Aktivitas China di Laut China Selatan Picu Kekhawatiran Krisis Lingkungan

Senin, 27 Mei 2024 - 15:11 WIB
loading...
Aktivitas China di Laut...
Aktivitas China di Scarborough Shoal, Laut China Selatan, memicu kekhawatiran krisis lingkungan. Foto/REUTERS
A A A
MANILA - Aktivitas ekstensif China di Laut China Selatan telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang mengkhawatirkan. Keanekaragaman hayati yang kaya di kawasan tersebut terancam akibat penangkapan ikan berlebihan, perubahan iklim, dan rusaknya terumbu karang.

Reklamasi lahan untuk klaim teritorial dan aktivitas menangkap kerang raksasa di Laut China Selatan telah mengakibatkan musnahnya lebih dari 500 spesies terumbu karang dengan cepat.

Krisis ekologi yang meningkat ini, yang seringkali dibayangi ketegangan geopolitik, menimbulkan ancaman jangka panjang yang parah terhadap keberlanjutan dan kesehatan Laut China Selatan. Perhatian dan tindakan internasional yang mendesak diperlukan untuk memitigasi bencana lingkungan ini.

Di Laut China Selatan, tepatnya di Scarborough Shoal, wilayah kontroversial yang berada di bawah kendali Coast Guard China, telah mengalami degradasi lingkungan oleh nelayan China, menurut tuduhan dari Pemerintah Filipina. Manila telah mendesak Beijng untuk mengizinkan pengamat internasional memeriksa Scarborough Shoal.



Dalam sebuah konferensi pers belum lama ini, Coast Guard Filipina (PCG) memperlihatkan koleksi foto satelit yang menggambarkan terumbu karang di sekitar Scarborough Shoal. Terumbu karang menunjukkan kerusakan parah, yang menurut PCG, disebabkan pencarian kerang raksasa oleh nelayan China.

Jonathan Malaya, juru bicara Keamanan Nasional Filipina, mengungkapkan keprihatinan dan kecemasan mengenai situasi yang sedang berlangsung selama konferensi pers. Dia mendesak China untuk mengizinkan para ahli dari PBB dan organisasi lingkungan hidup untuk melakukan penyelidikan mandiri mengenai asal muasal kerusakan laut.

"Ini adalah tantangan kami terhadap China. Jika mereka melihat diri mereka sebagai penjaga lingkungan, mereka harus memberikan akses kepada pengamat internasional ke Bajo de Masinloc," ujar Malaya, seperti dikutip dari CNI, Senin (27/5/2024). Bajo de Masinloc adalah nama yang digunakan Manila untuk menyebut Scarborough Shoal.

Kerusakan Terumbu Karang


Secara khusus, para pejabat Filipina menyalahkan nelayan China atas berkurangnya populasi kerang raksasa di Scarborough Shoal. Daerah ini terletak sekitar 198 kilometer dari sebelah barat Luzon, tepat di dalam Zona Ekonomi Eksklusif yang diakui secara internasional sebagai milik Filipina.

Namun, setelah perselisihan selama 10 pekan dengan Filipina pada 2012, atol segitiga tersebut berada di bawah kendali China. Sejak saat itu, Coast Guard China hampir selalu hadir di perairan dangkal tersebut selama 11 tahun terakhir.

Pemerintah China menegaskan bahwa perairan dangkal dan perairan di sekitarnya adalah "wilayah melekat”, sebagaimana dinyatakan juru bicara Kementerian Luar Negeri China tahun lalu bahwa Beijing memiliki "kedaulatan yang tidak dapat disangkal”.

Menyusul peralihan kendali ke China, Filipina menduga bahwa kapal penangkap ikan China memulai ekstraksi kerang raksasa yang berharga secara besar-besaran dari laguna tengah dangkalan tersebut. Sebuah laporan yang muncul di South China Morning Post (SCMP) pada awal 2016 menunjukkan bahwa citra satelit menunjukkan adanya jaringan parut yang disebabkan baling-baling.

Hal itu terbukti dalam foto terbaru yang menunjukkan 28 terumbu karang di gugusan pulau Spratly dan Paracel—termasuk Scarborough Shoal. Jaringan parut tersebut merupakan akibat dari pemotongan karang yang dilakukan nelayan dengan menggunakan baling-baling yang dipasang pada perahu kecil.

Dalam konferensi pers, ditampilkan beberapa foto yang menggambarkan para nelayan China terlibat dalam aktivitas memanen kerang raksasa secara besar-besaran selama beberapa tahun, seperti dilansir The Associated Press. Namun, menurut pejabat Filipina, kegiatan tersebut tampaknya telah berhenti pada Maret 2019.

"Kerang raksasa terakhir yang kami amati di Bajo de Masinloc adalah kerang raksasa tersebut," kata Komodor Jay Tarriela, juru bicara PCG. Dia menyatakan bahwa kerusakan yang terlihat pada terumbu karang adalah "bukti kelalaian yang tidak dapat disangkal. Mereka tampaknya kurang memerhatikan ekosistem laut."

Konflik Geopolitik di Laut China Selatan


Malaya mengindikasikan bahwa terdapat peningkatan kesepakatan di dalam pemerintahan untuk memulai tuntutan hukum terhadap China atas kerusakan terumbu karang dan fitur-fitur lainnya di Laut China Selatan.

Pada 2013, Manila mengajukan kasus komprehensif ke pengadilan arbitrase di Den Haag, yang menentang legitimasi klaim maritim "sembilan garis putus-putus" China di Laut China Selatan. Pengadilan tersebut sebagian besar memihak Filipina tiga tahun kemudian.

Namun, pemerintah China telah menolak keputusan tersebut dan kemungkinan juga akan menolak permintaan Manila untuk memasukkan Scarborough Shoal ke dalam pemeriksaan lingkungan maritim internasional.

Scarborough Shoal baru-baru ini muncul sebagai titik fokus dalam meningkatnya ketegangan antara China dan Filipina di Laut China Selatan. Hal ini sebagian besar disebabkan upaya CCG untuk memblokir nelayan Filipina memasuki laguna.

Pada September sebelumnya, CCG telah mendirikan pembatas terapung di pintu masuk laguna, yang kemudian dibongkar oleh PCG. Sejak kejadian itu, terjadi beberapa konfrontasi yang melibatkan kapal patroli Filipina dan kapal penangkap ikan.

Peristiwa terbaru terjadi pada 30 April, ketika kapal CCG menggunakan meriam air terhadap kapal patroli PCG dan kapal patroli perikanan, sehingga menyebabkan kerusakan besar pada keduanya.

Krisis lingkungan hidup di Laut China Selatan mempunyai implikasi geopolitik signifikan. Wilayah ini merupakan ruang geopolitik kompleks, dengan China mengeklaim hampir 90 persen wilayah laut tersebut. Hal ini menyebabkan sengketa wilayah dengan negara-negara pesisir Asia Tenggara dan meningkatkan ketegangan dengan Amerika Serikat.

Degradasi lingkungan hidup, yang sebagian besar disebabkan aktivitas China, menambah lapisan perselisihan tersebut. Hal itu mengancam penghidupan ribuan nelayan dan ketahanan pangan, sehingga berpotensi mengganggu stabilitas kawasan.

Selain itu, taktik China yang menunda negosiasi dengan ASEAN memungkinkan China untuk mengonsolidasikan kepemilikannya di Laut China Selatan, sehingga memperkuat posisinya.

Krisis ini juga berdampak pada lanskap global, menambah perselisihan dan kecurigaan yang sudah ada antara China dan negara-negara lain, serta menambah aspek baru dalam matriks konflik Laut China Selatan yang rumit. Oleh karena itu, krisis lingkungan hidup ini bukan hanya masalah ekologi, namun merupakan masalah geopolitik penting yang memerlukan perhatian dan tindakan internasional yang mendesak.
(mas)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1724 seconds (0.1#10.140)