UEA Tak Terima Diancam Iran karena Normalkan Hubungan dengan Israel
loading...
A
A
A
ABU DHABI - Pemerintah Uni Emirat Arab (UEA) merasa diancam oleh Presiden Iran Hassan Rouhani dalam pidato terkait keputusan Uni Emirat Arab menormalkan hubungan dengan Israel . Negara Teluk itu pun protes keras.
"Kementerian luar negeri memanggil chargé d'affaires (kuasa usaha)Iran (dan) memberinya catatan protes yang kuat terhadap ancaman yang terkandung dalam pidato Presiden Iran Hassan Rouhani mengenai keputusan kedaulatan UEA," tulis kantor berita resmi UEA,WAM.
Pemanggilan itu terjadi sehari setelah Rouhani mengatakan keputusan UEA untuk menormalisasi hubungan dengan rezim Zionis adalah kesalahan besar. Presiden Iran itu juga memperingatkan Uni Emirat agar tidak membuka jalan Israel ke wilayah Teluk. (Baca: Rouhani Sebut Kesepakatan UEA-Israel Pengkhianatan terhadap Perjuangan Palestina )
Tanpa memperluas apa artinya itu, Rouhani mengatakan; "Itu akan menjadi cerita lain dan mereka akan ditangani dengan cara lain."
"Retorika seperti itu tidak dapat diterima dan menghasut serta memiliki implikasi serius bagi keamanan dan stabilitas di kawasan Teluk," bunyi pernyataan pemerintah UEA pada hari Minggu, seperti dilansir EurAsianTimes, Senin (17/8/2020).
Uni Emirat Arab telah menurunkan status hubungannya dengan Iran pada Januari 2016 di tengah persaingan sengit antara sekutu dekat Uni Emirat Arab; Arab Saudi dan Republik Islam Iran.
Keputusan UEA untuk menormalisasi hubungan dengan negara Yahudi itu memicu gelombang kritik di Iran. Surat kabar ultrakonservatif di negara para Mullah, Kahyan, menulis bahwa langkah tersebut membuat UEA menjadi "target yang sah" bagi pasukan pro-Teheran.
Surat kabar itu menggemakan warga Palestina dan pendukungnya di seluruh wilayah dengan menyebut perjanjian UEA dan Israel sebagai "pengkhianatan" terhadap perjuangan Palestina. (Baca juga: Israel: Bahrain dan Oman Mungkin Segera Ikuti Jejak UEA )
Pemerintah Iran juga mengutuk keras perjanjian itu, dengan menyebutnya sebagai "kebodohan strategis" dan mengatakan perjanjian itu akan "memperkuat poros perlawanan di wilayah tersebut".
Kesepakatan Israel-UEA, yang diumumkan oleh Presiden AS Donald Trump pada hari Kamis hanyalah kesepakatan ketiga yang dicapai Israel dengan negara Arab. Tapi itu meningkatkan prospek kesepakatan serupa dengan negara-negara Teluk yang pro-Barat.
Trump mengatakan para pemimpin dari kedua negara akan menandatangani perjanjian di Gedung Putih dalam waktu sekitar tiga minggu.
Di bawah kesepakatan itu, Israel berjanji untuk menangguhkan rencana aneksasi wilayah Tepi Barat, sebuah konsesi yang disambut baik oleh Eropa dan beberapa pemerintah Arab pro-Barat sebagai pendorong untuk harapan perdamaian. Tetapi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menekankan Israel tidak meninggalkan rencananya untuk suatu hari mencaplok Lembah Jordan dan permukiman Yahudi di Tepi Barat yang diduduki.
Lihat Juga: Negara Pendiri BRICS yang Mulai Ragu Tinggalkan Dolar AS, Salah Satunya Musuh Amerika Serikat
"Kementerian luar negeri memanggil chargé d'affaires (kuasa usaha)Iran (dan) memberinya catatan protes yang kuat terhadap ancaman yang terkandung dalam pidato Presiden Iran Hassan Rouhani mengenai keputusan kedaulatan UEA," tulis kantor berita resmi UEA,WAM.
Pemanggilan itu terjadi sehari setelah Rouhani mengatakan keputusan UEA untuk menormalisasi hubungan dengan rezim Zionis adalah kesalahan besar. Presiden Iran itu juga memperingatkan Uni Emirat agar tidak membuka jalan Israel ke wilayah Teluk. (Baca: Rouhani Sebut Kesepakatan UEA-Israel Pengkhianatan terhadap Perjuangan Palestina )
Tanpa memperluas apa artinya itu, Rouhani mengatakan; "Itu akan menjadi cerita lain dan mereka akan ditangani dengan cara lain."
"Retorika seperti itu tidak dapat diterima dan menghasut serta memiliki implikasi serius bagi keamanan dan stabilitas di kawasan Teluk," bunyi pernyataan pemerintah UEA pada hari Minggu, seperti dilansir EurAsianTimes, Senin (17/8/2020).
Uni Emirat Arab telah menurunkan status hubungannya dengan Iran pada Januari 2016 di tengah persaingan sengit antara sekutu dekat Uni Emirat Arab; Arab Saudi dan Republik Islam Iran.
Keputusan UEA untuk menormalisasi hubungan dengan negara Yahudi itu memicu gelombang kritik di Iran. Surat kabar ultrakonservatif di negara para Mullah, Kahyan, menulis bahwa langkah tersebut membuat UEA menjadi "target yang sah" bagi pasukan pro-Teheran.
Surat kabar itu menggemakan warga Palestina dan pendukungnya di seluruh wilayah dengan menyebut perjanjian UEA dan Israel sebagai "pengkhianatan" terhadap perjuangan Palestina. (Baca juga: Israel: Bahrain dan Oman Mungkin Segera Ikuti Jejak UEA )
Pemerintah Iran juga mengutuk keras perjanjian itu, dengan menyebutnya sebagai "kebodohan strategis" dan mengatakan perjanjian itu akan "memperkuat poros perlawanan di wilayah tersebut".
Kesepakatan Israel-UEA, yang diumumkan oleh Presiden AS Donald Trump pada hari Kamis hanyalah kesepakatan ketiga yang dicapai Israel dengan negara Arab. Tapi itu meningkatkan prospek kesepakatan serupa dengan negara-negara Teluk yang pro-Barat.
Trump mengatakan para pemimpin dari kedua negara akan menandatangani perjanjian di Gedung Putih dalam waktu sekitar tiga minggu.
Di bawah kesepakatan itu, Israel berjanji untuk menangguhkan rencana aneksasi wilayah Tepi Barat, sebuah konsesi yang disambut baik oleh Eropa dan beberapa pemerintah Arab pro-Barat sebagai pendorong untuk harapan perdamaian. Tetapi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menekankan Israel tidak meninggalkan rencananya untuk suatu hari mencaplok Lembah Jordan dan permukiman Yahudi di Tepi Barat yang diduduki.
Lihat Juga: Negara Pendiri BRICS yang Mulai Ragu Tinggalkan Dolar AS, Salah Satunya Musuh Amerika Serikat
(min)