AS Tak Kesampingkan untuk Lakukan Serangan Nuklir Pertama
A
A
A
WASHINGTON - Seorang pejabat Pentagon mengatakan Amerika Serikat (AS) tetap memegang hak untuk melakukan serangan nuklir pertama dalam menanggapi serangan senjata konvensional musuh. Pentagon berniat meninggalkan kebijakan "no-first-use" (bukan pengguna pertama) senjata nuklir.
Wakil Menteri Pertahanan David Trachtenberg mengatakan menerapkan kebijakan "no-first-use" akan merusak kepercayaan sekutu AS terhadap tekad Washington untuk datang melindungi mereka. Kebijakan seperti itu diartikan Pentagon akan memaksa para sekutu Washington untuk membuat senjata nuklir sendiri.
Trachtenberg menyampaikan sikap Pentagon tersebut dalam audiensi di hadapan Komite Layanan Angkatan Bersenjata Parlemen hari Kamis (28/3/2019). Tanpa kebijakan "no-first-use", berarti AS dapat membom musuh-musuhnya dengan senjata nuklir dalam keadaan ekstrem.
Menurut Trachtenberg, Amerika Serikat telah puluhan tahun mempertahankan kebijakan "ambiguitas konstruktif" mengenai penggunaan senjata nuklir, yang telah menghalangi agresi nuklir terhadap musuh potensial.
"Suatu kebijakan 'no-first-use' akan melemahkan AS untuk mencegah dan merusak kepercayaan aliansi kita karena itu akan mempertanyakan kepastian bahwa Amerika Serikat akan datang untuk membela sekutu dalam keadaan ekstrem," kata Trachtenberg, dalam transkrip yang diterbitkan di situs web komite, seperti dikutip Sputnik, Jumat (29/3/2019).
Dia juga menunjukkan bahwa, jika AS menerapkan kebijakan itu, sekutunya mungkin merasa perlu untuk mengembangkan dan mengerahkan pasukan nuklir mereka sendiri, sehingga merusak tujuan nonproliferasi AS.
Saat ini, di antara sekutu AS, hanya Prancis dan Inggris yang memiliki senjata nuklir sendiri. Israel diyakini memiliki senjata nuklir, tetapi belum pernah secara resmi mengakuinya. Belgia, Jerman, Italia, Belanda, dan Turki adalah bagian dari program berbagi nuklir NATO.
Di bawah kebijakan saat ini, AS akan menggunakan senjata nuklir hanya dalam keadaan ekstrem untuk membela kepentingan vital Amerika Serikat, sekutu dan mitra. "Keadaan ekstrem itu termasuk serangan strategis non-nuklir yang signifikan terhadap AS, sekutu atau mitra baik populasi atau infrastruktur sipil, pasukan nuklir, komando dan kontrol atau pun peringatan dan kemampuan penilaian serangan," kata Trachtenberg, mengutip Nuclear Posture Review (NPR) atau Tinjauan Postur Nuklir 2018 yang diterbitkan Departemen Pertahanan AS.
Wakil Menteri Pertahanan David Trachtenberg mengatakan menerapkan kebijakan "no-first-use" akan merusak kepercayaan sekutu AS terhadap tekad Washington untuk datang melindungi mereka. Kebijakan seperti itu diartikan Pentagon akan memaksa para sekutu Washington untuk membuat senjata nuklir sendiri.
Trachtenberg menyampaikan sikap Pentagon tersebut dalam audiensi di hadapan Komite Layanan Angkatan Bersenjata Parlemen hari Kamis (28/3/2019). Tanpa kebijakan "no-first-use", berarti AS dapat membom musuh-musuhnya dengan senjata nuklir dalam keadaan ekstrem.
Menurut Trachtenberg, Amerika Serikat telah puluhan tahun mempertahankan kebijakan "ambiguitas konstruktif" mengenai penggunaan senjata nuklir, yang telah menghalangi agresi nuklir terhadap musuh potensial.
"Suatu kebijakan 'no-first-use' akan melemahkan AS untuk mencegah dan merusak kepercayaan aliansi kita karena itu akan mempertanyakan kepastian bahwa Amerika Serikat akan datang untuk membela sekutu dalam keadaan ekstrem," kata Trachtenberg, dalam transkrip yang diterbitkan di situs web komite, seperti dikutip Sputnik, Jumat (29/3/2019).
Dia juga menunjukkan bahwa, jika AS menerapkan kebijakan itu, sekutunya mungkin merasa perlu untuk mengembangkan dan mengerahkan pasukan nuklir mereka sendiri, sehingga merusak tujuan nonproliferasi AS.
Saat ini, di antara sekutu AS, hanya Prancis dan Inggris yang memiliki senjata nuklir sendiri. Israel diyakini memiliki senjata nuklir, tetapi belum pernah secara resmi mengakuinya. Belgia, Jerman, Italia, Belanda, dan Turki adalah bagian dari program berbagi nuklir NATO.
Di bawah kebijakan saat ini, AS akan menggunakan senjata nuklir hanya dalam keadaan ekstrem untuk membela kepentingan vital Amerika Serikat, sekutu dan mitra. "Keadaan ekstrem itu termasuk serangan strategis non-nuklir yang signifikan terhadap AS, sekutu atau mitra baik populasi atau infrastruktur sipil, pasukan nuklir, komando dan kontrol atau pun peringatan dan kemampuan penilaian serangan," kata Trachtenberg, mengutip Nuclear Posture Review (NPR) atau Tinjauan Postur Nuklir 2018 yang diterbitkan Departemen Pertahanan AS.
(mas)