14 Aktivis Didakwa di Hong Kong, Bentuk Penghinaan China terhadap Demokrasi

Sabtu, 08 Juni 2024 - 10:01 WIB
loading...
14 Aktivis Didakwa di...
Sebanyak 14 aktivis pro-demokrasi didakwa di pengadilan Hong Kong. Kelompok HAM menyebutnya sebagai bentuk penghinaan China terhadap demokrasi. Foto/Kyle Lam/HKFP
A A A
HONG KONG - Niat China untuk memberlakukan Undang-Undang Keamanan Nasional yang kontroversial di Hong Kong kembali menjadi jelas setelah kota semi-otonom itu mempidanakan 14 aktivis dalam sebuah persidangan keamanan nasional terbesar di sana.

Baru-baru ini, pengadilan Hong Kong telah mendakwa 14 aktivis pro-demokrasi dan mantan pejabat terpilih, termasuk seorang warga negara Australia.

Mereka didakwa berdasarkan Undang-Undang Keamanan Nasional yang diberlakukan China pada 2020 untuk menghukum kritikus dan membungkam para pembangkang seperti yang telah dijelaskan oleh sejumlah kelompok hak asasi manusia (HAM).

Menurut laporan The Epoch Times dan dikutip The Hong Kong Post, Sabtu (8/6/2024), para aktivis didakwa dengan "konspirasi melakukan subversi”.

Banyak orang, termasuk mantan politisi terpilih, pemimpin aksi protes, organisator buruh dan akademisi, yang berusia antara 26 hingga 68 tahun, telah mendekam di tahanan praperadilan Hong Kong sejak penangkapan mereka pada Januari 2021.



Sebelumnya, 31 terdakwa telah mengaku bersalah, berharap hukuman mereka bisa menjadi lebih ringan, menurut sejumlah laporan.

The Epoch Times juga melaporkan bahwa jaksa penuntut menyebut lima terdakwa sebagai "penggerak utama”, yang menunjukkan kemungkinan hukuman berat hingga penjara seumur hidup.

Dari kelima terdakwa, hanya satu yang mengaku tidak bersalah dan kemudian dihukum, sementara satu lainnya mengaku bersalah. Tiga orang memutuskan menjadi saksi dengan imbalan hukuman yang lebih ringan, dan dua mantan anggota dewan distrik telah dibebaskan, menurut laporan The Epoch Times.

Menurut beberapa laporan, para terdakwa disebut telah membantu mengorganisir atau menjadi kandidat dalam jajak pendapat publik informal Juli 2020—yang secara efektif merupakan pemilihan pendahuluan tidak resmi—untuk memilih kandidat pro-demokrasi dalam pemilu legislatif.

Demokrasi dan HAM


Dalam putusannya, pengadilan Hong Kong mengatakan bahwa rencana para terdakwa merupakan "campur tangan serius, gangguan, atau merusak pelaksanaan tugas dan fungsi" pemerintah dengan "cara yang melanggar hukum”, yang merupakan "subversi negara”.

Para hakim juga menyebut bahwa "cara-cara yang melanggar hukum" tidak terbatas pada tindakan kriminal.

Kelompok HAM global, termasuk Human Rights Watch (HRW) dan Amnesty International, telah mengkritik keras tindakan Hong Kong berdasarkan Undang-Undang Keamanan Nasional, yang telah digunakan China untuk menindak kebebasan Hong Kong dan memicu aksi protes massa di kota tersebut serta menuai kritik internasional.

Badan-badan HAM internasional menuduh ketiga hakim di persidangan tersebut telah "dipilih langsung kepala eksekutif Hong Kong yang dikendalikan Beijing”.



Menggambarkan penuntutan terhadap seorang warga negara Australia di bawah Undang-Undang Keamanan Nasional, HRW mengatakan pihak berwenang Hong Kong telah melanggar standar proses hukum internasional, termasuk penahanan praperadilan berkepanjangan dan penolakan pengadilan.

Otoritas Hong Kong juga berulang kali menolak akses bantuan konsuler terhadap warga negara Australia tersebut, sebagaimana diwajibkan hukum internasional.

HRW meminta pemerintah Australia untuk bergabung dengan Amerika Serikat, yang hingga saat ini merupakan satu-satunya negara yang telah menjatuhkan sanksi yang ditargetkan kepada sejumlah pejabat China dan Hong Kong setelah pemberlakuan Undang-Undang Keamanan Nasional.

Mengomentari masalah tersebut, Direktur HRW China, Maya Wang, mengatakan, "Pemerintah di seluruh dunia harus mendukung mereka yang berdiri teguh di garis depan Hong Kong dalam memperjuangkan demokrasi dan HAM.”

"Pengadilan massal di Hong Kong mengungkap penghinaan total Beijing terhadap kebebasan fundamental dan proses politik yang demokratis," ujar Maya Wang.

"Pemerintah Hong Kong perlu membatalkan hukuman para aktivis ini dan memenuhi kewajiban hukum mereka demi melindungi hak-hak rakyat Hong Kong, termasuk hak mereka untuk memilih pemerintah secara bebas," imbuh dia.

Sistem Peradilan Hong Kong


Direktur Amnesty International di China, Sarah Brooks, memperingatkan bahwa hukuman massal yang belum pernah terjadi sebelumnya ini adalah ilustrasi paling kejam tentang bagaimana Undang-Undang Keamanan Nasional Hong Kong dijadikan senjata untuk membungkam perbedaan pendapat.

"Ini merupakan pembersihan yang hampir total dari oposisi politik dan menyoroti disintegrasi cepat HAM di Hong Kong," kata Brooks, seraya menambahkan bahwa hukuman ini juga mengirimkan “pesan mengerikan” kepada siapa pun di Hong Kong yang menentang tindakan pemerintah: "Diam saja, atau hadapi penjara."

Sementara itu, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) AS mengatakan bahwa Washington sangat prihatin dengan "putusan bersalah" yang diumumkan dalam persidangan Undang-Undang Keamanan Nasional terhadap para penyelenggara pro-demokrasi di Hong Kong.

Kemlu AS juga mengatakan bahwa pihaknya mengambil langkah-langkah untuk memberlakukan pembatasan visa baru terhadap para pejabat China dan Hong Kong yang bertanggung jawab menerapkan Undang-Undang Keamanan Nasional, sesuai dengan Pasal 212(a)(3)(C) Undang-Undang Imigrasi dan Kewarganegaraan.

"Para terdakwa menjadi sasaran penuntutan bermotif politik dan dipenjara hanya karena berpartisipasi secara damai dalam kegiatan politik yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang Dasar Hong Kong," kata Kemlu AS.

"Alih-alih menjatuhkan hukuman berat yang akan semakin mengikis kepercayaan terhadap sistem peradilan Hong Kong, otoritas Hong Kong seharusnya segera membebaskan orang-orang yang ditahan secara tidak adil ini," imbuh Kemlu AS.
(mas)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2253 seconds (0.1#10.140)