Survei Ipsos MORI, Mayoritas Masyarakat Dunia Pesimistis

Minggu, 16 September 2018 - 08:51 WIB
Survei Ipsos MORI, Mayoritas Masyarakat Dunia Pesimistis
Survei Ipsos MORI, Mayoritas Masyarakat Dunia Pesimistis
A A A
PARIS - Mayoritas masyarakat dunia pesimistis memandang lingkungan sekitar dan negaranya. Mereka terkesan berada dalam tekanan sehingga memandang berbagai isu sosial secara berlebihan bila dibandingkan dengan fakta yang ada. Kondisi ini terungkap berdasar hasil survei terbaru Ipsos MORI di 38 negara yang dilakukan akhir tahun lalu.

Survei bertema Perils of Perception atau Persepsi Mara Bahaya yang dirilis baru-baru ini dilakukan untuk mengukur tingkat optimisme masyarakat dunia dalam menatap tahun 2018. Di antara isu-isu yang menjadi indikator adalah persoalan terorisme, kriminalitas, dan pernikahan dini.

Di antara negara yang disurvei, warga Afrika Selatan adalah negara yang tingkat optimismenya paling rendah alias paling pesimistis. Masyarakat Indonesia juga masuk dalam golongan yang selalu berpikir negatif pada lingkungan dan negaranya karena masuk dalam 10 besar.

Brasil, Filipina, dan Peru secara berurutan berada di belakang Afrika Selatan. Adapun India mulai sedikit optimistis dan naik ke posisi kelima. Padahal tahun sebelumnya negeri yang dipimpin Perdana Menteri Narendra Modi itu merupakan negara paling pesimistis.

Adapun Swedia, Norwegia, dan Denmark menjadi negara teroptimistis bila dibandingkan dengan 35 negara lainnya. Meski demikian ketiga negara Eropa itu tetap menyimpan kekhawatiran, khususnya terkait dengan terorisme.

Direktur Manajer Ipsos MORI, Bobby Duffy, mengatakan pola pikir tersebut disebabkan berbagai faktor. “Ada banyak alasan yang menimbulkannya, mulai dari rendahnya perhitungan dan proporsi, penyebaran informasi di media hingga mental instan atau suka berprasangka buruk,” ujar Duffy di laman resmi ipsos.com.

Duffy yang ahli melakukan studi sosial mengatakan, manusia merupakan makhluk yang mudah cemas. Buruknya, sebagian besar melakukannya secara berlebihan. Semakin sering manusia mengonsumsi informasi negatif, semakin rentan mereka berpikir negatif, terutama jika isu tersebut menakutkan atau mengancam nyawa.

“Otak manusia memproses informasi negatif berbeda dengan informasi lainnya. Informasi itu akan terus menempel dan memengaruhi bagaimana manusia memandang kenyataan,” kata Duffy.

“Manusia akan menjadi lebih cemas dari seharusnya terhadap bangsanya sendiri dan perubahan di lingkungannya,” sambungnya. Persepsi seperti itu, lanjut Duffy, akan memengaruhi keputusan masyarakat, apalagi jika informasi yang didapat dinilai lebih masuk akal.

Ketidakpastian informasi terkait hubungan antara vaksin dan autisme pada anak sehat telah menyebabkan orang tua menolak vaksin sekalipun pemerintah gencar melakukan sosialisasi. Pandangan masyarakat dunia terhadap negara lain juga kebanyakan keliru kendati tidak semuanya.

Amerika Serikat (AS) dan Rusia misalnya. Kedua negara itu distereotipkan senang bermabuk-mabukan. Namun kenyataannya berlainan. Pesta minum-minuman keras sebagian besar hanya terjadi di dunia hiburan. Para ahli menilai, tren pesimisme ini akan terus terjadi.

Apalagi saat ini informasi menyebar begitu luas melalui internet. Di Afrika, masyarakat berpandangan angka pembunuhan di lingkungannya sangat tinggi, padahal kenyataannya rendah. “Semuanya tidak seburuk dengan yang kita bayangkan,” ungkap Ipsos MORI.

Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Arie Sujito mengajak semua komponen bangsa untuk menatap masa depan dengan optimistis dan mengoptimalkan semua potensi yang dimiliki.

Hal ini diperlukan karena bangsa Indonesia sedang menghadapi tantangan besar untuk menjadi negara demokratis dan sejahtera. “Tidak perlu pesimistis, sebaliknya justru harus optimistis,” ujar dosen Fisipol UGM itu kepada KORAN SINDOtadi malam.

Menurut Arie Sujito, dalam proses berkemajuan, bangsa Indonesia berhasil meraih capaian-capaian di berbagai bidang. Menurutnya kata kunci yang perlu digarisbawahi adalah bersatu dalam perbedaan antarkomponen bangsa dan selalu mendorong inisiatif untuk maju.

Arie meminta agar survei tidak dianggap sebagai penentu, tetapi hanya sebagai wacana dan referensi untuk meningkatkan kerja bangsa. “Masyarakat Indonesia secara umum memiliki gairah maju untuk perbaikan kualitas bangsa,” tegasnya.

Berdasar survei, sebanyak 85% responden dari Afrika Selatan yakin angka pembunuhan di negaranya tinggi menyusul intensnya berita kriminal. Kenyataannya, angka pembunuhan turun sebesar 29%.

Isu ini juga menjangkit negara lainnya. Hanya sekitar 7% responden dari 38 negara yang berpikir angka pembunuhan di negaranya rendah. Persepsi negatif juga menguat untuk isu terorisme.

Sekitar 19% dari 1.000 responden menduga kematian akibat serangan teroris selama 15 tahun sebelum insiden 9/11 di negaranya lebih rendah bila dibandingkan dengan 15 tahun setelahnya. Sebanyak 47% responden Inggris juga pesimistis dan menduga serangan teroris meningkat.

Tren ini juga terjadi di Prancis dan Belgia. Kenyataannya, jumlah kematian akibat serangan teror pada 1985-2000 jauh lebih tinggi daripada kurun 2002-2016. Sebanyak 311 orang tewas, termasuk selama revolusi IRA, pada 15 tahun sebelum 9/11.

Sementara selama 15 tahun berikutnya, hanya sekitar 62 orang yang tewas. Estimasi masyarakat juga terlalu berlebihan terkait proporsi narapidana dari kalangan imigran di negaranya. Rata-rata perkiraan masyarakat dunia sekitar 28% dari 100 narapidana, sedangkan kenyataannya hanya 15%.

Di Belanda, ratarata perkiraan proporsinya lebih dari separuhnya, padahal kenyataannya 1/5. Fenomena yang sama juga terjadi di Afrika Selatan, Prancis, dan Amerika Serikat (AS). Masyarakat AS mengira jumlah narapidana dari kalangan imigran mencapai 32%, padahal kenyataannya hanya 5,2%.

Sebaliknya, di Arab Saudi, jumlahnya berada di bawah estimasi. Rata-rata memperkirakan 26%, padahal mencapai 72%. Isu paling pesimistis ialah isu kehamilan di usia remaja. Seluruh negara terlalu berlebihan mengestimasi jumlahnya.

Faktanya, selisih antara perkiraan dan kenyataan sangat longgar. Di Brasil, rata-rata perkiraan masyarakat mengenai gadis berusia 15-19 tahun yang melahirkan ialah sebesar 48%, padahal kenyataannya 6,7%.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4192 seconds (0.1#10.140)