Mesir Marah dengan Dermaga Terapung yang Dibangun AS di Gaza

Rabu, 29 Mei 2024 - 09:45 WIB
loading...
Mesir Marah dengan Dermaga...
Truk membawa bantuan kemanusiaan melintasi Dermaga Trident, dermaga sementara untuk mengirimkan bantuan, di lepas pantai Jalur Gaza, 19 Mei 2024. Foto/U.S. Army Central/REUTERS
A A A
KAIRO - Media Israel mengklaim Mesir marah atas dermaga terapung yang dibangun Amerika Serikat (AS) di lepas pantai Jalur Gaza.

Perusahaan Penyiaran Israel mengatakan, “Mesir melihat dermaga Amerika sebagai ancaman langsung bagi mereka.”

Menurut laporan itu, “Mesir khawatir dermaga baru akan menjadi koridor komersial utama Gaza, dan ini sangat mengkhawatirkan mereka. Mereka takut dermaga itu nantinya juga digunakan untuk penyeberangan orang.”

“Langkah seperti itu akan menyebabkan kerusakan ekonomi yang lebih serius di Kairo,” papar laporan itu.

Laporan itu mencatat, “Israel dan Mesir berusaha menjembatani kesenjangan di antara mereka untuk mencapai pemahaman tentang aktivitas Penyeberangan Rafah.”

Channel 2 Israel melaporkan, “Sejak awal perang, Mesir telah menjadi pusat badai, karena secara geografis dekat dengan Gaza, dan berbatasan dengannya. Mereka khawatir akan migrasi atau deportasi warga Palestina dari Gaza ke Sinai, yang menimbulkan ancaman keamanan dan kemanusiaan bagi mereka.”

Disebutkan bahwa terdapat permasalahan ekonomi akibat penurunan signifikan pendapatan lalu lintas maritim dari Terusan Suez, akibat serangan Houthi di Selat Bab Al-Mandab, penurunan pariwisata, penurunan pendapatan gas, dan meluasnya perang, yang menyebabkan kenaikan harga.



Saluran tersebut mengkonfirmasi Israel dan Mesir sejauh ini telah berhasil mengatasi hambatan. Meski demikian, hubungan kedua negara memanas karena operasi militer Israel di Rafah.

Sebelumnya dilaporkan, perusahaan milik pengusaha berpengaruh Mesir dan sekutu Presiden Abdel Fattah el-Sisi menghasilkan sekitar USD2 juta (Rp32 miliar) per hari dari warga Palestina yang melarikan diri dari perang Israel di Gaza.

Kabar itu diungkap Middle East Eye (MEE) di tengah genosida yang dilakukan Israel di Jalur Gaza.

Hala Consulting and Tourism Services, perusahaan yang dimiliki pemimpin suku Sinai dan taipan bisnis Ibrahim al-Organi, telah membebankan biaya kepada warga Palestina yang menyeberang dari Rafah Gaza ke Mesir setidaknya USD5.000 per orang dewasa dan USD2.500 untuk anak-anak di bawah 16 tahun.

Mereka memonopoli penyediaan layanan transfer di penyeberangan Rafah, satu-satunya pintu keluar Gaza yang tidak berbatasan dengan Israel dan satu-satunya rute keluar dari wilayah pesisir bagi warga Palestina.

Dalam tiga bulan terakhir saja, perusahaan tersebut diperkirakan telah menghasilkan minimal USD118 juta, atau 5,6 miliar pound Mesir, dari warga Palestina yang putus asa yang berusaha meninggalkan Gaza yang dilanda perang.

Meskipun media internasional mengawasi Hala dan Organi dalam beberapa bulan terakhir, termasuk sejumlah laporan Middle East Eye, perusahaan tersebut menggandakan keuntungannya dari warga Palestina pada bulan April, dengan rata-rata biaya harian melebihi USD2 juta.

Analisis MEE terhadap daftar wisatawan yang dipublikasikan secara online oleh Hala mengungkapkan bulan lalu perusahaan tersebut mungkin telah memperoleh setidaknya USD58 juta dari sekitar 10.136 orang dewasa dan 2.910 anak-anak yang melintasi perbatasan melalui “daftar VIP” miliknya.

Rata-rata harian sebesar USD2 juta per hari di bulan April kira-kira dua kali lipat dari perkiraan pendapatan harian di bulan Maret.

Pendapatan terbesar yang tercatat pada bulan April terjadi pada hari Selasa (30/4/2024), ketika Hala tampaknya menghasilkan setidaknya USD2,3 juta pada hari itu saja dari pengungsi Palestina.

Mesir telah berulang kali membantah tuduhan bahwa mereka mengambil keuntungan dari penderitaan rakyat Palestina.

Pada Februari, Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry membantah pemerintahnya menutup mata soal biaya transfer penyeberangan yang dikenakan Hala.

Dalam wawancara dengan Sky News, dia mengatakan, “Pemerintah sudah menyelidiki hal ini dan akan mengambil tindakan terhadap siapa pun yang terlibat dalam kegiatan tersebut.”

“Seharusnya tidak ada keuntungan yang diambil dari situasi ini untuk keuntungan moneter,” papar dia.

Namun, dua bulan kemudian, Hala terus membebankan biaya yang sangat mahal kepada warga Palestina yang melarikan diri dari perang, yang memaksa banyak orang mengatur kampanye pendanaan online untuk mengumpulkan dana yang cukup untuk mendapat keselamatan.
(sya)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1190 seconds (0.1#10.140)