Kata-kata Terakhir Ismail Haniyeh sebelum Dibunuh: Allah yang Menghidupkan dan Mematikan
loading...
A
A
A
TEHERAN - Seolah-olah merasakan nasibnya, kata-kata terakhir pemimpin Hamas Ismail Haniyeh kepada Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei sebelum pembunuhannya di Teheran adalah sebuah ayat Al-Qur’an tentang kehidupan, kematian, keabadian, dan ketabahan.
“Allah yang menghidupkan dan mematikan. Dan Allah Maha Mengetahui segala perbuatan…” kata Haniyeh dalam bahasa Arab pada Selasa atau menjelang pembunuhannya. Yang diucapkan Haniyeh itu merupakan penggalan dari Al-Qur’an Surah Ali Imran Ayat 156.
“Jika seorang pemimpin pergi, pemimpin lain akan bangkit,” lanjut Haniyeh dalam pidatonya untuk Khamenei yang disiarkan televisi, sebagaimana dikutip Reuters, Minggu (4/8/2024).
Hanya beberapa jam kemudian, pada Rabu (31/7/2024) sekitar pukul 02.00 dini hari, dia meninggal dalam serangan di sebuah wisma tamu di Teheran yang menjadi kediamannya.
Hamas dan Iran menuduh Israel sebagai pelaku pembunuhan Haniyeh. Namun Israel belum mengaku maupun menyangkal sebagai pihak yang membunuh pemimpin Hamas tersebut.
Ada dua versi tentang serangan yang menewaskan Haniyeh. Versi pertama adalah sebuah bom diselundupkan ke kediaman Haniyeh sejak dua bulan lalu dan diledakkan dari jarak jauh, sebagaimana dilaporkan New York Times yang mengutip lima pejabat Timur Tengah.
Versi kedua adalah rudal jarak pendek yang ditembakkan ke kediaman Haniyeh, sebagaimana disampaikan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran.
Haniyeh lahir pada 23 Januari 1962 di kamp pengungsi Shati di Jalur Gaza. Keluarganya berasal dari desa Al-Jura, dekat kota Asqalan, yang sebagian besar hancur dan sepenuhnya dibersihkan secara etnis selama Nakba pada tahun 1948.
Haniyeh menyelesaikan pendidikan awalnya di sekolah-sekolah Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNRWA) dan lulus dari Institut Al-Azhar sebelum memperoleh gelar BA dalam Sastra Arab dari Universitas Islam Gaza pada tahun 1987.
Selama masa kuliahnya, dia aktif di Dewan Serikat Mahasiswa dan kemudian memegang berbagai posisi di Universitas Islam, akhirnya menjadi dekannya pada tahun 1992.
Setelah dibebaskan dari penjara Israel pada tahun 1997, Haniyeh menjadi kepala kantor Sheikh Ahmed Yassin—salah satu pendiri Hamas.
Pengalaman politik Haniyeh mencakup beberapa penangkapan oleh otoritas Israel selama Intifada Pertama, dengan tuduhan terkait keterlibatannya dengan gerakan Perlawanan Palestina; Hamas.
Dia diasingkan ke Lebanon selatan pada tahun 1992 tetapi kembali ke Gaza setelah Perjanjian Oslo.
Haniyeh memimpin “Change and Reform List”, yang memenangkan suara mayoritas dalam pemilihan Dewan Legislatif Palestina tahun 2006, yang menyebabkan pengangkatannya sebagai kepala pemerintahan Palestina pada bulan Februari 2006.
Dia kemudian berperan dalam upaya rekonsiliasi nasional, yang berujung pada pembentukan pemerintahan persatuan pada bulan Juni 2014.
Haniyeh terpilih sebagai kepala biro politik Hamas pada bulan Mei 2017.
Pada 7 Oktober 2023, Brigade al-Qassam, yang dipimpin oleh Mohammed Deif, melancarkan operasi Banjir al-Aqsa terhadap Israel.
Dalam perang genosida Israel yang terjadi setelahnya, Haniyeh menderita kerugian pribadi, termasuk terbunuhnya beberapa anggota keluarga akibat serangan udara Israel.
Setelah kematian mereka, Haniyeh menyatakan: “Darah anak-anakku tidak lebih berharga daripada darah anak-anak rakyat Palestina. Semua martir Palestina adalah anak-anakku.”
“Melalui darah para martir dan penderitaan mereka yang terluka, kita ciptakan harapan, kita ciptakan masa depan, kita ciptakan kemerdekaan dan kebebasan bagi rakyat kita,” lanjut dia.
“Allah yang menghidupkan dan mematikan. Dan Allah Maha Mengetahui segala perbuatan…” kata Haniyeh dalam bahasa Arab pada Selasa atau menjelang pembunuhannya. Yang diucapkan Haniyeh itu merupakan penggalan dari Al-Qur’an Surah Ali Imran Ayat 156.
“Jika seorang pemimpin pergi, pemimpin lain akan bangkit,” lanjut Haniyeh dalam pidatonya untuk Khamenei yang disiarkan televisi, sebagaimana dikutip Reuters, Minggu (4/8/2024).
Hanya beberapa jam kemudian, pada Rabu (31/7/2024) sekitar pukul 02.00 dini hari, dia meninggal dalam serangan di sebuah wisma tamu di Teheran yang menjadi kediamannya.
Hamas dan Iran menuduh Israel sebagai pelaku pembunuhan Haniyeh. Namun Israel belum mengaku maupun menyangkal sebagai pihak yang membunuh pemimpin Hamas tersebut.
Ada dua versi tentang serangan yang menewaskan Haniyeh. Versi pertama adalah sebuah bom diselundupkan ke kediaman Haniyeh sejak dua bulan lalu dan diledakkan dari jarak jauh, sebagaimana dilaporkan New York Times yang mengutip lima pejabat Timur Tengah.
Versi kedua adalah rudal jarak pendek yang ditembakkan ke kediaman Haniyeh, sebagaimana disampaikan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran.
Haniyeh lahir pada 23 Januari 1962 di kamp pengungsi Shati di Jalur Gaza. Keluarganya berasal dari desa Al-Jura, dekat kota Asqalan, yang sebagian besar hancur dan sepenuhnya dibersihkan secara etnis selama Nakba pada tahun 1948.
Haniyeh menyelesaikan pendidikan awalnya di sekolah-sekolah Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNRWA) dan lulus dari Institut Al-Azhar sebelum memperoleh gelar BA dalam Sastra Arab dari Universitas Islam Gaza pada tahun 1987.
Selama masa kuliahnya, dia aktif di Dewan Serikat Mahasiswa dan kemudian memegang berbagai posisi di Universitas Islam, akhirnya menjadi dekannya pada tahun 1992.
Setelah dibebaskan dari penjara Israel pada tahun 1997, Haniyeh menjadi kepala kantor Sheikh Ahmed Yassin—salah satu pendiri Hamas.
Pengalaman politik Haniyeh mencakup beberapa penangkapan oleh otoritas Israel selama Intifada Pertama, dengan tuduhan terkait keterlibatannya dengan gerakan Perlawanan Palestina; Hamas.
Dia diasingkan ke Lebanon selatan pada tahun 1992 tetapi kembali ke Gaza setelah Perjanjian Oslo.
Haniyeh memimpin “Change and Reform List”, yang memenangkan suara mayoritas dalam pemilihan Dewan Legislatif Palestina tahun 2006, yang menyebabkan pengangkatannya sebagai kepala pemerintahan Palestina pada bulan Februari 2006.
Dia kemudian berperan dalam upaya rekonsiliasi nasional, yang berujung pada pembentukan pemerintahan persatuan pada bulan Juni 2014.
Haniyeh terpilih sebagai kepala biro politik Hamas pada bulan Mei 2017.
Pada 7 Oktober 2023, Brigade al-Qassam, yang dipimpin oleh Mohammed Deif, melancarkan operasi Banjir al-Aqsa terhadap Israel.
Dalam perang genosida Israel yang terjadi setelahnya, Haniyeh menderita kerugian pribadi, termasuk terbunuhnya beberapa anggota keluarga akibat serangan udara Israel.
Setelah kematian mereka, Haniyeh menyatakan: “Darah anak-anakku tidak lebih berharga daripada darah anak-anak rakyat Palestina. Semua martir Palestina adalah anak-anakku.”
“Melalui darah para martir dan penderitaan mereka yang terluka, kita ciptakan harapan, kita ciptakan masa depan, kita ciptakan kemerdekaan dan kebebasan bagi rakyat kita,” lanjut dia.
(mas)