Rakyat Belarusia Lawan Diktator
loading...
A
A
A
MINSK - Pemilu Presiden Belarusia 2020 diwarnai dengan penangkapan politikus dan demonstran, juga demonstrasi yang menuntut keadilan dan transparansi pemilu. Masa depan Belarusia pun kini dipertaruhkan, akan tetap mempertahankan pemerintahan otoriter di bawah kekuasaan Presiden Alexander Lukashenko atau tumbuhnya pemerintahan yang bebas dan berkeadilan.
Semua berawal dari pemilihan umum (pemilu) di Belarusia dibayangi tuduhan kecurangan. Ratusan pengunjuk rasa melakukan demonstrasi di jalan raya dan menuntut Presiden Alexander Lukashenko mengundurkan diri setelah kembali terpilih untuk sekian kalinya pada akhir pekan lalu.
Seperti dilansir Reuters, Rusia siap memberikan bantuan personel keamanan pada Belarusia untuk menjaga ketertiban umum. Namun, sampai berita ini diturunkan, Belarusia tidak memberikan jawaban. Sedikitnya dua pengunjuk rasa tewas dan ribuan lainnya ditangkap sejak meletusnya unjuk rasa yang dihadiri sekitar 200.000 massa itu.
Suasana di tempat demonstrasi sangat riuh dan berpotensi mengalami kericuhan jika terjadi ketegangan. Unjuk rasa itu selalu berlangsung sampai larut malam. Bendera-bendera merah putih yang digunakan Belarusia setelah terpisah dari Uni Soviet pada 1991 juga berkibar di mana-mana. (Baca: Putin Mengaku Siap Kirim Tentara Rusia ke Belarusia)
Pemimpin Belarusia, Lukshenko, sejauh ini tidak mengeluarkan pernyataan apa pun. Namun, tekanan terhadap dirinya terus berdatangan. “Kami ingin Lukashenko mengundurkan diri. Saat ini kami mungkin masih bisa bersabar, tapi jika tuntutan kami tidak didengar juga, kesabaran kami pasti habis,” ujar seorang pengunjuk rasa, Alexei, 31.
Pihak oposisi menuduh penghitungan suara selama Pemilu Belarusia 2020 banyak dimanipulasi. Popularitas Lukashenko tidak lagi seperti dulu setelah Uni Soviet pecah. Namun, Lukashenko menepis semua tuduhan itu dan menyatakan kemenangannya dengan perolehan suara sebanyak 80% resmi dan sah.
Terpilihnya kembali Lukashenko sebagai Presiden Belarusia setelah berkuasa selama 26 tahun mendapat dukungan dari Rusia. Presiden Rusia Vladimir Putin bahkan siap memberikan bantuan militer kepada Lukashenko jika diperlukan. Kedekatan hubungan bilateral itu tidak terlepas dari menguatnya hubungan kedua negara sejak sistem komunisme dipulihkan di Belarusia pada 1995.
Selain itu, Belarusia memegang posisi strategis bagi Rusia, terutama dalam bisnis energi. Sebab, hampir seluruh jalur pipa gas Rusia menuju Eropa Barat melintasi Belarusia . Belarusia juga menjadi tempat strategis untuk mengawasi dan mengantisipasi pergerakan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Rusia dan Belarusia menyatakan pihak asing berupaya melakukan intervensi politik demi menjatuhkan Lukashenko. Lukashenko sendiri mengatakan pesawat tempur dan tank milik NATO mulai aktif di wilayah perbatasan. Namun, NATO membantah telah menggerakkan armada perangnya mendekati kawasan Belarusia.
“Pasukan NATO telah bergerak dan berada di luar gerbang Belarusia. Lituania, Latvia, dan Ukraina meminta kepada kami untuk mengulang pemilu,” ujar Lukashenko. “Jika hal itu harus kembali diulang-ulang, apalah artinya pemilu. Saya tidak pernah mengkhianati rakyat,” katanya. (Baca juga: 75 Tahun Merdeka, Politikus PPP Ingatkan Akses Kesehatan dan Pendidikan)
Lawan politik Lukashenko, Sviatlana Tsikhanouskaya telah melarikan diri menuju Lituania sejak pekan lalu. Dia merasa tidak puas dan mengimbau dibentuknya dewan nasional yang bisa memfasilitasi pergantian tampuk kepemimpinan. Dia juga berharap adanya pengulangan perhitungan suara.
Oposisi lainnya, Maria Kolesnikova mengatakan, rezim Lukashenko sudah menduduki kekuasaan di Belarusia terlalu lama dan mendesaknya untuk mengundurkan diri. Dia juga mendesak rakyat dan pejabat Belarusia menekan rasa takut serta meninggalkan Lukashenko.
“Kalian luar biasa, aku cinta kalian,” ujar Kolesnikova. “Kawan-kawan, ini kesempatan terakhir. Berpihaklah kepada kebaikan dan rakyat. Kita adalah mayoritas. Kita berkuasa,” ujarnya dilansir BBC.
Ribuan pengunjuk rasa telah diorganisasi untuk melakukan demonstrasi, tidak hanya di Kota Minsk, tapi juga kota lainnya. Uniknya, demonstrasi itu juga dilakukan di Kota Praha dan Kota Warsaw, Polandia. Media lokal menyatakan sebagian pengunjuk rasa ditangkap selama demonstrasi.
Unjuk rasa itu juga dihadiri sejumlah pegawai negeri sipil (PNS), baik yang bekerja di kepolisian atau televisi dan perusahaan-perusahaan milik negara lainnya. Beberapa dari mereka juga ada yang memberikan dukungan tidak langsung seperti mogok kerja.
Sebelumnya, pengunjuk rasa pro-pemerintah juga turun ke jalan. Estimasinya mencapai sekitar 65.000 orang. “Ibu pertiwi dalam bahaya. Saya tak mengerti kenapa masih ada orang yang membenci Lukashenko. Padahal gaji dan dana pensiun selalu cair tepat waktu,” kata Alla Georgievna. (Lihat videonya: Bakso Merah Putih Hidangan Menyambut Hari Kemerdekaan)
Oposisi veteran Lukashenko, Stanislav Shushkevich, 85, mengatakan Lukashenko mendapat tekanan hebat. Namun, dia akan mampu bertahan dan kekuasaannya tidak akan goyah, terutama jika mendapat dukungan dari sebagian rakyat dan Rusia. Selain itu, pejabat politik dan militer yang setia kepadanya masih banyak.
Perdana Menteri (PM) Ceko, Andrej Babis, mendesak negara anggota Uni Eropa (UE) untuk membantu Belarusia agar terhindar dari invasi militer seperti Ceko pada 1968. “Kami tidak ingin hal itu terjadi di Belarusia. UE harus aktif dan mendukung Belarusia seperti yang mereka mendukung kami pada 1989,” kata Babis. (Muh Shamil)
Semua berawal dari pemilihan umum (pemilu) di Belarusia dibayangi tuduhan kecurangan. Ratusan pengunjuk rasa melakukan demonstrasi di jalan raya dan menuntut Presiden Alexander Lukashenko mengundurkan diri setelah kembali terpilih untuk sekian kalinya pada akhir pekan lalu.
Seperti dilansir Reuters, Rusia siap memberikan bantuan personel keamanan pada Belarusia untuk menjaga ketertiban umum. Namun, sampai berita ini diturunkan, Belarusia tidak memberikan jawaban. Sedikitnya dua pengunjuk rasa tewas dan ribuan lainnya ditangkap sejak meletusnya unjuk rasa yang dihadiri sekitar 200.000 massa itu.
Suasana di tempat demonstrasi sangat riuh dan berpotensi mengalami kericuhan jika terjadi ketegangan. Unjuk rasa itu selalu berlangsung sampai larut malam. Bendera-bendera merah putih yang digunakan Belarusia setelah terpisah dari Uni Soviet pada 1991 juga berkibar di mana-mana. (Baca: Putin Mengaku Siap Kirim Tentara Rusia ke Belarusia)
Pemimpin Belarusia, Lukshenko, sejauh ini tidak mengeluarkan pernyataan apa pun. Namun, tekanan terhadap dirinya terus berdatangan. “Kami ingin Lukashenko mengundurkan diri. Saat ini kami mungkin masih bisa bersabar, tapi jika tuntutan kami tidak didengar juga, kesabaran kami pasti habis,” ujar seorang pengunjuk rasa, Alexei, 31.
Pihak oposisi menuduh penghitungan suara selama Pemilu Belarusia 2020 banyak dimanipulasi. Popularitas Lukashenko tidak lagi seperti dulu setelah Uni Soviet pecah. Namun, Lukashenko menepis semua tuduhan itu dan menyatakan kemenangannya dengan perolehan suara sebanyak 80% resmi dan sah.
Terpilihnya kembali Lukashenko sebagai Presiden Belarusia setelah berkuasa selama 26 tahun mendapat dukungan dari Rusia. Presiden Rusia Vladimir Putin bahkan siap memberikan bantuan militer kepada Lukashenko jika diperlukan. Kedekatan hubungan bilateral itu tidak terlepas dari menguatnya hubungan kedua negara sejak sistem komunisme dipulihkan di Belarusia pada 1995.
Selain itu, Belarusia memegang posisi strategis bagi Rusia, terutama dalam bisnis energi. Sebab, hampir seluruh jalur pipa gas Rusia menuju Eropa Barat melintasi Belarusia . Belarusia juga menjadi tempat strategis untuk mengawasi dan mengantisipasi pergerakan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Rusia dan Belarusia menyatakan pihak asing berupaya melakukan intervensi politik demi menjatuhkan Lukashenko. Lukashenko sendiri mengatakan pesawat tempur dan tank milik NATO mulai aktif di wilayah perbatasan. Namun, NATO membantah telah menggerakkan armada perangnya mendekati kawasan Belarusia.
“Pasukan NATO telah bergerak dan berada di luar gerbang Belarusia. Lituania, Latvia, dan Ukraina meminta kepada kami untuk mengulang pemilu,” ujar Lukashenko. “Jika hal itu harus kembali diulang-ulang, apalah artinya pemilu. Saya tidak pernah mengkhianati rakyat,” katanya. (Baca juga: 75 Tahun Merdeka, Politikus PPP Ingatkan Akses Kesehatan dan Pendidikan)
Lawan politik Lukashenko, Sviatlana Tsikhanouskaya telah melarikan diri menuju Lituania sejak pekan lalu. Dia merasa tidak puas dan mengimbau dibentuknya dewan nasional yang bisa memfasilitasi pergantian tampuk kepemimpinan. Dia juga berharap adanya pengulangan perhitungan suara.
Oposisi lainnya, Maria Kolesnikova mengatakan, rezim Lukashenko sudah menduduki kekuasaan di Belarusia terlalu lama dan mendesaknya untuk mengundurkan diri. Dia juga mendesak rakyat dan pejabat Belarusia menekan rasa takut serta meninggalkan Lukashenko.
“Kalian luar biasa, aku cinta kalian,” ujar Kolesnikova. “Kawan-kawan, ini kesempatan terakhir. Berpihaklah kepada kebaikan dan rakyat. Kita adalah mayoritas. Kita berkuasa,” ujarnya dilansir BBC.
Ribuan pengunjuk rasa telah diorganisasi untuk melakukan demonstrasi, tidak hanya di Kota Minsk, tapi juga kota lainnya. Uniknya, demonstrasi itu juga dilakukan di Kota Praha dan Kota Warsaw, Polandia. Media lokal menyatakan sebagian pengunjuk rasa ditangkap selama demonstrasi.
Unjuk rasa itu juga dihadiri sejumlah pegawai negeri sipil (PNS), baik yang bekerja di kepolisian atau televisi dan perusahaan-perusahaan milik negara lainnya. Beberapa dari mereka juga ada yang memberikan dukungan tidak langsung seperti mogok kerja.
Sebelumnya, pengunjuk rasa pro-pemerintah juga turun ke jalan. Estimasinya mencapai sekitar 65.000 orang. “Ibu pertiwi dalam bahaya. Saya tak mengerti kenapa masih ada orang yang membenci Lukashenko. Padahal gaji dan dana pensiun selalu cair tepat waktu,” kata Alla Georgievna. (Lihat videonya: Bakso Merah Putih Hidangan Menyambut Hari Kemerdekaan)
Oposisi veteran Lukashenko, Stanislav Shushkevich, 85, mengatakan Lukashenko mendapat tekanan hebat. Namun, dia akan mampu bertahan dan kekuasaannya tidak akan goyah, terutama jika mendapat dukungan dari sebagian rakyat dan Rusia. Selain itu, pejabat politik dan militer yang setia kepadanya masih banyak.
Perdana Menteri (PM) Ceko, Andrej Babis, mendesak negara anggota Uni Eropa (UE) untuk membantu Belarusia agar terhindar dari invasi militer seperti Ceko pada 1968. “Kami tidak ingin hal itu terjadi di Belarusia. UE harus aktif dan mendukung Belarusia seperti yang mereka mendukung kami pada 1989,” kata Babis. (Muh Shamil)
(ysw)