Warga Selandia Baru Serahkan Lebih 10.000 Pucuk Senjata

Senin, 22 Juli 2019 - 08:14 WIB
Warga Selandia Baru Serahkan Lebih 10.000 Pucuk Senjata
Warga Selandia Baru Serahkan Lebih 10.000 Pucuk Senjata
A A A
SYDNEY - Warga Selandia Baru menyerahkan lebih dari 10.000 senjata, suku cadang, dan aksesori senjata dalam pekan pertama program pembelian kembali oleh pemerintah. Kebijakan pembelian kembali senjata itu diambil setelah penembakan massal terburuk di Selandia Baru yang menewaskan 51 orang. Data terbaru jumlah persenjataan yang diserahkan warga itu dirilis kemarin.

Undang-undang reformasi senjata yang disahkan April lalu melarang sebagian besar senjata semiotomatis, suku cadang yang bisa mengubah senjata api menjadi semiotomatis, magazin dengan kapasitas tertentu, dan beberapa senapan berburu. Para pemilik senjata mendapat waktu hingga 20 Desember untuk menyerahkan senjata mereka dan pemerintah menyediakan anggaran hingga 95% dari harga pembelian senjata itu.

Pembelian kembali senjata itu dilakukan empat bulan setelah seorang pria menggunakan senjata semi-otomatis untuk menyerang jamaah yang sedang salat Jumat di Christchurch, Pulau Selatan Selandia Baru. Lebih dari 2.000 orang telah menyerahkan 3.275 senjata api, 7.827 suku cadang, dan aksesori senjata.

“Sebagai gantinya, otoritas telah membayar pada mereka lebih dari USD4,06 juta sejak program itu dimulai pada Sabtu (20/7) lalu,” ungkap juru bicara kepolisian Selandia Baru pada Reuters melalui telepon, kemarin. Kepolisian menyatakan senang dengan tingkat partisipasi warga kemarin saat 648 orang menyerahkan 1.061 senjata, 3.397 suku cadang, dan aksesori dalam berbagai kegiatan yang digelar di penjuru Selandia Baru.

Kepala Kepolisian Karyn Malthus menyatakan ratusan senjata api telah diserahkan di Auckland. “Masukan dari para pemilik senjata di acara itu sangat positif,” kata dia. Media melaporkan bahwa warga Christchurch tidak senang dengan usulan pembukaan toko besar Gun City di kota itu. Kehadiran toko senjata itu dianggap menambah risiko bagi terjadinya kekerasan bersenjata di kota tersebut.

“Brenton Tarrant yang dituduh dalam pembunuhan massal pada 15 Maret itu membeli empat senjata dan amunisi dari toko online jaringan Gun City sejak Desember 2017 hingga Maret 2018,” ujar pemilik toko online David Tippel pada Maret lalu. Brenton Tarrant akan diadili pada Mei dan menyatakan tidak bersalah pada 92 dakwaan dalam serangan itu. Kasus itu pun menjadi dakwaan terorisme pertama di Selandia Baru.

“Dengan populasi hanya di bawah 5 juta jiwa dan kepemilikan senjata sebanyak 1,5 juta senapan api, Selandia Baru masuk rangking ke-17 di dunia dalam kepemilikan senjata,” kata data Small Arms Survey. Menteri Keuangan (Menkeu) Selandia Baru Grant Robertson dan Menteri Kepolisian Stuart Nash menjelaskan, dana USD135,97 juta telah dianggarkan untuk program pembelian kembali senjata milik warga.

Warga memiliki waktu hingga 20 Desember untuk menyerahkan senjata itu. “Kepolisian telah merinci berbagai rencana untuk langkah selanjutnya, untuk mengumpulkan senjata itu dari masyarakat. Ini akan menjadi latihan logistik besar dan diperkirakan berlangsung dalam pertengahan Juli,” kata Nash dilansir Reuters.

Parlemen telah menyetujui undang-undang (UU) senjata dengan voting 119 suara mendukung dibandingkan 1 suara menolak pada April lalu. Perubahan UU senjata itu merupakan pertama kali dalam puluhan tahun. Voting perubahan UU tersebut dilakukan kurang dari sebulan setelah penembakan massal di Christchurch.

UU baru itu melarang sirkulasi dan penggunaan sebagian besar senjata semiotomatis, suku cadang yang mengubah senjata menjadi senjata semiotomatis, magazin dengan kapasitas tertentu, dan beberapa senapan. UU senjata telah memberi standar lisensi senjata kategori A mencakup semiotomatis terbatas pada tujuh tembakan.

Kepolisian memperkirakan sekitar 14.300 senjata semiotomatis ala militer akan dicakup dalam UU baru, meski pemerintah menyatakan sulit memprediksi jumlah pastinya. Hampir 700 senjata telah diserahkan sebelum program kompensasi itu diluncurkan dan hampir 5.000 senjata telah didaftarkan pemiliknya pada kepolisian saat mereka menunggu pengumpulan.

“Ada ketidakpastian yang tinggi terkait biaya, kurangnya informasi untuk sejumlah barang yang dilarang, tipe, dan kondisinya,” ungkap Menkeu Robertson yang menambahkan, perkiraan lebih baik untuk total biaya yang akan dikeluarkan pemerintah bisa dilakukan saat pembelian dan pemerintah akan menambah jumlah dana jika diperlukan. Pemerintah juga telah mulai bekerja untuk amandemen UU senjata kedua untuk menangani berbagai isu terkait pendaftaran senjata dan lainnya
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3451 seconds (0.1#10.140)