China Diduga Gunakan Pengaruhnya dalam Menyabotase KTT Perdamaian Ukraina
loading...
A
A
A
BURGENSTOCK - Dalam skenario geopolitik yang berubah cepat, China terus mengubah tujuannya perihal krisis Ukraina.
Untuk konsumsi publik, China mengatakan bahwa mereka "bersikap mendukung pembicaraan untuk perdamaian" terkait Ukraina, tetapi ketika negara Eropa Timur itu mengadakan konferensi tingkat tinggi di Swiss pada 15-16 Juni, Beijing memutuskan tidak hadir.
Pemerintah China dituduh berusaha keras mencegah sejumlah negara untuk menghadiri KTT perdamaian, dan tudingan ini dilayangkan langsung Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.
"China berusaha agar negara-negara tidak datang ke pertemuan puncak perdamaian," kata Zelensky dalam pidato di konferensi pers yang diadakan di sela-sela Shangri-la Dialogue di Singapura pada 3 Juni lalu.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, menolak tuduhan tersebut. "Kami telah menekankan pentingnya pertemuan tersebut sejak awal, dan telah berkomunikasi erat dengan Swiss, Ukraina, dan pihak-pihak terkait lainnya mengenai hal ini,” katanya.
Meski berkata demikian, Mao Ning tidak dapat menjelaskan secara detail mengapa Beijing memutuskan absen di KTT Perdamaian mengenai Ukraina di Swiss.
Sebaliknya, dia menggunakan narasi pesimistis untuk mempertahankan pendirian China, yakni bahwa KTT di Swiss akan gagal mencapai tujuannya.
"China selalu berpendapat bahwa konferensi perdamaian internasional harus memenuhi tiga elemen penting, yaitu pengakuan dari Rusia dan Ukraina, partisipasi yang setara dari semua pihak, dan pembahasan yang adil tentang semua rencana perdamaian. Jika tidak, konferensi perdamaian hampir tidak dapat memainkan peran substantif untuk memulihkan perdamaian," kata Mao Ning, seperti dikutip dari The Singapore Post, Rabu (19/6/2024).
Menteri Luar Negeri China Wang Yi membela keputusan tentang absennya Beijing. “Ada banyak pertemuan puncak di dunia saat ini. Mengenai apakah dan bagaimana cara China berpartisipasi, kami akan memutuskan secara independen sesuai posisi kami,” ujarnya.
China diyakini tidak datang ke KTT Perdamaian karena menghindari memperburuk hubungannya dengan Rusia, terutama setelah kunjungan Presiden Vladimir ke Beijing bulan lalu yang membuat hubungan kedua negara semakin erat, khususnya di sektor perdagangan.
Bahkan, sejak krisis Ukraina, perdagangan antara China dan Rusia telah melonjak berkali-kali lipat. Pada tahun 2023, perdagangan kedua negara mencapai rekor USD240 miliar, naik dari 64 persen sejak tahun 2021, menurut data Bea Cukai China.
China mengekspor barang senilai USD111 miliar ke Rusia, sementara Rusia mengekspor barang senilai USD129 miliar ke Rusia tahun lalu, imbuh Bea Cukai China.
Selain itu, yang menambah kekuatan keterlibatan ekonomi mereka adalah penggunaan mata uang mereka sendiri, bukan dolar Amerika Serikat (AS), untuk 90 persen aktivitas perdagangan. Langkah ini membantu Moskow dalam sedikit meringankan dampak dari sanksi Barat.
Sementara itu menurut Zelensky, China dapat menjadi faktor penentu perdamaian di Ukraina, dan dapat membantu Kyiv dalam mengatasi krisis. Tetapi Beijing melakukan hal sebaliknya dari apa yang diperlukan untuk perdamaian di negara Eropa Timur tersebut.
"Dengan dukungan China kepada Rusia, perang akan berlangsung lebih lama. Hal ini buruk bagi seluruh dunia dan juga kebijakan China, yang menyatakan bahwa mereka mendukung integritas dan kedaulatan teritorial," sebut Zelensky dalam konferensi pers di Shangri-la Dialogue.
Dia juga mengungkapkan ketidaksenangannya atas “kenakalan” China. Dalam pernyataannya selama konferensi pers, Zelensky mengatakan bahwa dia telah melakukan panggilan telepon dengan Presiden China Xi Jinping setahun lalu.
Setelah itu, Ukraina berupaya bertemu dengan pejabat China di semua tingkatan, tetapi hal ini tidak dikabulkan Beijing. Zelensky lebih lanjut mengeluh bahwa dia belum bisa bertemu dengan pejabat China, meski mereka sama-sama menghadiri Shangri-La Dialogue di Singapura.
KTT Perdamaian di resor Burgenstock, Swiss, berfokus pada konflik Ukraina, termasuk di bidang keamanan nuklir, keamanan pangan, pembebasan tawanan perang, pemulihan integritas teritorial Ukraina, dan penarikan pasukan Rusia.
Kecuali Rusia, Swiss telah mengundang 160 negara dan organisasi untuk menghadiri KTT Perdamaian tersebut.
Kekhawatiran Ukraina terhadap China tidak hanya berasal dari nilai perdagangannya yang besar dengan Rusia yang mendorong pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan meski terkena ada sanksi.
Kekhawatiran lain adalah terkait dugaan pendekatan China untuk mencegah negara-negara lain untuk menghadiri KTT Perdamaian di Swiss.
Arab Saudi, menurut kantor berita Jerman DPA, telah memutuskan untuk tidak menghadiri pertemuan di Swiss. Pada awal Agustus 2023, Arab Saudi telah menjadi tuan rumah pertemuan puncak internasional di Jeddah mengenai krisis Ukraina.
Perwakilan dari 40 negara telah menghadiri pertemuan di negara Teluk tersebut, walau tidak menghasilkan terobosan apa pun dalam membawa perdamaian ke Ukraina. Mengingat hal ini, keputusan Arab Saudi untuk absen telah menjadi kejutan besar bagi penyelenggara KTT Perdamaian di Swiss.
Pakistan dan Brasil telah menarik diri dari pertemuan puncak perdamaian, begitu juga dengan beberapa negara Asia Tenggara.
Dari Afrika, Cape Verde setuju menghadiri pertemuan puncak, sementara Afrika Selatan telah menyampaikan ketidakmampuannya untuk bergabung.
China telah membantah mengambil peran dalam memengaruhi sejumlah negara terkait partisipasi mereka di KTT Perdamaian di Swiss.
Para ahli mengatakan betapapun kerasnya upaya China dalam menjelaskan posisinya terhadap Ukraina, keputusan sejumlah negara yang memilih tidak hadir di Swiss membayang-bayangi kenetralan Beijing.
Sejumlah negara begitu dekat dengan China, dan sulit untuk percaya bahwa Beijing tidak memainkan peran apa pun dalam memengaruhi keputusan mereka.
Sejumlah pengamat isu China melihat hal ini dari sudut pandang berbeda. Mereka mengatakan Beijing cenderung tidak ingin perang di Ukraina berakhir dengan cepat.
Perang Rusia-Ukraina diyakini akan tetap membuat Barat “sibuk” menjaga keamanan kawasan, sehingga tidak akan terlalu fokus pada Indo-Pasifik di mana China bersiap untuk merebut paksa Taiwan dan menguasai seluruh Laut China Selatan.
Untuk konsumsi publik, China mengatakan bahwa mereka "bersikap mendukung pembicaraan untuk perdamaian" terkait Ukraina, tetapi ketika negara Eropa Timur itu mengadakan konferensi tingkat tinggi di Swiss pada 15-16 Juni, Beijing memutuskan tidak hadir.
Pemerintah China dituduh berusaha keras mencegah sejumlah negara untuk menghadiri KTT perdamaian, dan tudingan ini dilayangkan langsung Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.
"China berusaha agar negara-negara tidak datang ke pertemuan puncak perdamaian," kata Zelensky dalam pidato di konferensi pers yang diadakan di sela-sela Shangri-la Dialogue di Singapura pada 3 Juni lalu.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, menolak tuduhan tersebut. "Kami telah menekankan pentingnya pertemuan tersebut sejak awal, dan telah berkomunikasi erat dengan Swiss, Ukraina, dan pihak-pihak terkait lainnya mengenai hal ini,” katanya.
Meski berkata demikian, Mao Ning tidak dapat menjelaskan secara detail mengapa Beijing memutuskan absen di KTT Perdamaian mengenai Ukraina di Swiss.
Sebaliknya, dia menggunakan narasi pesimistis untuk mempertahankan pendirian China, yakni bahwa KTT di Swiss akan gagal mencapai tujuannya.
"China selalu berpendapat bahwa konferensi perdamaian internasional harus memenuhi tiga elemen penting, yaitu pengakuan dari Rusia dan Ukraina, partisipasi yang setara dari semua pihak, dan pembahasan yang adil tentang semua rencana perdamaian. Jika tidak, konferensi perdamaian hampir tidak dapat memainkan peran substantif untuk memulihkan perdamaian," kata Mao Ning, seperti dikutip dari The Singapore Post, Rabu (19/6/2024).
Menteri Luar Negeri China Wang Yi membela keputusan tentang absennya Beijing. “Ada banyak pertemuan puncak di dunia saat ini. Mengenai apakah dan bagaimana cara China berpartisipasi, kami akan memutuskan secara independen sesuai posisi kami,” ujarnya.
Hubungan China-Rusia
China diyakini tidak datang ke KTT Perdamaian karena menghindari memperburuk hubungannya dengan Rusia, terutama setelah kunjungan Presiden Vladimir ke Beijing bulan lalu yang membuat hubungan kedua negara semakin erat, khususnya di sektor perdagangan.
Bahkan, sejak krisis Ukraina, perdagangan antara China dan Rusia telah melonjak berkali-kali lipat. Pada tahun 2023, perdagangan kedua negara mencapai rekor USD240 miliar, naik dari 64 persen sejak tahun 2021, menurut data Bea Cukai China.
China mengekspor barang senilai USD111 miliar ke Rusia, sementara Rusia mengekspor barang senilai USD129 miliar ke Rusia tahun lalu, imbuh Bea Cukai China.
Selain itu, yang menambah kekuatan keterlibatan ekonomi mereka adalah penggunaan mata uang mereka sendiri, bukan dolar Amerika Serikat (AS), untuk 90 persen aktivitas perdagangan. Langkah ini membantu Moskow dalam sedikit meringankan dampak dari sanksi Barat.
Sementara itu menurut Zelensky, China dapat menjadi faktor penentu perdamaian di Ukraina, dan dapat membantu Kyiv dalam mengatasi krisis. Tetapi Beijing melakukan hal sebaliknya dari apa yang diperlukan untuk perdamaian di negara Eropa Timur tersebut.
"Dengan dukungan China kepada Rusia, perang akan berlangsung lebih lama. Hal ini buruk bagi seluruh dunia dan juga kebijakan China, yang menyatakan bahwa mereka mendukung integritas dan kedaulatan teritorial," sebut Zelensky dalam konferensi pers di Shangri-la Dialogue.
Dia juga mengungkapkan ketidaksenangannya atas “kenakalan” China. Dalam pernyataannya selama konferensi pers, Zelensky mengatakan bahwa dia telah melakukan panggilan telepon dengan Presiden China Xi Jinping setahun lalu.
Setelah itu, Ukraina berupaya bertemu dengan pejabat China di semua tingkatan, tetapi hal ini tidak dikabulkan Beijing. Zelensky lebih lanjut mengeluh bahwa dia belum bisa bertemu dengan pejabat China, meski mereka sama-sama menghadiri Shangri-La Dialogue di Singapura.
KTT Perdamaian di resor Burgenstock, Swiss, berfokus pada konflik Ukraina, termasuk di bidang keamanan nuklir, keamanan pangan, pembebasan tawanan perang, pemulihan integritas teritorial Ukraina, dan penarikan pasukan Rusia.
Kecuali Rusia, Swiss telah mengundang 160 negara dan organisasi untuk menghadiri KTT Perdamaian tersebut.
Pengaruh China
Kekhawatiran Ukraina terhadap China tidak hanya berasal dari nilai perdagangannya yang besar dengan Rusia yang mendorong pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan meski terkena ada sanksi.
Kekhawatiran lain adalah terkait dugaan pendekatan China untuk mencegah negara-negara lain untuk menghadiri KTT Perdamaian di Swiss.
Arab Saudi, menurut kantor berita Jerman DPA, telah memutuskan untuk tidak menghadiri pertemuan di Swiss. Pada awal Agustus 2023, Arab Saudi telah menjadi tuan rumah pertemuan puncak internasional di Jeddah mengenai krisis Ukraina.
Perwakilan dari 40 negara telah menghadiri pertemuan di negara Teluk tersebut, walau tidak menghasilkan terobosan apa pun dalam membawa perdamaian ke Ukraina. Mengingat hal ini, keputusan Arab Saudi untuk absen telah menjadi kejutan besar bagi penyelenggara KTT Perdamaian di Swiss.
Pakistan dan Brasil telah menarik diri dari pertemuan puncak perdamaian, begitu juga dengan beberapa negara Asia Tenggara.
Dari Afrika, Cape Verde setuju menghadiri pertemuan puncak, sementara Afrika Selatan telah menyampaikan ketidakmampuannya untuk bergabung.
China telah membantah mengambil peran dalam memengaruhi sejumlah negara terkait partisipasi mereka di KTT Perdamaian di Swiss.
Para ahli mengatakan betapapun kerasnya upaya China dalam menjelaskan posisinya terhadap Ukraina, keputusan sejumlah negara yang memilih tidak hadir di Swiss membayang-bayangi kenetralan Beijing.
Sejumlah negara begitu dekat dengan China, dan sulit untuk percaya bahwa Beijing tidak memainkan peran apa pun dalam memengaruhi keputusan mereka.
Sejumlah pengamat isu China melihat hal ini dari sudut pandang berbeda. Mereka mengatakan Beijing cenderung tidak ingin perang di Ukraina berakhir dengan cepat.
Perang Rusia-Ukraina diyakini akan tetap membuat Barat “sibuk” menjaga keamanan kawasan, sehingga tidak akan terlalu fokus pada Indo-Pasifik di mana China bersiap untuk merebut paksa Taiwan dan menguasai seluruh Laut China Selatan.
(mas)