Eks Pegawai OHCHR Ungkap Praktik Suap China di Badan-badan PBB

Kamis, 25 April 2024 - 09:45 WIB
loading...
A A A
Bukti laporan Reily menyatakan bahwa dalam kasus di mana China telah mendapat nama-nama delegasi LSM terlebih dahulu dari Sekretariat PBB, para delegasi tersebut melaporkan bahwa anggota keluarganya dikunjungi polisi China. Pihak keluarga itu kemudian dipaksa menelepon aktivis di PBB untuk menghentikan advokasi mereka.

Intimidasi di PBB


Selain itu, lanjut laporan Reilly, pihak keluarga aktivis juga secara sewenang-wenang ditangkap, dijadikan tahanan rumah, menghilang, dijatuhi hukuman penjara yang lama tanpa alasan, atau jika berkaitan dengan Uighur, dimasukkan ke dalam kamp konsentrasi.

Reilly menyatakan bahwa dalam beberapa kasus, anggota keluarga aktivis meninggal dalam tahanan. Setidaknya dalam satu kasus, ada seseorang yang masuk dalam daftar China hanya karena menghadiri sebuah side-event. Ketika kembali ke China, dia meninggal dalam tahanan.

Reilly menuduh bahwa setidaknya dalam satu kasus, pemerintah China mengeluarkan red notice Interpol terhadap sebuah delegasi LSM.

Bukti dari Reilly mencakup tuduhan bahwa laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang asal usul Covid-19 telah diedit untuk mengurangi referensi mengenai kemungkinan kebocoran laboratorium. Bukti tersebut juga mencakup pengajuan dari Kantor Persemakmuran dan Pembangunan Luar Negeri bahwa China sedang berupaya untuk membentuk sistem multilateral agar lebih selaras dengan pandangan dunia yang otoriter dan berpusat pada negara.

Organisasi-organisasi seperti Committee for Freedom in Hong Kong Foundation, China Strategic Risks Institute, GAVI (Global Alliance for Vaccine and Immunization), Hong Kong Watch, Foreign Policy Center dan Council on Geostrategy telah menyerahkan bukti, begitu juga dengan beberapa pakar individu dan akademisi seperti Bill Browder.

Laporan dari London mengutip Emma Reilly untuk menjelaskan bagaimana China mencoba mengintimidasi pejabat independen PBB sekalipun.

"Permintaan Beijing yang konsisten untuk mengadakan pertemuan dan permintaan maaf kepada mereka, bahkan setelah kritik yang paling ringan sekalipun, telah memastikan bahwa pejabat PBB yang relatif independen pun tidak secara terbuka mengkritik China, atau bahkan mengangkat masalah hak asasi manusia secara pribadi," sebut laporan Reilly.

"Hal ini menghasilkan situasi buruk di mana negara-negara demokrasi yang mengizinkan perbedaan pendapat lebih sering dikritik oleh badan-badan HAM dan kemanusiaan PBB dibandingkan rezim otokratis," lanjutnya.

Para analis mengatakan Beijing pada dasarnya berusaha mencapai tujuannya untuk mencapai status negara adidaya nomor satu di dunia dengan menyabotase tatanan ekonomi berbasis aturan, melemahkan demokrasi, dan menginjak-injak HAM.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1012 seconds (0.1#10.140)