan Pemerintah Indonesia untuk mempercepat pengaturan ini sehingga penilaian terhadap situasi saat ini dibuat, dan sebuah laporan dapat disampaikan kepada Dewan Hak Asasi Manusia untuk dipertimbangkan," ujar Antas.
Pemerintah Indonesia telah mengindikasikan bahwa, untuk saat ini, akses ke Papua akan tetap dibatasi karena situasi keamanan yang diciptakan oleh kerusuhan baru-baru ini. Peristiwa ini dipicu oleh pelecehan rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang bulan lalu.
Enam ribu personel militer dan polisi Indonesia dikerahkan ke Papua untuk menanggapi aksi protes yang meluas. Pemerintah juga menerapkan pembatasan pada jaringan internet di Papua, meskipun ini secara bertahap mulai berkurang pada minggu lalu.
Namun, bahkan sebelum gelombang kerusuhan yang terjadi saat ini, negara-negara Kepulauan Pasifik telah menyuarakan rasa frustasi bahwa Jakarta tidak menanggapi secara memadai atas permintaan berulang-ulang oleh Komisaris PBB untuk akses ke Papua.
Pada KTT Pimpinan Forum Kepulauan Pasifik 2019 baru-baru ini di Tuvalu, negara-negara kawasan meminta Indonesia dan Komisaris PBB untuk menyelesaikan waktu kunjungan ke Papua Barat, dan untuk menyerahkan laporan berbasis bukti tentang situasi sebelum pertemuan puncak berikutnya pada 2020.
Pernyataan itu disampaikan pada sesi terbaru Dewan HAM PBB oleh Sumbue Antas dari Misi Permanen Vanuatu ke PBB.
Tuntutan ini mengikuti aksi protes dan kerusuhan di Papua yang menewaskan sedikitnya sepuluh orang dan puluhan lainnya di tangkap.
Negara-negara Melanesia itu mengatakan kepada Dewan HAM PBB tentang keprihatinan mendalam mereka tentang pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM yang dimaksud adalah kebebasan berekspresi dan berkumpul, serta diskriminasi rasial terhadap orang Papua di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Mereka menggemakan seruan pekan lalu dari ketua hak asasi manusia PBB, Michelle Bachelet, agar Indonesia melindungi hak asasi manusia Papua.
"Terkait dengan agenda ini, kami prihatin dengan keterlambatan Pemerintah Indonesia dalam mengkonfirmasikan waktu dan tanggal bagi Komisaris Hak Asasi Manusia untuk melakukan kunjungannya ke Papua Barat," kata Antas seperti dikutip dari Radio New Zealand, Rabu (18/9/2019).
Selama bertahun-tahun, kantor Komisioner Hak Asasi Manusia PBB telah berusaha untuk mendapatkan izin dari Jakarta untuk mengunjungi wilayah Papua.
"Kami meminta Komisaris Tinggi dan Pemerintah Indonesia untuk mempercepat pengaturan ini sehingga penilaian terhadap situasi saat ini dibuat, dan sebuah laporan dapat disampaikan kepada Dewan Hak Asasi Manusia untuk dipertimbangkan," ujar Antas.
Pemerintah Indonesia telah mengindikasikan bahwa, untuk saat ini, akses ke Papua akan tetap dibatasi karena situasi keamanan yang diciptakan oleh kerusuhan baru-baru ini. Peristiwa ini dipicu oleh pelecehan rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang bulan lalu.
Enam ribu personel militer dan polisi Indonesia dikerahkan ke Papua untuk menanggapi aksi protes yang meluas. Pemerintah juga menerapkan pembatasan pada jaringan internet di Papua, meskipun ini secara bertahap mulai berkurang pada minggu lalu.
Namun, bahkan sebelum gelombang kerusuhan yang terjadi saat ini, negara-negara Kepulauan Pasifik telah menyuarakan rasa frustasi bahwa Jakarta tidak menanggapi secara memadai atas permintaan berulang-ulang oleh Komisaris PBB untuk akses ke Papua.
Pada KTT Pimpinan Forum Kepulauan Pasifik 2019 baru-baru ini di Tuvalu, negara-negara kawasan meminta Indonesia dan Komisaris PBB untuk menyelesaikan waktu kunjungan ke Papua Barat, dan untuk menyerahkan laporan berbasis bukti tentang situasi sebelum pertemuan puncak berikutnya pada 2020.
(ian)