Balas Sanksi AS, Rusia Bisa Pasok Senjata Nuklir ke Suriah
A
A
A
MOSKOW - Rusia bisa nekat memasok senjata nuklir ke Suriah seperti yang dilakukan Amerika Serikat (AS) ke negara-negara lain. Langkah itu bisa diambil Moskow sebagai respons atas sanksi dari Washington yang dianggap tak masuk akal.
Gagasan dari para ahli Rusia itu dibocorkan Vladimir Gutenev, Wakil Kepala Komite Kebijakan Ekonomi Duma Negara (Parlemen Rusia). Dia mengatakan, sudah waktunya bagi Rusia untuk menarik garis merahnya sendiri.
Beberapa langkah yang diusulkan para ahli, salah satunya mengerahkan senjata nuklir taktis Rusia di negara-negara sekutu seperti Suriah.
Langkah pembalasan lainnya adalah penggunaan cryptocurrency untuk ekspor senjata Rusia dan penangguhan sejumlah perjanjian dengan AS seperti perjanjian non-proliferasi teknologi rudal.
"Saya percaya bahwa sekarang Rusia harus menggambar 'garis merah' sendiri," katanya.
“Saatnya telah tiba untuk merenungkan varian tanggapan asimetris terhadap AS, yang sekarang sedang disarankan oleh para ahli dan dimaksudkan tidak hanya untuk mengimbangi sanksi mereka tetapi juga untuk melakukan beberapa kerusakan balas dendam," lanjut dia, seperti dikutip Express.co.uk, Minggu (26/8/2018).
"Bukan rahasia bahwa tekanan serius sedang terjadi di Rusia, dan itu hanya akan menjadi lebih buruk. Ini dimaksudkan untuk memberikan pukulan kepada kerja sama pertahanan, termasuk ekspor (peralatan) pertahanan," ujar Gutenev.
Menurutnya, pemerintah Rusia harus mengikuti saran dari para ahli tersebut.
"Kita harus mengikuti saran dari para ahli tertentu, yang mengatakan bahwa Rusia mungkin harus menangguhkan pelaksanaan perjanjian pada non-proliferasi teknologi rudal, dan juga mengikuti contoh AS dan mulai menyebarkan senjata nuklir taktis kami di negara-negara asing," paparnya.
"Ada kemungkinan bahwa Suriah, di mana kita memiliki pangkalan udara yang dilindungi dengan baik, dapat menjadi salah satu dari negara-negara tersebut," imbuh dia.
Mengomentari sanksi yang dijatuhkan Washington terhadap Moskow, Gutenev mengatakan bahwa sanksi AS tidak mungkin berdampak serius pada sektor industri pertahanan Rusia.
"Program substitusi impor telah menghasilkan hasil yang sangat baik, pemasok alternatif telah ditemukan. Namun, kami prihatin tentang fakta bahwa sanksi masih mendapatkan momentum dan telah menjadi agak dekat."
Sanksi terbaru Washington terhadap Moskow dijatuhkan pada 22 Agustus lalu sebagai tanggapan atas dugaan keterlibatan Moskow dalam meracuni bekas mata-mata Kremlin, Sergei Skripal dan putrinya di Salisbury, Inggris.
Sergei dan putrinya, Yulia, ditemukan tidak sadarkan diri di bangku dekat pusat perbelanjaan Maltings di Salisbury, beberapa bulan lalu.
Departemen Luar Negeri Inggris mengklaim Rusia melanggar Chemical and Biological Weapons Control and Warfare Elimination Act (UU Penghapusan Peperangan dan Kontrol Senjata Kimia dan Biologi) tahun 1992.
Moskow telah berkali-kali membantah tuduhan dari Inggris bahwa Rusia terlibat dalam serangan racun syaraf Novichok terhadap Skripal dan putrinya. Kasus ini telah memicu pertikaian diplomatik yang meluas antara Rusia dan Barat yang ditandai dengan pengusiran ratusan diplomat.
Gagasan dari para ahli Rusia itu dibocorkan Vladimir Gutenev, Wakil Kepala Komite Kebijakan Ekonomi Duma Negara (Parlemen Rusia). Dia mengatakan, sudah waktunya bagi Rusia untuk menarik garis merahnya sendiri.
Beberapa langkah yang diusulkan para ahli, salah satunya mengerahkan senjata nuklir taktis Rusia di negara-negara sekutu seperti Suriah.
Langkah pembalasan lainnya adalah penggunaan cryptocurrency untuk ekspor senjata Rusia dan penangguhan sejumlah perjanjian dengan AS seperti perjanjian non-proliferasi teknologi rudal.
"Saya percaya bahwa sekarang Rusia harus menggambar 'garis merah' sendiri," katanya.
“Saatnya telah tiba untuk merenungkan varian tanggapan asimetris terhadap AS, yang sekarang sedang disarankan oleh para ahli dan dimaksudkan tidak hanya untuk mengimbangi sanksi mereka tetapi juga untuk melakukan beberapa kerusakan balas dendam," lanjut dia, seperti dikutip Express.co.uk, Minggu (26/8/2018).
"Bukan rahasia bahwa tekanan serius sedang terjadi di Rusia, dan itu hanya akan menjadi lebih buruk. Ini dimaksudkan untuk memberikan pukulan kepada kerja sama pertahanan, termasuk ekspor (peralatan) pertahanan," ujar Gutenev.
Menurutnya, pemerintah Rusia harus mengikuti saran dari para ahli tersebut.
"Kita harus mengikuti saran dari para ahli tertentu, yang mengatakan bahwa Rusia mungkin harus menangguhkan pelaksanaan perjanjian pada non-proliferasi teknologi rudal, dan juga mengikuti contoh AS dan mulai menyebarkan senjata nuklir taktis kami di negara-negara asing," paparnya.
"Ada kemungkinan bahwa Suriah, di mana kita memiliki pangkalan udara yang dilindungi dengan baik, dapat menjadi salah satu dari negara-negara tersebut," imbuh dia.
Mengomentari sanksi yang dijatuhkan Washington terhadap Moskow, Gutenev mengatakan bahwa sanksi AS tidak mungkin berdampak serius pada sektor industri pertahanan Rusia.
"Program substitusi impor telah menghasilkan hasil yang sangat baik, pemasok alternatif telah ditemukan. Namun, kami prihatin tentang fakta bahwa sanksi masih mendapatkan momentum dan telah menjadi agak dekat."
Sanksi terbaru Washington terhadap Moskow dijatuhkan pada 22 Agustus lalu sebagai tanggapan atas dugaan keterlibatan Moskow dalam meracuni bekas mata-mata Kremlin, Sergei Skripal dan putrinya di Salisbury, Inggris.
Sergei dan putrinya, Yulia, ditemukan tidak sadarkan diri di bangku dekat pusat perbelanjaan Maltings di Salisbury, beberapa bulan lalu.
Departemen Luar Negeri Inggris mengklaim Rusia melanggar Chemical and Biological Weapons Control and Warfare Elimination Act (UU Penghapusan Peperangan dan Kontrol Senjata Kimia dan Biologi) tahun 1992.
Moskow telah berkali-kali membantah tuduhan dari Inggris bahwa Rusia terlibat dalam serangan racun syaraf Novichok terhadap Skripal dan putrinya. Kasus ini telah memicu pertikaian diplomatik yang meluas antara Rusia dan Barat yang ditandai dengan pengusiran ratusan diplomat.
(mas)